Ketika Karya Foto Hanya Dihargai Sebungkus Rokok
Hubungan Industrial:

Ketika Karya Foto Hanya Dihargai Sebungkus Rokok

Majalah Security Indonesia hanya menghargai foto karya fotografernya senilai Rp10 ribu. Menunjukan pihak perusahaan masih kurang menghargai profesi jurnalis fotografer?

ASh
Bacaan 2 Menit
 Ketika Karya Foto Hanya Dihargai Sebungkus Rokok
Hukumonline

Karya foto dari seorang fotografer sudah selayaknya diapresiasi terutama oleh perusahaan industri media. Namun tidak demikian yang dialami Adri Irianto, fotografer freelance majalah bulanan Security Indonesia yang bekerja sejak April 2007. Sejak awal bekerja hingga edisi ke-9 pada 17 September 2007, tiap foto Adri dihargai Rp65 ribu. Besaran harga itu berdasarkan kesepakatan lisan Adri dengan perusahaan.

 

Namun Adri tak menyangka kalau pada edisi ke-10 perusahaan hanya membayar hasil jepretannya seharga ceban alias Rp10 ribu per foto. Di dalam edisi itu ada 48 foto karya Adri. Alhasil saat itu Adri hanya membawa pulang uang Rp480 ribu. Padahal jika dengan harga Rp65 ribu, Adri bisa mengantongi uang Rp3,12 juta.

 

Upaya penyelesaian masalah secara kekeluargaan antara Adri dan perusahaan menemui jalan buntu. Perselisihan mereka pun akhirnya mampir ke Disnakertrans DKI Jakarta. Dalam anjurannya, mediator Disnaker menyarankan perusahaan untuk membayar harga foto sesuai kesepakatan awal, yakni Rp65 ribu. Bukan Rp 10 ribu. Tak terima dengan anjuran mediator, perusahaan melayangkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.

 

Ditemui usai sidang, kuasa hukum perusahaan Poltak Hutajulu enggan berkomentar. Kita gak bisa komentar apapun, ujar Poltak sambil berlalu. Namun berdasarkan surat gugatan yang diterima hukumonline, perusahaan mengaku keberatan atas isi anjuran Disnakertrans. Sebab, perusahaan berdalih tak pernah menyepakati harga setiap foto sebesar Rp65 ribu yang telah dimuat di Majalah Security Indonesia pada edisi 10 itu.

 

Menurut perusahaan meski pernah menghargai setiap foto sebesar Rp65.000 sebelumnya, tetapi itu hanya didasari kebijaksanaan perusahaan. Karenanya dalam petitum, perusahaan menuntut kepada majelis hakim PHI untuk menetapkan harga setiap foto yang telah dimuat pada edisi 10 itu sebesar Rp10 ribu, sehingga total yang harus dibayar perusahaan kepada Adri hanya  sebesar Rp480 ribu.

 

Kurang dihargai

Di persidangan, Adri memberi kuasa kepada LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Pasalnya, Adri sendiri tercatat sebagai anggota AJI. Majelis hakim yang diketuai Sapawi sempat mempersoalkan kuasa ganda AJI dan LBH Pers itu. Namun akhirnya majelis memerintahkan Adri membuat surat pernyataan yang menyatakan tak keberatan memberi kuasa kepada dua organisasi itu.

 

Kuasa hukum Adri dari AJI Indonesia, Winuranto Adhi mengatakan kasus ini menunjukan pihak perusahaan masih kurang menghargai profesi fotografer. Menurut dia seorang kontributor foto di perusahaan media manapun tak ada hasil karya fotonya hanya dihargai sebesar Rp10 ribu per foto. Harga ini tentunya menghina atau melecehkan profesi jurnalis foto, kata Winuranto. AJI akan terus mengawal kasus ini sampai pengusaha ini menghargai kerja-kerja fotografer. Sebagai perbandingan, menurutnya di Koran dan Majalah Tempo sebuah hasil karya foto dihargai berkisar Rp80 ribu hingga Rp250 ribu. Sedangkan di kantor berita Antara berkisar Rp100 ribuan.

 

Terkait tak ada kesepakatan tertulis atas harga per foto, Winuranto berpatokan pada harga yang pernah diterima Adri sebelumnya sebesar Rp65 ribu per frame foto yang pernah disepakati. Ketika tagihan honor kedua mau dituntut, perusahaan berdalih tak ada kesepakatannya. Kita punya bukti-buktinya (bukti slip honor, red).

 

Hal ini menunjukan para pemilik industri media masih mengabaikan hak-hak pekerja dan dapat menjadi preseden buruk. Sebab, di Indonesia tak memiliki standardisasi soal kelayakan industri media. Paling tidak kasus ini bisa menjadi pelajaran buat pemilik media yang lain dan pekerja media, katanya.

 

Gugat rekopensi

Sementara kuasa hukum dari LBH Pers, Selamet Jufri mengatakan kliennya akan mengajukan gugatan rekopensi alias gugatan balik kepada perusahaan. Kita akan ajukan jawaban plus rekonpensi. 

 

Selamet menjelaskan pihak perusahaan berargumen tak ada perjanjian tertulis atas honor sebesar Rp65 ribu per foto. Padahal merujuk Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja berdasarkan perjanjian kerja dengan unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

 

Jika dihubungkan Pasal 51 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Dua point itu yang akan menjadi dasar hukum kami di luar pokok perkara tadi, ujar Selamet.

Sementara dalam pokok perkara, kata Selamet, pihaknya akan tetap menuntut pembayaran uang sebesar Rp3 juta lebih sebagaimana yang dianjurkan Disnakertrans. Kami tetap meminta dalam gugatan rekonpensi soal 52 lembar foto yang per fotonya Rp65 ribu yang jika ditotal sekitar 3 jutaan lebih.

Tags: