Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hal-Hal yang Menyebabkan Pembatalan Usul Pembebasan Bersyarat

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Hal-Hal yang Menyebabkan Pembatalan Usul Pembebasan Bersyarat

Hal-Hal yang Menyebabkan Pembatalan Usul Pembebasan Bersyarat
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hal-Hal yang Menyebabkan Pembatalan Usul Pembebasan Bersyarat

PERTANYAAN

Apakah warga binaan/napi yang belum melunasi utang (berupa uang) baik terhadap sesama warga binaan/napi maupun pihak lain, dapat terhambat/batal pembebasannya (baik bebas bersyarat maupun bebas murni) jika belum melunasi utangnya tersebut?

 

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Dalam peraturan mengenai pembebasan bersyarat, khususnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat tidak disebutkan bahwa syarat pembebasan bersyarat adalah harus melunasi utang, baik terhadap sesama warga binaan/narapidana maupun pihak lain. Dalam hal narapidana masih memiliki hubungan utang piutang dengan narapidana atau pihak lain, hal tersebut tidak menghambat atau membatalkan usul pemberian pembebasan bersyaratnya.
     
    Lalu apa hal-hal yang menyebabkan batalnya usul pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Dalam peraturan mengenai pembebasan bersyarat, khususnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat tidak disebutkan bahwa syarat pembebasan bersyarat adalah harus melunasi utang, baik terhadap sesama warga binaan/narapidana maupun pihak lain. Dalam hal narapidana masih memiliki hubungan utang piutang dengan narapidana atau pihak lain, hal tersebut tidak menghambat atau membatalkan usul pemberian pembebasan bersyaratnya.
     
    Lalu apa hal-hal yang menyebabkan batalnya usul pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Guna menyederhanakan jawaban, kami akan mengulas salah satunya, yaitu pembebasan bersyarat.
     
    Pembebasan Bersyarat
    Yang dimaksud dengan pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya, dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Demikian yang dikatakan dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (“UU 12/1995”).
     
    Lebih lanjut mengenai pembebasan bersyarat diatur dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (“Permenkumham 3/2018”), berbunyi:
     
    Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan Narapidana dan Anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
     
    Lalu, bagaimana caranya agar narapidana mendapatkan pembebasan bersyarat?
     
    Perlu dihami dahulu, bahwa pembebasan bersyarat adalah salah satu hak yang didapatkan oleh setiap narapidana dan anak yang Berkonflik dengan Hukum (“anak”).[1] Pembebasan bersyarat tersebut diberikan dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat, yang juga harus bermanfaat bagi narapidana dan anak serta keluasrganya.[2]
     
    Untuk dapat diberikan pembebasan bersyarat, ada syarat yang harus dipenuhi oleh narapidana yaitu:[3]
    1. telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
    2. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana;
    3. telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan
    4. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.
     
    Untuk mendapatkan syarat-syarat diatas, harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen berikut:[4]
    1. fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan;
    2. laporan perkembangan pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan (“Lapas”);
    3. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh Kepala Balai Pemasyarakatan (“Bapas”);
    4. surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana Pemasyarakatan yang bersangkutan;
    5. salinan register F dari Kepala Lapas;
    6. salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas;
    7. surat pernyataan dari narapidana tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum; dan
    8. surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga, wali, lembaga sosial, instansi pemerintah, instansi swasta, atau yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa:
      1. narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; dan
      2. membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana selama mengikuti program Pembebasan Bersyarat.
     
    Hal yang disebutkan di atas adalah syarat umum untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Syarat khususnya dapat Anda lihat dalam artikel Syarat dan Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat.
     
    Tata Cara Pemberian Pembebasan Bersyarat
    Secara umum pemberian Pembebasan Bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi pemasyarakatan. Sistem informasi pemasyarakatan ialah merupakan sistem informasi pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Kantor Wilayah, dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.[5]
     
    Tata cara pemberian pembebasan bersyarat disebutkan sebagai berikut:
    1. Petugas pemasyarakatan mendata narapidana yang akan diusulkan Pembebasan Bersyarat. Pendataan dilakukan terhadap syarat pemberian Pembebasan Bersyarat dan kelengkapan dokumen.[6]
    2. Kelengkapan dokumen wajib dimintakan setelah 7 (tujuh) hari narapidana berada di Lapas/LPKA. Kelengkapan dokumen wajib terpenuhi paling lama 1/2 (satu per dua) masa pidana narapidana berada di Lapas.[7]
    3. Selanjutnya, Tim pengamat pemasyarakatan Lapas merekomendasikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapidana kepada Kepala Lapas berdasarkan data narapidana yang telah memenuhi persyaratan.[8]
    4. Dalam hal Kepala Lapas menyetujui usul pemberian Pembebasan Bersyarat, Kepala Lapas menyampaikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.[9]
    5. Kemudian, Kepala Kantor Wilayah melakukan verifikasi tembusan usul pemberian Pembebasan Bersyarat yang hasilnya disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.[10]
    6. Direktur Jenderal Pemasyarakatan melakukan verifikasi usul pemberian Pembebasan Bersyarat paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal usul pemberian Pembebasan Bersyarat diterima dari Kepala Lapas.[11]
    7. Dalam hal Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui usul pemberian Pembebasan Bersyarat, Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM menetapkan keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat. Keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat disampaikan kepada Kepala Lapas untuk diberitahukan kepada narapidana atau anak dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.[12]
     
    Jadi, pembebasan bersyarat dapat diajukan dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dan mengikuti proses yang telah dijabarkan di atas sampai terbitnya keputusan pemberian pembebasan bersyarat dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM.
     
