Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Untuk menjawab pertanyaan Anda ini, kami akan menggunakan dua perspektif, yaitu perspektif
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan perspektif hukum Islam.
Perspektif Hukum Islam
Dalam perspektif hukum Islam, wasiat pada dasarnya boleh diberikan kepada siapapun. Wasiat bertujuan sebagai pemberian dari pewasiat kepada penerima wasiat.
Bedanya dengan hibah, wasiat diserahterimakan pada saat pewasiat telah meninggal dunia. Perbedaan lainnya adalah wasiat pada dasarnya memiliki batas maksimal sepertiga (1/3) dari harta warisan, sedangkan hibah tidak ada batasan demikian.
Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Terkait penerimanya, para ulama umumnya sepakat bahwa wasiat tidak dapat diberikan kepada ahli waris. Yang dimaksud dengan ahli waris di sini adalah mereka yang mendapatkan bagian warisan sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Sebagai contoh, Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh us Sunnah menerangkan ada tiga syarat orang yang berhak menerima wasiat, salah satunya yaitu dia bukan ahli waris.
Sedangkan dalam KHI, wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Pernyataan persetujuan tersebut dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.
[1]
Perlu untuk diingat bahwa wasiat tidak menyebabkan penerima wasiat berubah menjadi ahli waris. Wasiat tidak bisa dijadikan alasan menetapkan seseorang menjadi ahli waris.
Dari uraian di atas, menurut hemat kami, ketentuan hukum Islam pada dasarnya membolehkan Anda memberikan wasiat kepada pacar Anda. Namun demikian, jumlahnya tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) dari harta warisan Anda.
KHI sendiri sebenarnya membolehkan wasiat senilai lebih dari sepertiga (1/3) harta warisan. Namun demikian, hal ini membutuhkan persetujuan ahli waris.
[2]
Perspektif KUH Perdata
Berbeda dengan hukum Islam, dalam KUH Perdata, wasiat dapat menetapkan seseorang sebagai ahli waris. Wasiat juga dapat dijadikan sebagai pemberian saja, biasanya disebut hibah wasiat.
Pasal 957 KUH Perdata menguraikan bahwa:
Hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.
Soebekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata menguraikan bahwa wasiat model seperti ini disebut legaat, yaitu pemberian kepada seseorang berupa:
satu atau beberapa benda tertentu;
seluruh benda dari satu jenis atau satu macam;
hak atas sebagian atau keseluruhan warisan;
suatu hak lain terhadap budel, seperti hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari budel.
Pemberian wasiat kepada pacar juga dibolehkan menurut KUH Perdata. Kebolehan ini selama tidak melanggar ketentuan seperti tidak boleh lompat tangan (fidei-commis) dan tidak boleh memberikan wasiat kepada pasangan zinanya.
Hal ini sesuai ketentuan Pasal 909 KUH Perdata, yang berbunyi:
Pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dari wasiat kawan berzinanya, dan kawan berzina ini tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dan wasiat pelaku, asal perzinaan itu sebelum meninggalnya pewaris, terbukti dan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Baca juga:
Demikian jawaban kami, semoga bemanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Sayyid Sabiq. Fiqh us Sunnah. Mesir: al-Fath lil I’lam al-‘Arabi. 2004.
Soebekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Internusa. 2003.
[1] Pasal 195 ayat (3) dan (4) KHI