Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hak ‘Korban’ PHK Imbas Wabah COVID-19

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Hak ‘Korban’ PHK Imbas Wabah COVID-19

Hak ‘Korban’ PHK Imbas Wabah COVID-19
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hak ‘Korban’ PHK Imbas Wabah COVID-19

PERTANYAAN

Kantor saya melakukan pemecatan pekerja/buruh karena dampak virus COVID-19. Alasannya, perusahaan tidak bisa menggaji pekerja/buruh disertai adanya pengurangan pekerja/buruh. Perusahaan saya PMA. Status saya masih PKWT, dengan sisa tiga bulan masa perjanjian kerja. Ini merupakan kontrak kedua, karena saya bekerja sejak tahun 2018. Yang saya mau tanyakan, berapa hitungan kisaran gaji atau pesangon yang seharusnya saya terima menurut undang-undang? Kantor hanya membayar gaji saya untuk bulan Maret plus kompensasi satu bulan gaji. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya pemutusan hubungan kerja (“PHK”) harus dicegah dengan segala upaya. Dalam menghadapi dampak negatif COVID-19 pun, pengusaha diminta untuk tidak melakukan PHK.
     
    Terdapat beberapa langkah alternatif agar pekerja/buruh tidak di-PHK dan kegiatan usaha tetap dapat berjalan. Namun, jika tidak terhindarkan, maka PHK harus dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
     
    Apa saja hak pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) yang di-PHK sebelum masa kontraknya habis? 
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Perhitungan Pesangon bagi ‘Korban’ PHK Imbas Wabah COVID-19 yang dibuat oleh Sigar Aji Poerana, S.H. dan dipublikasikan pada Rabu, 08 April 2020, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada Jum’at, 24 April 2020.
     
    Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja
    Pada dasarnya, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, harus mengusahakan dengan segala upaya agar Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) tidak terjadi.[1]
     
    Akan tetapi, jika PHK tidak dapat dihindari, maka pengusaha harus memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada pekerja yang bersangkutan dan/atau serikat pekerja.[2] Apabila pekerja telah diberitahu dan menolak, maka penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja dan/atau serikat pekerja.[3]
     
    Dalam hal perundingan bipartit tidak menghasilkan kesepakatan, maka penyelesaian PHK dilakukan ke tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial[4] yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
     
    Dalam konteks masa pandemi COVID-19, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Obon Tabroni, meminta pengusaha tidak melakukan PHK, terutama di sektor-sektor yang rentan terdampak pandemi COVID-19. Hal ini sebagaimana dikutip artikel Dampak COVID-19, Legislator Ini Minta Pengusaha Tidak PHK Pekerja (hal. 1).
     
    Namun dalam artikel yang sama, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sutrisno Iwantono, mengakui bahwa imbauan untuk tidak melakukan PHK agak sedikit sulit untuk diterapkan. Apalagi jika perusahaan mengalami kerugian, PHK menjadi hal yang paling mungkin untuk dilakukan oleh pelaku usaha untuk menekan defisit keuangan perusahaan (hal. 2).
     
    Di sisi lain, dalam artikel Dampak COVID-19 Bisa Picu PHK, Menaker: Kedepankan Dialog Sosial, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah kerja sama yang mengedepankan dialog sosial untuk mencari solusi terbaik dan menghindari PHK.
     
    Untuk menghindari PHK, Kementerian Ketenagakerjaan sudah menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 (“SE Menaker M/3/HK.04/III/2020”).
     
    Dalam SE Menaker M/3/HK.04/III/2020, Menteri Ketenagakerjaan meminta kepada para gubernur untuk melaksanakan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi COVID-19, sebagai berikut[5]:
    1. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) COVID-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh.
    2. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspek COVID-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi.
    3. Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit COVID-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan.
    4. Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
     
    Berdasarkan surat edaran tersebut, untuk menghindari PHK, pengusaha dapat melakukan perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh yang dirumahkan sementara akibat wabah COVID-19, berdasarkan kesepakatan para pihak. Selain itu, pekerja/buruh yang diduga atau positif terjangkit COVID-19 juga berhak atas upah.
     
    Dengan demikian, PHK memang tidak dianjurkan untuk dilakukan. Ada upaya alternatif untuk tetap mempekerjakan pekerja/buruh dan mempertahankan kelangsungan kegiatan usaha sebagaimana diterangkan di atas.
     
    Ketentuan Ganti Rugi bagi Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”)
    Sebelumnya, perlu diketahui bahwa perjanjian kerja berakhir apabila terjadi kondisi-kondisi sebagai berikut:[6]
    1. Pekerja/buruh meninggal dunia;
    2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
    3. Selesainya suatu pekerjaan tertentu;
    4. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
    5. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
     
    Dikarenakan dalam hal ini pengusaha mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT dan berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan di atas, maka pengusaha selaku pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya, yaitu pekerja, sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.[7]
     
    Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, pekerja PKWT berhak mendapatkan ganti kerugian ketika terjadi PHK secara sepihak di tengah masa kontraknya.
     
    Berdasarkan keterangan Anda, sisa masa PKWT-nya adalah tiga bulan. Sehingga, jika terjadi PHK, Anda berhak atas ganti kerugian sejumlah tiga bulan upah yang seharusnya Anda terima di sisa masa kontrak tersebut, namun tidak berhak atas pesangon.
     
    Ketentuan Pesangon bagi Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”)
    Sedangkan untuk pekerja dengan PKWTT yang di-PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja (“UPMK”) dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.[8]
     
    Perhitungan pesangon adalah sebagai berikut:[9]
     
    Sedangkan perhitungan UPMK adalah sebagai berikut:[10]
     
    Sementara itu, uang pengganti hak yang seharusnya diterima meliputi:[11]
    1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
    2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
    3. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
     
    Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan UPMK terdiri atas:[12]
    1. upah pokok; dan
    2. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
     
    Contoh Putusan
    Serupa dengan kasus yang Anda tanyakan perihal ganti rugi untuk pekerja PKWT dalam hal kontrak kerja dihentikan sepihak oleh pengusaha, sebagai contoh kasus kami merujuk kepada Putusan Mahkamah Agung Nomor 33 K/Pdt.Sus-PHI/2017.
     
    Dalam kasus tersebut, hubungan kerja antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi (tenaga kerja asing) berdasarkan PKWT sejak tanggal 3 Juli 2014 sampai dengan 2 Juli 2016 dengan jabatan sebagai Tungkal Asset Manager (hal. 24).
     
    Kemudian, pada tanggal 15 Februari 2015 termohon kasasi dimutasikan ke jabatan baru sebagai Head of Geological Studies dengan syarat kerja yang sama dengan jabatan sebelumnya akan tetapi dengan penurunan upah (hal. 24).
     
    Akan tetapi, sebelumnya pada tanggal 20 Januari 2015 termohon kasasi di-PHK mulai berlaku sejak 27 Feburari 2015 tanpa ada kesalahan (hal. 24).
     
    Oleh karena itu, pemohon kasasi berkewajiban membayar uang kompensasi PHK terhadap termohon kasasi sebesar upah kali sisa masa kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, yaitu bulan Maret 2015 sampai dengan Juni 2016 (hal. 24).
     
    Dengan demikian, sebagaimana yang diputus dalam kasus tersebut, Anda juga berhak atas ganti kerugian sejumlah tiga bulan upah yang seharusnya Anda terima di sisa masa kontrak Anda.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Agung Nomor 33 K/Pdt.Sus-PHI/2017.
     

    [1] Pasal 81 angka 37 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)
    [2] Pasal 81 angka 37 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [3] Pasal 81 angka 37 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
    [4] Pasal 81 angka 37 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
    [5] Poin II SE Menaker M/3/HK.04/III/2020
    [6] Pasal 81 angka 16 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [7] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan
    [8] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [9] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [10] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
    [11] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
    [12] Pasal 81 angka 45 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 157 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    Tags

    covid-19
    insentif

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!