Apabila dua pasang suami-istri berkumpul di suatu tempat privat (contohnya rumah salah satu pasangan atau kamar hotel), apakah kegiatan-kegiatan ini bisa dijerat hukum menggunakan undang-undang yang berlaku di Indonesia:
Masing-masing suami istri melakukan hubungan intim di kasurnya masing-masing (masih dalam 1 ruangan).
Kedua pasangan suami istri saling bertukar pasangan (misalnya suami A melakukan hubungan intim dengan istri B, begitu pula sebaliknya) dalam waktu bersamaan. Dengan catatan, kegiatan ini tidak dilakukan untuk mencari keuntungan materi (tidak ada yang diuntungkan secara materi) dan kegiatan ini telah disetujui oleh keempat orang tersebut.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Mengenai pertanyaan Anda terkait hukumnya melakukan hubungan seksual dengan tukar pasangan sah suami istri di ruangan yang sama atau hukumnya berhubungan badan bukan dengan pasangan pada dasarnya hanya dapat dijerat dengan Pasal 284 ayat (1) KUHP atau Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 apabila terdapat pengaduan dari pasangan suami istri sahnya.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hukumnya Melakukan Tukar Pasangan yang dibuat oleh Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 8 Agustus 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada dasarnya, hubungan intim yang dilakukan dengan seseorang yang sudah menikah dan bukan pasangan sahnya merupakan suatu tindak pidana dalam hukum positif di Indonesia. Larangan terhadap aktivitas ini dapat ditemukan dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026 dengan bunyi pasal berikut ini:
Pasal 284 KUHP
Pasal 411 UU 1/2023
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut
bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana
karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[2]
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Hukumnya berhubungan badan bukan dengan pasangan sudah mengarah kepada perzinaan, oleh karenanya perlu juga melihat definisi zina dalam KBBI, sebagai berikut:
perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan); fornikasi
perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.
Adapun menurut tafsiran R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209), zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani. Supaya masuk dalam pasal perzinaan, maka persetubuhan harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.
Pasal perzinaan baik dalam KUHP maupun UU 1/2023 termasuk rumusan delik aduan absolut, yaitu pelaku tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Dengan demikian, hukumnya melakukan tukar pasangan sah suami istri dan berhubungan seksual meskipun berdasarkan kesepakatan menurut hemat kami telah memenuhi unsur-unsur Pasal 284 ayat (1) KUHP atau Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023.
Pertama, kedua pasangan tersebut pada dasarnya terikat pada hubungan perkawinan. Kedua, masing-masing pasangan kemudian bertukar pasangan hingga terjadi persetubuhan dengan orang-orang yang bukan pasangan sahnya. Ketiga, persetubuhan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Namun perbuatan ini baru dapat dituntut sepanjang ada pengaduan dari pasangan sahnya.