KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Saksi Batalkan Keterangan BAP di Persidangan, Bolehkah?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Saksi Batalkan Keterangan BAP di Persidangan, Bolehkah?

Saksi Batalkan Keterangan BAP di Persidangan, Bolehkah?
Dr. Rocky Marbun, S.H., M.H.Klinik Hukum Universitas Pancasila
Klinik Hukum Universitas Pancasila
Bacaan 10 Menit
Saksi Batalkan Keterangan BAP di Persidangan, Bolehkah?

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya, bolehkah saksi yang dimintai keterangannya oleh polisi kemudian membatalkan memberikan keterangan di pengadilan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Keterangan saksi yang telah dituliskan dalam dalam Berita Acara Pemeriksaan (“BAP”) dapat saja berbeda dengan keterangan yang disampaikan saksi di depan persidangan. Hal ini tidak menjadi masalah, sebab dalam KUHAP, tidak terdapat larangan bagi saksi yang mencabut keterangan BAP sepanjang memberikan alasan yang logis dan menjelaskan perbedaannya.

    Lain halnya jika saksi tersebut benar telah memberikan keterangan palsu di atas sumpah, ia dapat dijerat dengan pidana sumpah palsu atau keterangan palsu berdasarkan Pasal 242 KUHP.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Saksi dan Keterangan Saksi

    Sebelum menjawab pokok permasalahan yang Anda tanyakan, perlu kami jelaskan terlebih dahulu mengenai ketentuan saksi dan keterangan saksi KUHAP.

    KLINIK TERKAIT

    Asas Diferensiasi Fungsional dalam Hukum Acara Pidana

    Asas Diferensiasi Fungsional dalam Hukum Acara Pidana

    Pengertian saksi tercantum dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP serta untuk keterangan saksi diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut:

    Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Namun, semenjak adanya Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010, patut diperhatikan pengertian saksi diperluas baik dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP dimaknai termasuk pula:

    Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

    Kedua norma hukum di atas menunjukan bahwa saat ini, saksi testemoni de auditu yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain telah dipandang sebagai salah satu alat bukti. Walaupun nanti yang masih diperdebatkan adalah apakah saksi tersebut berdiri sendiri atau merupakan alat bukti petunjuk.

    Keterangan saksi merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian paling tinggi pada hukum acara pidana dan menempati urutan pertama dari keseluruhan rangkaian alat bukti sebagaimana tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Oleh karenanya, dalam proses persidangan perkara pidana, tujuan utamanya adalah mencari kebenaran materiil.

    Pada ranah hukum acara pidana, jika dilihat dari fungsinya, maka terdapat dua jenis saksi, yaitu saksi yang memberatkan (a charge) dan saksi yang meringankan (a de charge). Sedangkan jika dilihat dari substansinya, maka terdapat beberapa konsep mengenai saksi, yaitu saksi korban, saksi fakta, dan saksi mahkota (kroen getuide).

    Baca juga: Definisi Saksi Mahkota

     

    Kewajiban Hukum Saksi untuk Memenuhi Panggilan

    Pada ranah pemeriksaan di tingkat penyidikan, seorang penyidik melalui Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP berwenang memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Dikarenakan upaya memanggil untuk mendengar dan memeriksa seseorang sebagai saksi merupakan hak hukum dari penyidik, maka konsep tersebut akan selalu berdampingan dengan konsep kewajiban hukum.[1] Artinya, jika pada satu sisi memanggil adalah merupakan ‘hak hukum’, maka pada sisi lain akan dibebani ‘kewajiban hukum’ untuk memenuhi panggilan tersebut.

    Sehingga, seseorang yang telah mendapatkan panggilan dari penyidik untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi, maka ia wajib hukumnya untuk hadir dalam pemeriksaan tersebut. Pemikiran tersebut kemudian dituangkan atau dinormakan dalam Pasal 112 ayat (2) KUHAP yang menegaskan:

    Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

    Demikian pula pada ranah pemeriksaan di persidangan yang dituangkan dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP yaitu:

    Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.

    Uraian di atas hanya menunjukan adanya kewajiban hukum bagi setiap warga negara untuk memenuhi panggilan tersebut. Tentunya, permasalahan tersebut tidak berkaitan dengan substansi pemeriksaan dan isi keterangan dalam suatu berita acara pemeriksaan (“BAP”).

