Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perlindungan Konstitusional dari Kekerasan
Sebagai negara hukum, Indonesia adalah negara yang wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) telah mengamanatkan adanya perlindungan terhadap kekerasan atau harassment yang Anda maksud, khususnya di lingkungan kerja. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa:
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Ayat ini menunjukkan bahwa semua orang sama dan tidak boleh diperlakukan semena-mena di dalam lingkungan kerja, termasuk di dalamnya menjadi korban tindakan harassment. Sedangkan Pasal 28G UUD 1945 menyebutkan bahwa:
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Sedangkan Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyebutkan:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Harassment dalam Lingkungan Kerja
Menurut hemat kami,
sexual harassment, power harassment, ataupun
workplace harassment adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan peraturan perundang-undangan lainnya. UU Ketenagakerjaan adalah payung hukum terhadap perlindungan tenaga kerja untuk menjamin hak-hak dasar buruh, menjamin kesamaan kesempatan, serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun, untuk mewujudkan kesejahteraan buruh.
Beberapa bentuk perbuatan yang terindikasi sebagai power/workplace harassment yakni perploncoan di tempat kerja yang bertujuan mempermalukan karyawan dan mengganggu kinerjanya, pekerja diberikan pekerjaan yang tidak sesuai dengan job description, maupun ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan keahliannya tanpa diberikan training/pelatihan yang layak terlebih dahulu.
Lebih lanjut, berikut adalah beberapa norma dalam UU Ketenagakerjaan yang dapat dikategorikan sebagai larangan harassment, yaitu:
Pasal 5 UU Ketenagakerjaan
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 6 UU Ketenagakerjaan
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Pasal 31 UU Ketenagakerjaan
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
Untuk tujuan Konvensi ini istilah "diskriminasi" meliputi:
setiap pembedaan, pengecualian, atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;
perbedaan, pengecualian atau pengutamaan lainnya yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana ditentukan oleh anggota yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan wakil organisasi pengusaha dan pekerja jika ada, dan dengan badan lain yang sesuai.
Jerat Pidana
Apabila harassment telah menyerang kehormatan/nama baik seorang karyawan, ia dapat mengadukanya kepada polisi atas dugaan penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1) atau ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Perlu diketahui bahwa ketentuan ini merupakan delik aduan.
[1] P.A.F. Lamintang, dengan mengutip
Memorie van Toelichting dalam bukunya
Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 218), menguraikan bahwa disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu kasus tertentu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan. Delik aduan (
klacht delicten) hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan (hal. 217).
Solusi Lainnya
Selain jalur pidana, menurut hemat kami, pekerja yang merasa dirugikan karena
power harassment sebaiknya berani melaporkan perlakuan tersebut ke atasan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, perundingan bipartit wajib diupayakan, yaitu perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
[2] Jika dibiarkan, maka akan menjadi konflik yang berkepanjangan. Menurut Ari Hermawan dalam bukunya
Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial (hal. 35), konflik dapat bersifat fungsional jika dapat berfungsi untuk mencapai kebaikan bagi para pihak yang berkonflik. Namun konflik dapat menjadi disfungsional yang tidak mampu membawa perbaikan bagi para pihak dalam konflik. Menghindari konflik justru dapat memunculkan masalah baru atau sesuatu yang dianggap sudah selesai ternyata masih menyimpan berbagai persoalan yang tidak terselesaikan.
Apabila karyawan tersebut masih mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, karyawan tersebut dapat mengadu kepada instansi setempat yang menangani urusan ketenagakerjaan, khususnya yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Ari Hermawan. Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial. Yogyakarta: UII Press, 2019.
P.A.F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
[1] Pasal 45 ayat (5) UU 19/2016