Ada Kemungkinan Korwas Akan Dihapus
Penyidik Pegawai Negeri Sipil:

Ada Kemungkinan Korwas Akan Dihapus

Polri berkedudukan sebagai Korwas untuk semua PPNS. Tugas koordinasi dan pengawasan belum maksimal dijalankan. Ada usulan penghapusan Korwas dalam RUU KUHAP.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Teuku Nasrullah. Foto: SGP
Teuku Nasrullah. Foto: SGP
Hubungan koordinasi penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dinilai masih menimbulkan sejumlah persoalan dalam praktik penanganan kasus tertentu. Tak jarang dalam praktik, kedua penyidik ini kerap tarik-menarik kewenangan lantaran sama-sama mengklaim berwenang menyidik tindak pidana tertentu. Salah satu sebabnya, PPNS memiliki kewenangan terbatas seperti hal penyidik Polri menurut undang-undang.

Pengamat hukum acara pidana, Teuku Nasrullah, mengatakan kewenangan PPNS tidak sempurna seperti hal penyidik Polri yang memiliki kewenangan penyidikan sempurna. Selain memiliki kewenangan penyidikan, penyidik Polri dibekali perangkat kewenangan melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, dan lain-lain. Sedangkan kewenangan upaya paksa bagi PPNS di sejumlah instansi bersifat terbatas.

“Ada PPNS berwenang menangkap dan menahan, tetapi ada PPNS lain sama sekali tak berwenang menangkap, menahan, atau upaya paksa tertentu, makanya mereka berkoordinasi dengan penyidik Polri,” ujar Teuku Nasrullah saat berbincang dengan hukumonline melalui sambungan telepon, Selasa (19/5).

Nasrullah menjelaskan sesuai Pasal 7 ayat (2) KUHAP ini, penyidik Polri berfungsi sebagai koordinator penyidik bagi PPNS. Sebab, lingkup tugas PPNS ini berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. “Selama ini, penyidik Polri menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan, karena banyak PPNS yang belum berpengalaman dalam proses dan teknis penyidikan termasuk melakukan upaya paksa,” kata dia.

Dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf f UU No. 2 Tahun 2002tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) disebutkan kewajiban Polri melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap PPNS. Hal ini diatur lebih lanjut dijabarkan dalam PP No. 43 Tahun 2012tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, PPNS, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa.

Sebagai contoh, dikenal PPNS di bidang lingkungan hidup lantaran maraknya tindak pidana pencemaran lingkungan; PPNS kehutanan lantaran maraknya tindak pidana illegal logging. Dalam dunia bisnis, dikenal PPNS Bea Cukai/Kepabeanan atau pajak, PPNS Pasar Modal, PPNS Perikanan, dikenal pula PPNS Kemeninfo. Ada pula PPNS Kemenhub berdasarkan UU Telekomunikasi, dan UU Penerbangan.

Nasrullah memandang dalam praktiknya adanya hubungan koordinasi penyidik Polri dan PPNS kerap menimbulkan masalah dalam praktik yang mengakibatkan tugas penyidikan PPNS kurang optimal. Misalnya, dalam banyak kasus kerap terjadi perebutan kewenangan penyidikan tindak pidana tertentu antara penyidik Polri dan PPNS.

“Dalam tindak pidana kepabaenan siapa yang berwenang menyidik, PPNS Bea Cukai atau penyidik Polri? Sebab, keduanya sama-sama berwenang berdasarkan undang-undangnya masing-masing, ada beberapa kasus juga penyidik Polri justru menangani kasus-kasus kepabeanan,” ungkapnya.

Advokat senior ini menegaskan selama ini koordinasi dan pengawasan dimaknai bahwa hasil penyidikan PPNS harus dilaporkan melalui lembaga kepolisian (satu pintu). Sementara hingga saat ini tidak aturan teknis fungsional yang mengatur resiko atau akibat hukum bagaimana jika PPNS tidak melaporkan atau menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penyidik Polri.

“Saya melihat tidak ada kewajiban atau terikat harus koordinasi atau melaporkan hasil penyidikan PPNS ke penyidik Polri. Bahkan, beberapa PPNS tertentu diberi kewenangan langsung menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada kejaksaan. Ini juga yang banyak diminta PPNS,” bebernya.

Menurutnya, aturan koordinasi dan pengawasan penyidik Polri terhadap tugas-tugas para PPNS ini tidak efektif. Dalam praktiknya, kerap terjadi benturan antara penyidik Polri dan PPNS yang menimbulkan kekacauan dalam penegakan hukum. Sebab, selama ini hubungan koordinasi penyidik Polri dan PPNS hanya sebatas adanya kesepahaman antara penyidik Polri dan PPNS tertentu.

“Seharusnya pemerintah menuntaskan makna “koordinasi dan pengawasan’ ini, karena faktanya makna ini diterjemahkan semuanya harus lewat ‘satu pintu’.”

“Kalau sekarang semua berkas hasil penyidikan PPNS harus lewat Polri, kalau penyidik Polrinya tidak menerus ke kejaksaan bagaimana? Ini sering terjadi dalam beberapa kasus,” lanjutnya.           

Akan dihapus
Makanya, kewenangan koordinasi dan pengawasan penyidik Polri terhadap PPNS bakal dihapus dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Nantinya, hasil penyidikan PPNS akan langsung diserahkan ke kejaksaan untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan.

“Koordinasi hasil penyidikan PPNS ini nanti tidak ada lagi meskipun keberadaan PPNS tetap ada, selain penyidik Polri dan penyidik yang dibentuk lembaga tertentu,” ungkap salah satu tim perumus RUU KUHAP ini.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof Andi Hamzah mengakui aturan koordinasi dan pengawasan penyidik Polri terhadap PPNS ini bakal dihapus dalam RUU KUHAP. Namun, keberadaan fungsi PPNS tetap dipertahankan dalam RUU KUHAP dengan kewenangan terbatas karena hampir semua negara mengatur keberadaan PPNS ini. “PPNS ini tidak dikoordinasi penyidik Polri lagi dalam RUU KUHAP, PPNS langsung dikoordinasi oleh jaksa. Hampir semua negara seperti itu,” kata Andi Hamzah saat dimintai pandangannya.

Dia menilai fungsi PPNS yang diatur undang-undang tertentu saat ini sudah terlalu banyak. Kondisi ini mengakibatkan tugas dan fungsi PPNS tidak optimal.

“Kalau tidak salah ada sekitar 80-an undang-undang yang mengatur kewenangan PPNS tertentu, nantinya dalam RUU KUHAP PPNS akan dikurangi, mungkin hanya beberapa instansi yang betul-betul membutuhkan PPNS, seperti Ditjen Bea Cukai, Ditjen Imigrasi. Di luar itu, tidak perlu PPNS lagi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait