Tentang Pembebasan dan Pemecatan Kekuasaan Orang Tua
PERTANYAAN
Apa persamaan dan perbedaan antara pemecatan kekuasaan orang tua dan pembebasan kekuasaan orang tua?
Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Apa persamaan dan perbedaan antara pemecatan kekuasaan orang tua dan pembebasan kekuasaan orang tua?
Terima kasih atas pertanyaannya.
Ketentuan mengenai hak kekuasaan orang tua, dapat kita temukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) (“KUH Perdata”), yang kemudian dibagi lagi ke dalam 2 bagian besar:
1. Kekuasaan orang tua terhadap diri anak;
2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda.
Terkait hak kekuasaan orang tua dalam hukum kekeluargaan positif di Indonesia ini, memunculkan istilah pencabutan/pemecatan kekuasaan orang tua dan pembebasan kekuasaan orang tua. Dua istilah yang sekilas terlihat sama pengertiannya, namun memiliki makna dan pelaksanaan yang berbeda.
Istilah Pembebasan Kekuasaan Orang Tua tidak ditemukan dalam UU Perkawinan. Yang diatur hanya tentang Pencabutan Kekuasan Orang Tua.
Di sisi lain istilah Pembebasan Kekuasaan Orang Tua diatur secara eksplisit dalam KUH Perdata, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 319a KUH Perdata, paragraf pertama yang menyatakan bahwa:
“Bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak-anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan dewan perwalian atau atas tuntutan kejaksaan, bila ternyata bahwa dia tidak cakap atau tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya dan kepentingan anak-anak itu tidak berlawanan dengan pembebasan ini berdasarkan hal lain.”
Pada paragraf kedua pasal yang sama disebutkan mengenai Pemecatan Kekuasaan Orang Tua:
“Bila Hakim menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak, masing-masing dari orang tua, sejauh belum kehilangan kekuasaan orang tua, boleh dipecat dari kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang keluarga sedarah atau semenda dan anak-anak itu, sampai dengan derajat keturunan keempat, atau dewan perwalian, atau Kejaksaan atas dasar:
1. menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih;
2. berkelakuan buruk;
3. dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut serta dalam suatu kejahatan dengan seorang anak yang masih di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya;
4. dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan kejahatan yang tercantum dalam Bab 13, 14, 15, 18, 19, dan 20, Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap seorang di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya;
5. dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua tahun atau lebih;
6. Dalam pasal ini pengertian kejahatan meliputi juga keikutsertaan membantu dan percobaan melakukan kejahatan.”
UU Perkawinan juga menjelaskan mengenai Pencabutan Kekuasaan Orang Tua, yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi :
“Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.”
Perbedaan Pembebasan Kekuasaan Orang Tua dan Pencabutan/Pemecatan Kekuasaan Orang Tua
Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, maka terlihat beberapa poin yang membedakan antara Pembebasan dan Pencabutan Kekuasaan Orang Tua, sebagai berikut;
- Pembebasan Kekuasaan didasarkan hanya pada tidak cakapnya orang tua atau tidak mampu memenuhi kepentingan-kepentingan dasar anak-anaknya.
- Pencabutan/pemecatan Kekuasaan didasarkan pada alasan yang lebih spesifik, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 319a paragraf kedua (poin 1-5) UU Perkawinan, kemudian dijelaskan lagi di dalam Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan yang menjelaskan alasan yang dapat mendasari dilakukannya Pencabutan Kekuasaan Orang Tua ialah:
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
Persamaan Pembebasan Kekuasaan Orang Tua dan Pencabutan/Pemecatan Kekuasaan Orang Tua
Untuk membahas mengenai persamaannya akan dilihat dari beberapa segi/aspek yaitu :
a. Segi/aspek persyaratan atau pihak yang berhak mengajukan permohonan yaitu Dewan Perwalian dan Kejaksaan (Pasal 319a KUH Perdata):.