    Pembatalan dan Pencabutan Pembebasan Bersyarat
    Kemudian mengenai pembatalan serta pencabutan pembebasan bersyarat, berikut ketentuannya:
     
    Kepala lapas dapat membatalkan usul pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana dan anak, apabila narapidana dan anak melakukan hal:[13]
    1. tindak pidana;
    2. pelanggaran tata tertib di dalam Lapas dan tercatat dalam buku register F; dan/atau
    3. memiliki perkara pidana lain yang sedang dalam proses peradilan.
     
    Pembatalan pembebasan oleh kepala lapas dilakukan berdasarkan rekomendasi tim pengamat pemasyarakatan Lapas dan segera dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.[14]
     
    Kemudian megengenai pencabutan pembebasan bersyarat, Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat mencabut keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat terhadap narapidana dan anak.[15]
     
    Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengirimkan salinan Keputusan pencabutan pembebasan Bersyarat kepada Kepala Kantor Wilayah.[16]
     
    Pencabutan pembebasan bersyarat dilakukan berdasarkan:[17]
      1. syarat umum, melakukan pelanggaran hukum dan ditetapkan sebagai tersangka/terpidana; dan
      2. syarat khusus, yang terdiri atas:
        1. menimbulkan keresahan dalam masyarakat;
        2. tidak melaksanakan kewajiban melapor kepada Balai Pamasyarakatan (“Bapas”) yang membimbing paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut;
        3. tidak melaporkan perubahan alamat atau tempat tinggal kepada Bapas yang membimbing; dan/atau
        4. tidak mengikuti atau mematuhi program pembimbingan yang ditetapkan oleh Bapas.
     
    Jadi berdasarkan uraian di atas, menjawab pertanyaan Anda, dalam peraturan tidak disebutkan bahwa syarat pembebasan bersyarat adalah harus melunasi utang baik terhadap sesama warga binaan/napi maupun pihak lain. Maka dalam hal narapidana masih memiliki hubungan utang piutang dengan narapidana atau pihak lain, hal tersebut tidak menghambat atau membatalkan pembebasan bersyarat.
     
    Selain itu, perlu dipahami bahwa utang piutang dengan pembebasan bersyarat merupakan dua hubungan hukum yang berbeda.
     
    Dimana utang piutang merupakan hubungan hukum antara pemberi utang dengan si berutang (keditor dan debitor). Perbuatan meminjamkan uang tersebut adalah perjanjian pinjam meminjam atau lazimnya disebut dengan perjanjian utang piutang. Berdasarkan Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, degan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
     
    Kesepakatan yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini utang piutang, tentu menjadi undang-undang kepada para pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
     
    Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
     
    Jadi dalam hal uang piutang hubungan hukumnya sebatas pihak yang terlibat dalam utang piutang tersebut. Sedangkan dalam pembebasan bersyarat hubungan hukumnya adalah narapidana dengan pemerintah (diberikan keputusannya oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM).
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

    [1] Pasal 2 ayat (1) Permenkumham 3/2018
    [2] Pasal 2 ayat (2) dan (3) Permenkumham 3/2018
    [3] Pasal 82 Permenkumham 3/2018
    [4] Pasal 83 ayat (1) Permenkumham 3/2018
    [5] Pasal 94 Permenkumham 3/2018
    [6] Pasal 95 ayat (1) dan (2) Permenkumham 3/2018
    [7] Pasal 95 ayat (3) dan (4) Permenkumham 3/2018
    [8] Pasal 96 ayat (1) Permenkumham 3/2018
    [9] Pasal 96 ayat (2) Permenkumham 3/2018
    [10] Pasal 97 Permenkumham 3/2018
    [11] Pasal 98 ayat (1) Permenkumham 3/2018
    [12] Pasal 99 ayat (1) dan (2) Permenkumham 3/2018
    [13] Pasal 133 ayat (1) dan (2) Permenkumham 3/2018
    [14] Pasal 134 Permenkumham 3/2018
    [15] Pasal 138 ayat (1) Permenkumham 3/2018
    [16] Pasal 138 ayat (2) Permenkumham 3/2018
    [17] Pasal 139 Permenkumham 3/2018

    Tags

    narapidana
    acara peradilan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!