Tenaga Kesehatan
Merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (“UU 36/2014”):
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan dikelompokkan ke dalam:[1]
- Tenaga psikologi klinis;
- Tenaga keperawatan, yang meliputi berbagai jenis perawat;
- Tenaga kebidanan;
- Tenaga kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian;
- Tenaga kesehatan masyarakat, yang terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga;
- Tenaga kesehatan lingkungan, yang terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan;
- Tenaga gizi. Terdiri atas nutrisionis dan dietisien;
- Tenaga keterapian fisik, yang terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur;
- Tenaga keteknisian medis, yang terdiri atas perekam medis dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologi;
- Tenaga teknik biomedika, yang terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik;
- Tenaga kesehatan tradisional, yang terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan; dan
- Tenaga kesehatan lain.
Selain itu, guna meningkatkan mutu praktik tenaga kesehatan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum, dibentuk Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia yang terdiri dari konsil masing-masing tenaga kesehatan.[2]
Setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (“STR”), dengan syarat:[3]
- memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;
- memiliki sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi;
- memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
- memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi; dan
- membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Tenaga Medis
Patut Anda pahami, sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015 (“Putusan MK 82/2015”), tenaga medis yang terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis digolongkan oleh UU 36/2014 sebagai tenaga kesehatan.
Pada bagian pertimbangan Putusan MK 82/2015, dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang mempunyai kedudukan khusus terkait dengan tubuh dan nyawa manusia, sehingga secara mandiri dokter dan dokter gigi dapat melakukan intervensi medis teknis dan intervensi bedah tubuh manusia yang tidak dimiliki jenis tenaga kesehatan lainnya yang dilakukan secara mandiri. Tenaga medis adalah tenaga profesional yang berbeda dengan tenaga vokasi yang sifat pekerjaannya adalah pendelegasian wewenang dari tenaga medis (hal. 217 dan 218).
Lebih lanjut, karena sifat dan hakikat yang berbeda antara tenaga medis dengan tenaga profesi dan vokasi kesehatan lainnya maka pengaturan substansi profesi kedokteran tidak dapat digabungkan atau disamaratakan dengan profesi lain. Kepastian hukum bagi tenaga medis harus dapat memajukan dan menjamin pelayanan medik yang berbeda dengan tenaga kesehatan lainnya (hal. 219).
Sehingga pada bagian amar Putusan MK 82/2015 dinyatakan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 36/2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 221).
Dengan kata lain, tenaga medis tidak lagi digolongkan sebagai tenaga kesehatan.
Istilah tenaga medis dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU 36/2009”) yang di antaranya menyebutkan:
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UU 36/2009
Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis.
Penjelasan Pasal 128 ayat (1) UU 36/2009
Yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang ditetapkan oleh tenaga medis.
Meskipun tidak disebutkan secara spesifik siapa yang dimaksud dari tenaga medis, berpedoman dari Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU 29/2004”), dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuannya memiliki karakteristik khas, berupa pembenaran hukum untuk melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.
Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi, dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.[4]
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran wajib memiliki STR dokter dan dokter gigi yang berlaku selama lima tahun dan diregistrasi ulang, dengan memenuhi persyaratan:[5]
- memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
- mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
- memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
- memiliki sertifikat kompetensi; dan
- membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan: