Undang-Undang No.39 Tahun 2014

Rancangan Undang-Undang Perkebunan (“ RUU Perkebunan ”) yang telah lama ditunggu akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“ DPR ”) pada tanggal 29 September 2014. RUU Perkebunan bertujuan memperbaiki ketentuan mengenai perkebunan, yang saat ini diatur melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (“ UU Perkebunan ”) dan tidak lagi memberikan nilai tambah bagi sektor perkebunan nasional.

RUU Perkebunan penting bagi pelaku usaha perkebunan dan jasa terkait, termasuk masyarakat hukum adat yang tanahnya menjadi target para pelaku usaha perkebunan.

Secara umum, RUU Perkebunan yang memuat 118 pasal ini, mengatur ketentuan yang lebih rinci mengenai sektor dan industri perkebunan dibanding dengan UU Perkebunan, yang hanya memuat 55 pasal.

Karena cakupannya yang luas, edisi Indonesian Legal Brief kali ini akan terbatas pada ketentuan umum RUU Perkebunan, proses perizinan, kepemilikan asing, pemberdayaan masyarakat setempat, perlindungan tanah hak ulayat, kawasan perkebunan, dan pengendalian asap.

Ketentuan Umum
“Industri Perkebunan” adalah proses menyeluruh dari kegiatan penanaman hingga pemasaran tanaman semusim (seperti tembakau, tebu, serat kapas) dan tanaman tahunan (seperti karet, kopra, kelapa sawit dan biji kopi). [1]

RUU Perkebunan mengklasifikasikan industri perkebunan ke dalam tiga usaha utama, yaitu: 1) usaha budi daya tanaman perkebunan; 2) usaha pengolahan hasil perkebunan; dan 3) usaha jasa perkebunan (“ Pengusaha Perkebunan ”). [2] Usaha-usaha ini dapat diselenggarakan oleh perseorangan atau badan usaha. Sebelumnya, UU Perkebunan tidak mengatur klasifikasi industri perkebunan.

Proses Perizinan
Sebelum melaksanakan kegiatan perkebunan, Pengusaha Perkebunan harus mendapatkan izin usaha perkebunan terlebih dahulu (“ Izin ”) dari salah satu pejabat berikut: bupati/walikota, gubernur, atau Menteri Pertanian (“ Menteri ”). [3]

Permohonan izin harus memenuhi persyaratan berikut dan menyertakan dokumen pendukung yang ditentukan: [4]
a.      Izin lingkungan; [5]
b.      Perkebunan sesuai dengan tata ruang wilayah dan Rencana Induk Perkebunan;
c.       Pemohon memiliki sarana dan infrastruktur yang memadai untuk mengendalikan penyebaran hama (hanya berlaku untuk sektor budi daya); dan
d.      Memiliki 20% dari keseluruhan bahan baku yang berasal dari perkebunan mereka sendiri (hanya berlaku untuk sektor pemrosesan produk perkebunan).

Kriteria lebih lanjut dan prosedur yang lebih rinci untuk mendapatkan izin usaha perkebunan akan diatur lebih lanjut oleh peraturan gubernur. [6]

Sebelumnya, UU Perkebunan tidak mengatur persyaratan di atas dan dokumen wajib untuk mendapatkan suatu izin usaha perkebunan. Sebaliknya, UU Perkebunan hanya mengatur bahwa proses perizinan diatur dalam Peraturan Menteri. [7]

Kepemilikan Asing
Persaingan antara kepentingan pro-nasional dan pro-investasi asing yang timbul selama pembahasan Rancangan Juli 2014 (“ Rancangan Juli ”)—khususnya mengenai batas 30 persen kepemilikan asing—akhirnya diputuskan melalui kompromi.

Alih-alih memberikan batasan nilai investasi asing, RUU Perkebunan memberikan ketentuan umum dengan menyatakan bahwa investasi dalam negeri akan diutamakan untuk kepentingan nasional. [8] Pada UU Perkebunan, tidak ada batasan kepemilikan asing, apalagi prioritas untuk investasi dalam negeri.

Investasi asing dapat dilaksanakan oleh badan hukum atau perseorangan asing (“ Pihak Asing ”). Selanjutnya, para pihak asing ini harus mengadakan kerjasama dengan pelaku usaha perkebunan nasional untuk membentuk badan hukum Indonesia. [9]

Jika suatu Pihak Asing ingin mengakuisisi saham kepemilikan nasional pada suatu usaha perkebunan, pihak tersebut membutuhkan persetujuan dari Menteri Pertanian (“ Menteri ”) agar dapat mengakuisisi usaha perkebunan lokal. [10] Sebelumnya, UU Perkebunan hanya mewajibkan rekomendasi Menteri, bukan persetujuan. [11]

Meski mengizinkan investasi asing secara umum, pembatasan terhadap investasi asing masih dimungkinkan. RUU Perkebunan memandatkan penerbitan peraturan pemerintah yang akan mengatur hal terkait investasi asing, seperti batasan nilai, jenis perkebunan, dan skala usaha. [12] Peraturan pemerintah ini akan diterbitkan dalam jangka dua tahun sejak RUU Perkebunan ini berlaku. [13]

Pemberdayaan Masyarakat Setempat
Pengusaha Perkebunan yang memegang Izin pengolahan atau pembudidayaan harus mengalokasikan setidaknya 20 persen wilayah perkebunan mereka untuk dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kegiatan perkebunan. Masyarakat setempat harus memiliki akses terhadap wilayah yang diberikan dalam jangka waktu tiga tahun setelah mereka mendapatkan hak guna usaha. [14] Ketidakpatuhan terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan sanksi administrative seperti denda, pemberhentian izin usaha sementara, dan/atau pencabutan izin usaha perkebunan. [15]

Perlindungan Tanah Hak Ulayat
Pejabat pemerintahan daerah yang terkait dapat tidak memberikan izin usaha perkebunan pada tanah hak ulayat. [16] Untuk itu, Pengusaha Perkebunan harus mengadakan negosiasi langsung dengan masyarakat hukum adat terkait ketika ingin menggunakan tanah mereka. [17] Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan sanksi pidana kepada pejabat pemerintahan dalam bentuk lima tahun penjara atau denda IDR 5 juta. [18]

Kawasan Perkebunan
RUU Perkebunan berusaha untuk melihat sektor perkebunan sebagai sektor terintegrasi, dimana dalam propinsi-propinsi akan terdapat kawasan perkebunan terintegrasi  yang akan memudahkan perkebunan, pengolahan, pemasaran, dan penelitian dan pengembangan untuk sektor ini. RUU Perkebunan tidak mengatur uraian rinci mengenai hal ini, namun mewajibkan penerbitan peraturan pemerintah untuk mengatur hal tersebut. [19]

Pengendalian Asap
RUU Perkebunan sangat melarang penggunaan metode pembakaran untuk membersihkan lahan yang akan digunakan sebagai lahan perkebunan. Hal ini sesuai dengan komitmen pemerintah, dimana Indonesia telah meratifikasi Perjanjian ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas. [20] Jika Pengusaha Perkebunan tetap menggunakan metode pembakaran, pengusaha perkebunan tersebut terancam hukuman penjara 10 tahun dan denda IDR 10 miliar. [21]

Ketika berlaku RUU Perkebunan akan mencabut dan menggantikan UU Perkebunan 2004.

Berdasarkan Pasal 73 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU Perkebunan membutuhkan tanda tangan Presiden agar dapat berlaku. Jika dalam 30 hari RUU Perkebunan tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden, RUU Perkebunan akan secara otomatis mendapatkan nomor dan berlaku. DS/HOT

[1] Pasal 1 (1) dan (2), RUU Perkebunan

[2] Pasal 41, RUU Perkebunan

[3] Dari bupati/walikota, jika wilayah perkebunan terletak dalam kabupaten/kota; daru gubernur jika wilayah perkebunan melintasi beberapa kabupaten/kota dalam suatu provinsi; dan dari Menteri jika wilayah perkebunan melintasi beberapa propinsi. Lihat Pasal 48 (1), RUU Perkebunan.

[4] Pasal 45, RUU Perkebunan

[5] Lihat ILD No. 249

[6] Pasal 49, RUU Perkebunan.

[7] Pasal 17 (7), UU Perkebunan.

[8] Pasal 95 (2), RUU Perkebunan

[9] Pasal 39, RUU Perkebunan

[10] Pasal 40, RUU Perkebunan

[11] Pasal 14, UU Perkebunan

[12] Pasal 95, RUU Perkebunan

[13] Pasal 117, RUU Perkebunan

[14] Pasal 58, RUU Perkebunan

[15] Pasal 60, RUU Perkebunan

[16] Keberadaan masyarakat hukum adat telah diakui secara formal dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 of 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Lihat ILB No.2460

[17] Pasal17, RUU Perkebunan

[18] Pasal 103, RUU Perkebunan

[19] Pasal 61, RUU Perkebunan

[20] Lihat ILB No. 2483

[21] Pasal 108

UU Perkebunan Terbaru Disahkan

OVERVIEW

The concerns of foreign investors in the plantation sector have been somewhat alleviated following the passage of the Bill on Plantation s (“ New Plantation Law ”) by the House of Representative (“ House ”) on 29 September 2014. The New Plantation Law was passed with a few limited but nonetheless substantial changes compared to the July Draft 2014 (“ July Draft ”). [1] Specific to foreign investment, the House agreed not to include an investment cap in the New Plantation Law, which was previously touted at 30% in the July Draft.

Bill on Plantations: A Sigh of Relief for Foreign Investors

<p><a href="http://en.hukumonline.com/pages/lt542bdc59efc07/uu-perkebunan-terbaru-disahkan">ILB: UU Perkebunan Terbaru Disahkan</a><br />
<br />
<a href="http://en.hukumonline.com/pages/lt5440da6db85c3/bill-on-plantations--a-sigh-of-relief-for-foreign-investors">ILD: Bill on Plantations: A Sigh of Relief for Foreign Investors</a></p>


Konsolidasi Undang-Undang No.39 Tahun 2014

Law No.39 of 2014

Undang-Undang

Pusat Data

Bidang Usaha

Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian

Pertanian, Perkebunan & Peternakan

PERKEBUNAN

PLANTATION

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014

Law Number 39 of 2014

New Category

Business Sector

Forestry, Plantation and Agriculture

Agriculture, Plantation & Livestock

CIPTA KERJA

JOB CREATION

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022

Regulation of The Government In Lieu of Law Number 2 of 2022

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Law Number 11 of 2020

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004

Anda tidak dapat mengakses fitur Hukumonline Pro setelah

Segera lakukan perpanjangan untuk menghindari pemutusan akses fitur Hukumonline Pro.

Nama

Untuk memperpanjang langganan Hukumonline Pro, segera isi formulir di bawah ini dan tim kami akan menghubungi Anda!

Segera perpanjang langganan Anda untuk dapat mengakses seluruh fitur dari Hukumonline Pro.

Cari peraturan, putusan, artikel, klinik, berita, dan lainnya

Perpanjangan langganan Hukumonline Pro Anda sudah kami terima. Anda akan segera dihubungi oleh Tim Hukumonline untuk mendapatkan akses tanpa batas ke berbagai layanan dan produk terbaik dari Hukumonline Pro.

Hukumonline.com