    Baca juga: Ancaman Pidana Bagi Orang yang Menolak Panggilan Sebagai Saksi

     

    Alat Bukti Keterangan Saksi

    Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian apabila telah dinyatakan atau disampaikan di sidang pengadilan.[2]

    Sehingga, menurut kami, proses memeriksa dan mendengarkan keterangan saksi pada ranah penyidikan hanyalah merupakan suatu proses mengumpulkan bahan keterangan semata. Keterangan saksi yang dituangkan dalam suatu BAP tidak memiliki nilai sebagai alat bukti keterangan saksi. Namun, BAP memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti surat.[3]

    Baca juga: Kaitan antara BAP dan Putusan Hakim

     

    Asas Non-Self Incrimination dan Jerat Pidana Sumpah Palsu

    Perlu diingat pula, bahwa dalam Pasal 66 jo. Pasal 175 KUHAP dikenal pula dengan asas praduga tak bersalah dan asas non-self incrimination yaitu seorang terdakwa berhak untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan.

    Pasal 66 KUHAP

    Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

     

    Pasal 175 KUHAP

    Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.

    Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan saksi. Sebab, Pasal 174 KUHAP memungkinkan hakim untuk berpendapat bahwa saksi tersebut memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, dengan ancaman pidana sumpah palsu atau keterangan palsu pada Pasal 242 KUHP.

    Baca juga: Sumpah Palsu dan Pembuktiannya

    Pada yurisprudensi Mahkamah Agung (“MA”) dalam Putusan MA No. 299 K/Kr/1959 yang menjadi rujukan untuk menilai perilaku terdakwa yang menarik keterangannya yang diucapkan di luar sidang, tanpa alasan yang berdasar adalah sebagai petunjuk tentang adanya kesalahan terdakwa.

    Putusan ini kerap dikutip dalam berbagai tulisan ilmiah untuk menjustifikasi keputusan hakim yang mencurigai adanya kesalahan yang diakui secara diam-diam adalah benar merupakan wujud kesalahan. Padahal, jika diperhatikan tahun terbitnya adalah 1959, maka disimpulkan putusan tersebut tidak berdasarkan KUHAP. Oleh karena, KUHAP sejak tahun 1981 mengakomodir asas non-self incrimination bagi terdakwa. Sehingga, yurisprudensi tersebut sudah tidak fit and proper lagi terhadap KUHAP.

     

    Bolehkah Saksi Cabut Keterangan BAP di Persidangan?

    Lantas, menjawab pertanyaan Anda, bagaimana dengan saksi yang mencabut keterangannya yang telah dituangkan dalam BAP? Jawabannya adalah sudah seharusnya merujuk pada Pasal 163 KUHAP yang mengatur:

    Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.

    Dengan demikian, seharusnya tidak ada ancaman sanksi pidana bagi saksi yang mencabut keterangannya atau berbeda keterangannya dengan yang dicantumkan dalam BAP. KUHAP hanya memerintahkan kepada hakim untuk mengingatkan kepada saksi dan meminta penjelasan dari saksi mengenai apa yang menjadi penyebab perbedaannya tersebut.

    Sebagaimana disarikan dari Kekuatan Pembuktian BAP Saksi di Persidangan, jika seorang saksi mencabut keterangannya dalam BAP yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, fungsi keterangan saksi pada BAP yang dibuat penyidik dapat menjadi alat bukti petunjuk.

    Di lain sisi, apabila saksi ternyata benar telah memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, dan bukanlah pernyataan untuk menarik keterangannya dalam BAP atau adanya perbedaan dengan keterangan dalam BAP seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, maka saksi yang bersangkutan dapat dijerat pidana sumpah palsu atau keterangan palsu.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

     

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 299 K/Kr/1959;
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

    Referensi:

    1. Erick Malombeke, Daniel F. Aling, dan Roy Ronny Lembong. Peranan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Lex Administratum, Vol. IX, No. 4, 2021;
    2. Kaelan. Pancasila Sebagai Dasar Penjabaran Hak-Hak Asasi Manusia, Jurnal Filsafat, Vol. 12, No.  1, November 1992;
    3. M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2022.

    [1] Kaelan. Pancasila Sebagai Dasar Penjabaran Hak-Hak Asasi Manusia, Jurnal Filsafat, Vol. 12, No.  1, November 1992, hal. 31-32; M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2022, hal. 168

    [2] Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    [3] M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2022, hal. 285-289; Erick Malombeke, Daniel F. Aling, dan Roy Ronny Lembong. Peranan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Lex Administratum, Vol. IX, No. 4, 2021, hal. 140

    Tags

    bap
    hukum acara pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Jika Menjadi Korban Penipuan Rekber

    1 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!