Baik Pembebasan maupun Pemecatan sama-sama dapat dimohonkan oleh Dewan Perwalian atau Kejaksaan.
b. Segi/aspek permohonan/tuntutan diajukan kepada Pengadilan Negeri (Pasal 319b KUH Perdata):
Baik Pembebasan maupun Pemecatan sama-sama harus mengajukan permohonan yang memuat peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan yang menjadi dasarnya, dan diajukan bersama dengan surat–surat yang diperlukan sebagai bukti kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal orang tua yang dimintakan pembebasannya atau pemecatannya, atau bila tidak ada tempat tinggal yang demikian, kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggalnya yang terakhir, atau bila permohonan atau tuntutan itu mengenai pembebasan atau pemecatan salah seorang dari orang tua yang diserahi tugas melakukan kekuasaan orang tua setelah pisah meja dan ranjang, kepada Pengadilan Negeri yang telah memeriksa permintaan atau tuntutan pemisahan meja dan ranjang itu.
Dalam permohonan atau tuntutan itu, oleh panitera pengadilan harus dicatat terlebih dahulu hari pengajuannya. Kemudian salinan permohonan atau tuntutan itu beserta surat-surat tersebut di atas harus disampaikan secepatnya oleh panitera pengadilan negeri kepada dewan perwalian, kecuali bila permohonan atau tuntutan untuk pelepasan atau pemecatan itu diajukan oleh dewan perwalian sendiri. (Pasal 319b KUH Perdata)
c. Segi/aspek tenggang waktu perlawanan yang dapat diajukan oleh orang tua yang dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua (Pasal 319f KUH Perdata):
Bila orang yang dimohon atau dituntut pembebasannya atau pemecatannya itu atas panggilan tidak datang, maka dia boleh mengajukan perlawanan dalam 30 (tiga puluh) hari setelah keputusan itu atau akta yang dibuat berdasarkan hal itu atau yang dibuat untuk melaksanakan hal itu disampaikan kepadanya, atau setelah dia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat tidak memberi kesimpulan, bahwa keputusan itu atau permulaan pelaksanannya telah diketahui olehnya.
Orang yang permohonannya atau jawatan kejaksaan yang tuntutannya untuk pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua ditolak, dan orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua kendati telah menghadap setelah dipanggil, demikian pula orang yang perlawanannya ditolak, boleh naik banding dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah keputusan diucapkan.
d. Segi/aspek pengembalian kekuasaan orang tua /perolehan hak untuk menjadi kekuasaan orang tua atau menjadi wali atas anak-anaknya yang masih di bawah umur (Pasal 319g KUH Perdata):
Orang yang telah dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan mereka yang berwenang untuk memohon pembebasan atau pemecatan menurut Pasal 319a, atau atas tuntutan jawatan kejaksaan, boleh diberi kekuasaan orang tua kembali atau diangkat menjadi wali atas anak-anaknya yang masih di bawah umur, bila ternyata, bahwa peristiwa-peristiwa yang telah mengakibatkan pembebasan atau pemecatan, tidak lagi menjadi halangan untuk pemulihan atau pengangkatan itu.
Demikian pula, orang yang telah dibebaskan atau dipecat dari perwalian atas anak-anaknya sendiri kemudian kawin kembali dengan suami atau istri yang dahulu, selama perkawinan itu, boleh diberi kekuasaan orang tua kembali.
Permohonan atau tuntutan untuk itu hal diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dulu menangani permohonan atau tuntutan untuk pembebasan atau pemecatan, kecuali bila yang dibebaskan atau dipecat itu pisah meja dan ranjang, atau perkawinannya dibubarkan oleh perceraian perkawinan atau setelah pisah meja dan ranjang; dalam hal kekecualian ini, semua permohonan atau tuntutan hal diajukan kepada Pengadilan negeri yang telah menangani permohonan atau tuntutan pisah meja dan ranjang, perceraian atau pembubaran perkawinan.
e. Segi/aspek kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak (Pasal 319j KUH Perdata):
Orang yang dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, wajib memberikan tunjangan kepada dewan perwalian untuk biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang telah ditarik dari kekuasaannya, tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan, atau tiap-tiap tiga bulan, sebesar jumlah yang ditentukan oleh Pengadilan Negeri atas permohonan dewan perwalian.
f. Segi/aspek pemberitahuan keputusan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua (Pasal 319k KUH Perdata):
Tiap-tiap keputusan yang mengandung pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua, harus segera diberitahukan oleh panitera berupa salinan kepada pihak yang menerima kekuasaan orang tua itu atau kepada pihak yang ditugaskan untuk melakukan perwalian, demikian pula kepada dewan perwalian.
Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat. Terima kasih.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?