Salah seorang anggota keluarga tetangga saya termasuk korban dari kebakaran/ledakan pabrik di Tangerang beberapa waktu lalu yang meninggal dunia. Sebenarnya ganti rugi apa yang bisa didapatkan keluarga korban? Kalau dikaitkan dengan keselamatan dan kecelakaan kerja, bagaimana aturan pabriknya atau standar yang seharusnya?
Manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi pekerja korban meninggal dunia akibat kecelakaan kerja adalah santunan berupa uang yang meliputi: santunan kematian dan biaya pemakaman. Hak untuk menuntut manfaat JKK ini menjadi gugur apabila telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak Kecelakaan Kerja terjadi.
Santunan kematian bagi pekerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja adalah sebesar = 60% x 80 x Upah sebulan, paling sedikit sebesar Jaminan Kematian (JKM). Selain itu juga mendapatkan santunan biaya pemakaman sebesar Rp 3 juta.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pada dasarnya, setiap pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (“K3”). Demikian yang disebut dalam Pasal 86 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, diselenggarakan upaya K3. Upaya K3dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.[1]
Pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.[2] Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.[3]
K3juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (“UU 1/1970”). Yang diatur oleh undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja. Pada dasarnya ketentuan keselamatan kerja berlaku dalam tempat kerja dimana, antara lain:[4]
a.dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan;
b.dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang: dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;
c.dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya, termasuk bangunan pengairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan;
d.dilakukan usaha: pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan;
e.dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan : emas, perak, logam atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan; dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara;
f.dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun atau gudang;
g.dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air;
h.dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan;
i.dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah;
j.dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting;
k.dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;
l.terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;
m.dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah;
n.dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon;
o.dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang menggunakan alat teknis;
p.dibangkitkan, diubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air;
q.diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik.
Dalam menerapkan SMK3, setiap perusahaan wajib melaksanakan:[5]
1.penetapan kebijakan K3;
2.perencanaan K3;
3.pelaksanaan rencana K3;
4.pemantauan dan evaluasi kinerja K3; dan
5.peninjauan dan peningkatan kinerja Sistem Manajemen K3
Menjawab pertanyaan Anda, pabrik sebagai suatu perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen K3 tersebut, yaitu sebagai tempat dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang: dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.
Dalam hal ini, salah satu bentuk kegiatan pelaksanaan rencana K3 yang paling sedikit meliputi:[6]
1.Tindakan pengendalian;
2.Perancangan dan rekayasa;
3.Prosedur dan Instruksi Kerja;
4.Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan;
5.Pembelian/Pengadaan Barang dan Jasa;
6.Produk Akhir;
7.Upaya Menghadapi Keadaan Darurat Kecelakaan dan Bencana Industri;
8.Rencana dan Pemulihan Keadaan Darurat
Menyangkut risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, berikut kami fokuskan penjelasan mengenai Tindakan Pengendalian. Tindakan pengendalian harus diselenggarakan oleh setiap perusahaan terhadap kegiatan-kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Tindakan pengendalian dilakukan dengan mendokumentasikan dan melaksanakan kebijakan:
a.standar bagi tempat kerja;
b.perancangan pabrik dan bahan; dan
c.prosedur dan instruksi kerja untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan produk barang dan jasa.
Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan melalui:
a.Identifikasi potensi bahaya dengan mempertimbangkan:
1)kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya; dan
2)jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi.
b.Penilaian risiko untuk menetapkan besar kecilnya suatu risiko yang telah diidentifikasi sehingga digunakan untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja.
c.Tindakan pengendalian dilakukan melalui:
1)pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi eliminasi, subtitusi, isolasi, ventilasi, higienitas dan sanitasi;
2)pendidikan dan pelatihan;
3)insentif, penghargaan dan motivasi diri;
4)evaluasi melalui internal audit, penyelidikan insiden dan etiologi; dan
5)penegakan hukum.
Dalam praktiknya, Standar Prosedur Operasional (SOP) keselamatan dan kesehatan kerja di suatu pabrik (dalam hal terjadi kebakaran misalnya) tertuang kembali dalam peraturan internal perusahaan/pabrik yang bersangkutan. Misalnya, aturan tersebut terdiri dari:[7]
1.Penyimpanan Material Berbahaya;
2.Panduan Keselamatan Dari Kebakaran;
3.Latihan Evakuasi Jika Terjadi Kebakaran;
4.Pelatihan Untuk Pekerja Mengenai Aspek Keselamatan dari Kebakaran;
Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
Besaran Santunan Pekerja Korban Kecelakaan Kerja yang Meninggal Dunia
Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hal ini telah diatur dalam Pasal 61 ayat (5) UU Ketenagakerjaan.
Hal ini berarti, tanggung jawab perusahaan dalam hal pekerjanya meninggal dunia itu sebenarnya bergantung pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak atas manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (“JKK”).[8] Menyorot pertanyaan Anda, manfaat JKK bagi pekerja korban meninggal dunia akibat kecelakaan kerja adalah santunan berupa uang yang meliputi: santunan kematian dan biaya pemakaman.[9] Hak untuk menuntut manfaat JKK ini menjadi gugur apabila telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak Kecelakaan Kerja terjadi.[10]
Santunan kematian bagi pekerja yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja adalah sebesar = 60% x 80 x Upah sebulan, paling sedikit sebesar Jaminan Kematian (JKM).[11] Selain itu juga mendapatkan santunan biaya pemakaman sebesar Rp 3 juta.[12]
Perlu diketahui, pabrik bahan peledak, bahan petasan, dan pabrik kembang api merupakan jenis kelompok usaha dengan tingkat risiko sangat tinggi.[13]