Catatan dan Refleksi Kritis Akademisi STH Indonesia Jentera atas Putusan PHPU Pilpres 2024
Melek Pemilu 2024

Catatan dan Refleksi Kritis Akademisi STH Indonesia Jentera atas Putusan PHPU Pilpres 2024

Pasca putusan MK terkait PHPU Pilpres 2024, semua pihak diminta untuk terus mengkritisi kebijakan dan keputusan para pemimpin. Hal ini bertujuan untuk membangun demokrasi dan negara hukum. Dan yang tak kalah penting adalah memperbaiki MK.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Foto: RES
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Foto: RES

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan hasil pemilihan presiden 2024 yang diajukan oleh mantan Capres-Cawapres Nomor Urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan mantan Capres-Cawapres Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapatkan reaksi dari berbagai pihak. Tak terkecuali dari Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti.

Tokoh akademisi di balik film dokumenter berjudul Dirty Vote ini mengungkapkan beberapa catatan kritisnya terhadap putusan MK yang dibacakan pada Senin (22/4). Pertama, Bivitri menyoroti pertimbangan MK yang menyebut bahwa termohon tidak melanggar hukum positif Indonesia. Misalnya dalam dugaan Presiden Joko Widodo yang bersikap tidak netral atau cawe-cawe dalam pilpres 2024, MK menilai dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum karena hal tersebut adalah persoalan etik.

“Nah tentu saja dalam sebuah pengadilan MK adalah dia beralasan menurut hukum atau tidak. Dalam kaca mata hukumnya hanya diletakkan dalam kacamata hukum positif Indonesia. Makanya dalam banyak hal seperti bantuan sosial, keterlibatan penjabat daerah dianggap tidak menjadi masalah oleh MK,” kata Bivitri dalam sebuah video di Instagram resminya, Selasa (25/4).

Baca juga:

Kedua, dalam putusannya MK juga menyebut jika intensi Presiden Jokowi terkait penyaluran bansos dalam kontestasi pilpres 2024 tidak bisa ditentukan karena keterbatasan waktu. Pertimbangan ini, MK seakan-akan ingin menegaskan bahwa pihaknya dibatasi oleh waktu untuk membuktikan praktik politik gentong babi. Lebih memprihatinkan lagi adalah ketika MK menyatakan praktik nepotisme tidak berhasil didalilkan oleh pemohon.

Padahal, menurut Bivitri, praktik nepotisme dalam pilpres 2024 adalah peristiwa yang terjadi secara terang benderang yang diawali dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Ketiga, dissenting opinion dari tiga hakim MK yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat. Sejak MK menangani perkara PHPU pada 2004 silam, hakim MK akan mengupayakan suara bulat dalam putusan yang bertujuan untuk menjaga legitimasi pemerintahan baru.

Tags:

Berita Terkait