Intisari :
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.
Namun sebelum membahas lebih lanjut tentang pasal ini, mari perhatikan beberapa definisi di bawah ini:
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini (UU Advokat).
[1]Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
[2]Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.
[3]
Kemudian dalam Pasal 31 UU Advokat, terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
Dengan sengaja;
Menjalankan pekerjaan profesi advokat;
Bertindak seolah-olah sebagai advokat;
Tetapi bukan advokat.
Lalu apakah teman Anda memenuhi unsur dari Pasal 31 UU Advokat? Yang dimaksud menjalankan pekerjaan profesi advokat berarti seseorang telah memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Jasa hukum dipersempit lagi maknanya yang salah satunya adalah konsultasi hukum. Di sini memang teman Anda memenuhi unsur-unsur dari Pasal 31 UU Advokat. Pemberian konsultasi hukum yang dilakukan teman Anda termasuk hubungan layaknya antara advokat dengan klien.
Pertimbangan majelis hakim konstitusi pada putusan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
Menimbang bahwa menurut Pasal 28F UUD 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar pengadilan pada hakikatnya adalah ingin memperoleh informasi hukum dan dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Adalah menjadi hak seseorang untuk memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat dan terpercaya.
Menimbang bahwa Pasal 31 jo Pasal 1 angka 1 undang-undang a quo membatasi kebebasan seseorang untuk memilih sumber informasi karena seseorang yang melakukan konsultasi hukum di luar pengadilan oleh undang-undang a quo hanya dibenarkan apabila sumber informasi tersebut adalah seorang advokat. Jika seseorang bukan advokat memberikan informasi hukum, terhadapnya dapat diancam oleh Pasal 31 undang-undang a quo. Pencari informasi akan sangat terbatasi dalam memilih sumber informasi karena yang bukan advokat terhalang untuk memberikan informasi dengan adanya Pasal 31 undang-undang a quo.
Dapat dilihat bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum ialah bagian dari hak asasi manusia. Sehingga hak itu harus dipandang sebagai hak konstitusional setiap warga negara, dan negara wajib memenuhinya.
Menurut pendapat MK, adanya ancaman pidana pada pasal 31 UU Advokat bisa mengakibatkan peran lembaga-lembaga nirlaba semacam Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (LKPH-UMM) tidak mungkin lagi dilaksanakan. Selain itu dapat mengancam setiap orang yang hanya bermaksud memberi penjelasan mengenai suatu persoalan hukum meskipun ia bukan advokat.
Rumusan Pasal 31 UU Advokat melahirkan penafsiran yang lebih luas daripada maksud pembuat undang-undang, yang dalam pelaksanaannya bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dan bantuan hukum karena di UU Advokat juga dijelaskan pemberian bantuan hukum, dan itu hanya boleh dilakukan oleh advokat. Padahal sejatinya bantuan hukum bisa dilakukan oleh orang selain advokat.
Namun putusan MK itu tidak dicapai dengan suara bulat. Tiga hakim konstitusi yaitu H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya dan Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda. Ketiganya berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, jika dibaca sepintas memang seolah-olah memberikan perlindungan yang berlebihan kepada advokat. Tetapi jika dipahami secara cermat, perlindungan terhadap advokat itu, pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kerugian yang mungkin diderita oleh masyarakat sebagai akibat ulah dari mereka yang mengaku-aku sebagai advokat, dapat berpengaruh lebih luas dan lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh penipuan biasa, sehingga wajar saja jika diberikan ancaman pidana khusus selain ancaman pidana umum yang terdapat dalam KUHP.
Maka menjawab pertanyaan Anda, perbuatan yang dilakukan oleh teman Anda dalam memberikan konsultasi hukum tidak dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 31 UU Advokat, karena pasal tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh Putusan MK 006/2004.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 1 angka 1 UU Advokat
[2] Pasal 1 angka 2 UU Advokat
[3] Pasal 1 angka 3 UU Advokat