Ada Dissenting Opinion di Putusan KLHK Vs PT NSP
Utama

Ada Dissenting Opinion di Putusan KLHK Vs PT NSP

Hakim Nursyam berpendapat bahwa kebakaran hutan yang terdapat di lahan PT NSP juga merupakan bagian dari bencana alam. Karena pada tanggal terjadinya kebakaran terdapat Surat dari Bupati Meranti yang menyatakan status gawat darurat dan bencana asap.

Hasyry Agustin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kebakaran lahan. Foto: RES
Ilustrasi kebakaran lahan. Foto: RES
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menjatuhi hukuman kepada PT National Sago Prima (NSP) untuk membayar ganti rugi sebesar Rp319 miliar dan biaya pemulihan sebesar Rp753 miliar, dalam kasus kebakaran lahan. Terdapat dissenting opinion dalam putusan yang dibacakan oleh majelis hakim yang memeriksa gugatan perdata yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu.

Hakim Nursyam berpendapat bahwa kebakaran hutan yang terdapat di lahan PT NSP juga merupakan bagian dari bencana alam. Karena pada tanggal terjadinya kebakaran terdapat Surat dari Bupati Meranti yang menyatakan status gawat darurat dan bencana asap.

“Menimbang salah seorang hakim anggota Nursyam berbeda pendapat yang pada pokoknya bahwa ketentuan hukum adalah bersifat khusus yang mengesampingkan ketentuan umum. Sehingga kalaupun tergugat melakukan perbuatan melawan hukum (PMH), membebaskan yang bersangkutan untuk memberikan ganti kerugian, apabila pencemaran disebabkan alasan adanya bencana alam atau keadaan di luar kemampuan manusia, atau adanya tindakan dari pihak ketiga. Bahwa melihat bukti surat Bupati Meranti tentang status gawat daruat dan bencana asap,” jelas Nursyam.

Selanjutnya, Nursyam menjelaskan bahwa penetapan status tanggap darurat yang ditetapkan oleh Bupati Kepulauan Meranti sejak 10 Februari–11 Maret 2014, kemudian diperpanjang dari 12 Maret–11 April 2014 sebagai bencana alam. (Baca Juga: PT NSP Divonis Bayar Rp1,07 Triliun atas Kebakaran Hutan di Riau)

“Berdasarkan bukti dari tergugat bahwa lokasi areal tergugat dikekuasaan Meranti dari tanggal 30 Januari 2014 sampai akhir Maret sudah termasuk bencana alam. Tergugat telah membuktikan kebakaran tersebut adalah merupakan peristiwa bencana alam. Bahwa peristiwa bencana alam tergugat dibebaskan untuk melakukan ganti rugi. Sekalipun dibebaskan dari ganti kerugian tidak berarti tidak bebas dari pencegahan pemulihan akibat terjadi kebakaran tersebut, karena itu adalah amanah undang-undang. Maka tergugat harus melakukan pencegahan, penanggulangan dan pemulihan terhadap kerusakan terlebih lagi hutan dalam penguasaan tergugat,” tuturnya.

Dalam putusannya, hakim menjatuhkan dengan amar putusan yaitu dalam provisi menolak provisi penggugat, dalam eksepsi menolak eksepsi tergugat. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum tergugat membayar ganti rugi sebesar Rp319.168.422.500 dari tuntutan penggugat Rp319.168.422.500. Menghukum Biaya Pemulihan Rp753 miliar dari Rp753.745.500.000. Menjatuhkan uang denda keterlambatan (dwangsom) sebesar Rp50juta per hari dari tuntutan dalam gugatan sebesar Rp50 juta. Biaya perkara Rp462 ribu ditanggung seluruhnya oleh tergugat.

"Mengadili dalam provisi menolak provisi tergugat. Menyatakan eksepsi tidak dapat diterima seluruhnya. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak selebihnya. Menghukum tergugat untuk ganti rugi ekologis dan ekonomis sebesar Rp319 miliar, biaya pemulihan sebesar Rp753 miliar, menghukum membayar uang paksa sebesar Rp50 juta perhari, dan menghukum tergugat membayar biaya perkara sebesar Rp426 ribu," ujar Hakim Effendi Mukhtar.

Kuasa Hukum PT NSP, Rofiq Sungkar menganggapi bahwa sebenarnya putusan itu tidak masuk akal, pihaknya akan mengajukan banding. Dia juga menyatakan bahwa hakim yang benar-benar tahu masalah ini menyatakan bahwa kasus ini adalah bencana alam.

"Kita seharusnya tidak dituntut sama sekali. Kami telah mendatangkan saksi ahli yang benar-benar mengerti tentang lingkungan. Ahli kita secara tegas menyatakan bahwa ganti kerugian tidak masuk akal. Setelah dilihat lahan itu tidak rusak, tapi ada kerusakan dari bencana alam. Kami juga mengalami kerugian besar. Kerugian ekologis tidak berdasar karena saksi ahli bilang kalau lahan kami adalah lahan gambut yang tidak perlu reservoir. Harusnya merujuk ke hakim lingkungan yang paham betul isu ini," ujarnya.

Sedangkan dari pihak penggugat yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya, yaitu Patra M Zein menyatakan sangat senang atas putusan tersebut. Namun, memang masih ada langkah lagi yang harus disiapkan karena tergugat mungkin akan mengajukan banding.

"Ini ibarat tendangan adalah tendangan yang telak. Semua angka yang diminta dikabulkan oleh hakim. Yang tidak diterima hanya sita jaminan. Namun kita juga masih ada lagi karena kan Tergugat mungkin akan melakukan banding," ujarnya selepas persidangan.

Tags:

Berita Terkait