Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Eksistensi Peraturan Daerah Syariah di Indonesia

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Eksistensi Peraturan Daerah Syariah di Indonesia

Eksistensi Peraturan Daerah Syariah di Indonesia
Abi Jam'an Kurnia, S.H. Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Eksistensi Peraturan Daerah Syariah di Indonesia

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya tentang Perda Syariah, apa sih sebenenarnya Perda Syariah itu? Apa muatan yang diatur di dalamnya? Apakah keberadaannya diakui dalam sistem hukum di Indonesia?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Secara formal, di Indonesia hanya dikenal adanya Peraturan Daerah (“Perda”) Provinsi ataupun Perda Kabupaten/Kota sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
     
    Sejauh penelusuran kami, tidak terdapat definisi yang baku mengenai Perda Syariah. Untuk itu, kami menyimpulkan bahwa Perda Syariah tersebut adalah Perda Provinsi ataupun Perda Kabupaten/Kota yang muatannya mengatur tentang urusan agama, yang mana urusan agama merupakan urusan pemerintahan absolut dan nyatanya dimungkinkan untuk dilimpahkan wewenangnya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
     
    Di pemerintahan Aceh, untuk pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Secara formal, di Indonesia hanya dikenal adanya Peraturan Daerah (“Perda”) Provinsi ataupun Perda Kabupaten/Kota sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
     
    Sejauh penelusuran kami, tidak terdapat definisi yang baku mengenai Perda Syariah. Untuk itu, kami menyimpulkan bahwa Perda Syariah tersebut adalah Perda Provinsi ataupun Perda Kabupaten/Kota yang muatannya mengatur tentang urusan agama, yang mana urusan agama merupakan urusan pemerintahan absolut dan nyatanya dimungkinkan untuk dilimpahkan wewenangnya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
     
    Di pemerintahan Aceh, untuk pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Peraturan Daerah
    Sebelum membahas kepada pokok persoalan, perlu diketahui bahwa Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:
     
    Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    4. Peraturan Pemerintah;
    5. Peraturan Presiden;
    6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
    7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
     
    Jadi secara formal, di Indonesia hanya dikenal adanya Peraturan Daerah (“Perda”) Provinsi ataupun Perda Kabupaten/Kota. Simak juga artikel Perbedaan Peraturan Daerah Kota dan Peraturan Walikota dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.
     
    Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.[1] Sementara Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.[2]
     
    Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.[3]
     
    Otonomi Daerah
    Otonomi daerah berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemerintahan Daerah”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“Perppu 2/2014”) sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 selanjutnya diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (“UU 9/2015”) dijelaskan sebagai berikut:
     
    Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
     
    Perlu diketahui juga bahwa terdapat pengaturan mengenai Urusan Pemerintahan dalam Pasal 9 UU Pemerintahan Daerah yang membagi urusan pemerintahan atas:
    1. urusan pemerintahan absolut, adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat;
    2. urusan pemerintahan konkuren, adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah; dan
    3. urusan pemerintahan umum, adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan.
     
    Urusan pemerintahan absolut meliputi:[4]
    1. politik luar negeri;
    2. pertahanan;
    3. keamanan;
    4. yustisi;
    5. moneter dan fiskal nasional; dan
    6. agama.
     
    Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU Pemerintahan Daerah, yang dimaksud dengan “urusan agama” misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.
     
    Kemudian, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, pemerintah pusat:[5]
    1. melaksanakan sendiri; atau
    2. melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
     
    Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.[6]
     
    Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa urusan agama yang merupakan urusan pemerintahan absolut, nyatanya dimungkinkan untuk dilimpahkan wewenangnya kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
     
    Peraturan Daerah Syariah
    Sejauh penelusuran kami, tidak terdapat definisi yang baku mengenai Peraturan Daerah Syariah. Untuk itu, kami menyimpulkan bahwa Peraturan Daerah Syariah tersebut adalah Peraturan Daerah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 mengenai hierarki perundang-undangan, yaitu dapat berupa Peraturan Daerah Provinsi ataupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang muatannya mengatur tentang urusan agama.
     
    Dikutip dari buku karya Michael Buehler, The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the State in Democratizing Indonesia (hal. 174), sebagaimana yang kami sarikan berdasarkan data dari 34 provinsi menunjukkan bahwa sebagian besar dari 443 Peraturan Daerah Syariah diadopsi antara tahun 1998 dan 2013 di beberapa kabupaten di sejumlah provinsi yang relatif kecil. Provinsi dengan jumlah Peraturan Daerah Syariah tertinggi adalah Jawa Barat (103), Sumatera Barat (54), Sulawesi Selatan (47), Kalimantan Selatan (38), Jawa Timur (32) dan Aceh (25). Dengan kata lain, 67,7 persen (300/443) dari Peraturan Daerah Syariah hanya terkonsentrasi di enam provinsi.
     
    Sebagai contoh pemerintahan di Aceh yang pelaksanaannya didasarkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (“UU 11/2006”).
     
    Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah (pemerintah pusat).[7] Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.[8]
     
    Selengkapnya, simak artikel Dasar Hukum Pelaksanaan Pemerintahan di Aceh.
     
    Di pemerintahan Aceh, untuk pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.[9]
     
    Pengertian qanun dapat kita lihat pada Pasal 1 angka 21 dan angka 22 UU 11/2006, yang berbunyi sebagai berikut:
     
    Pasal 1 angka 21 UU 11/2006:
    Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
     
    Pasal 1 angka 22 UU 11/2006:
    Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
     
    Sebagai contoh Peraturan Daerah Syariah (qanun) adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam (“Perda Aceh 8/2014”) ataupun Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (“Perda Aceh 6/2014”).
     
    Lebih lanjut lagi, dapat Anda simak artikel Keabsahan Ketentuan Pidana dalam Qanun Pemerintah Aceh.
     
    Jika materi muatan Peraturan Daerah Syariah tersebut nyatanya bertentangan dengan suatu undang-undang yang secara hierarkis kedudukannya lebih tinggi, dapat dilakukan pengujian. Pengujian tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU 12/2011 yang menyatakan:
     
    Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
     
    Pengujian ini dinamakan judicial review, dimana salah satu wewenang Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.[10]
     
    Hal senada juga disampaikan oleh pakar ilmu perundang-undangan dari Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati dalam artikel Keabsahan Ketentuan Pidana dalam Qanun Pemerintah Aceh, mengatakan pada prinsipnya materi muatan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prinsip yang sama, lanjut Maria, juga berlaku bagi qanun. Materi muatan suatu qanun tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya.
     
    Maria menambahkan apabila ternyata materi muatan suatu qanun bertentangan peraturan di atasnya, maka terhadap qanun tersebut dapat dilakukan uji materil ke Mahkamah Agung. Artinya, qanun dapat dibatalkan atau dicabut dengan alasan bertentangan dengan peraturan di atasnya.
     
    Sebagai ilustrasi, Maria mencontohkan qanun yang mengatur tentang hukuman cambuk. Menurutnya, qanun tersebut bisa saja diuji materiil karena dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya yang terkait yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar 1945;
     
    Referensi:
    Michael Buehler. The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the State in Democratizing Indonesia. Cambrige, United Kingdom: Cambridge University Press, 2016.

    [1] Pasal 1 angka 7 UU 12/2011
    [2] Pasal 1 angka 8 UU 12/2011
    [3] Pasal 14 UU 12/2011
    [4] Pasal 10 ayat (1) UU Pemerintahan Daerah
    [5] Pasal 10 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah
    [6] Pasal 1 angka 9 UU Pemerintahan Daerah
    [7] Pasal 7 ayat (1) UU 11/2006
    [8] Pasal 7 ayat (2) UU 11/2006
    [9] Pasal 13 ayat (1) UU 11/2006
    [10] Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)

    Tags

    hukumonline
    lembaga pemerintah

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!