Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Keabsahan Transaksi COD yang Tidak Dipesan Pembeli
Menurut artikel Bolehkah Pembeli Membatalkan Transaksi COD di Tempat? COD atau cash on delivery adalah metode bisnis, di mana perusahaan akan mengirimkan barang ke pelanggan dan mengambil pembayaran pada saat barang tersebut diserahkan kepada pelanggan.
klinik Terkait:
Perlu diketahui bahwa dalam transaksi COD, tetap memerlukan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Hal ini diatur dalam Pasal 1458 KUHPerdata yaitu jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Selain itu dalam Pasal 64 ayat (1) dan ayat (3) PP PMSE mengatur bahwa dalam pengiriman barang melalui jasa kurir, pelaku usaha PMSE (online shop) harus memastikan keamanan, kelayakan, kerahasiaan, kesesuaian, dan ketepatan waktu pengiriman barang sesuai kesepakatan transaksi. Dan pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.
Sebagai informasi, dalam transaksi elektronik harus berdasarkan kontrak elektronik yang dianggap sah apabila:[1]
- terdapat kesepakatan para pihak;
- dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- terdapat hal tertentu; dan
- objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Lalu bagaimana jika menerima paket yang tidak dipesan dan dikirim oleh orang yang tidak dikenal? Sifat konsensual dari jual beli menyatakan harus adanya kesepakatan antara para pihak sebagaimana diuraikan di atas. Kesepakatan merupakan salah satu syarat subjektif dalam membuat sebuah perjanjian. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibatnya perjanjian dapat dibatalkan.
berita Terkait:
Baca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi
Jerat Hukum Pencurian dan Penyalahgunaan Data Pribadi
Menjawab pertanyaan Anda, selain adanya pelanggaran terhadap kesepakatan atas perjanjian, kami asumsikan bahwa Anda juga mengalami pencurian data pribadi.
Pencurian data pribadi bisa terjadi kepada siapapun yang dilakukan baik melalui sistem elektronik ataupun nonelektronik. Pada kasus Anda, kemungkinan seseorang memperoleh data pribadi Anda dan secara tidak bertanggung jawab menyalahgunakannya dengan mengirim paket yang tidak Anda kehendaki.
Atas tindakan pencurian data pribadi tersebut melanggar ketentuan dalam Pasal 65 (1) dan (3) jo. Pasal 67 ayat (1) dan (3) UU PDP yaitu:
- Setiap orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi. Apabila melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar rupiah.
- Setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya. Apabila melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar rupiah.
Selain dijatuhi pidana penjara dan/atau denda, pelaku juga bisa dijatuhi pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian.[2]
Ketentuan lain terkait pencurian data pribadi juga dapat dilihat dalam Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016 yang berbunyi:
Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan, setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Setiap orang yang dilanggar haknya dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Atas pelanggaran ketentuan tersebut, maka orang yang dilanggar haknya dapat mengajukan gugatan ganti kerugian yang ditimbulkan.[3]
Baca juga: Terjadi Pencurian Data Pribadi (Identity Theft)? Tempuh Langkah Ini
Langkah yang Dapat Ditempuh
Dalam hal Anda sebagai pihak yang dirugikan atas paket COD yang tidak dikehendaki, maka Anda dapat meminta pembatalan jual beli via COD kepada penjual yang bersangkutan secara langsung. Selain itu, jika hal tersebut tidak membuahkan hasil, Anda dapat melakukan pembatalan perjanjian dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri karena perjanjian jual beli tersebut tidak memenuhi syarat subjektif yaitu kesepakatan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Baca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi
Sedangkan, langkah hukum yang dapat ditempuh apabila menjadi korban pencurian data pribadi adalah melaporkan pelaku ke pihak kepolisian atas dasar Pasal 65 ayat (1) dan (3) jo. Pasal 67 ayat (1) dan (3) UU PDP.
Selain itu, Anda juga dapat menggugat pelaku pencurian/penyalahgunaan data pribadi secara perdata untuk mendapatkan ganti rugi berdasarkan Pasal 12 ayat (1) UU PDP dan Pasal 26 ayat (2) UU 19/2016.
Adapun dasar gugatan ganti rugi terhadap pihak yang menyalahgunakan data pribadi adalah gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yaitu Pasal 1365 KUHPerdata.
Tips agar Terhindar dari Pencurian Data Pribadi
Selanjutnya, langkah yang dapat Anda lakukan untuk mencegah pencurian data pribadi diantaranya adalah bersikap defensif terhadap informasi pribadi baik dalam sistem elektronik maupun nonelektronik.
Berikut beberapa tips terhindar dari Pencurian Data Pribadi di antaranya:
1. Jangan klik tautan yang mencurigakan;
2. Perhatikan keamanan situs yang diakses;
3. Aktifkan autentikasi dua langkah;
4. Jangan menggunakan password tanggal lahir atau password yang lemah;
5. Pastikan keamanan jaringan yang digunakan;
6. Bijak dalam menggunakan sosial media.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi;
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik;
- Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
Referensi:
Pencurian Data Pribadi – JDIH Kemkominfo, yang diakses pada Rabu, 23 November 2022, pukul 16.00 WIB