Adu "Strategi" Setya Novanto VS KPK dan "Perdebatan" yang Tersisa
Fokus

Adu "Strategi" Setya Novanto VS KPK dan "Perdebatan" yang Tersisa

Meski Novanto telah berhasil didakwa penuntut umum ke pengadilan, masih ada dua perdebatan yang belum terselesaikan.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Di luar itu, kuasa hukum Novanto yang lain tengah "bergumul" dengan praperadilan. Dalam sidang perdana praperadilan yang digelar pada Kamis, 30 November 2017, kuasa hukum KPK selaku termohon tidak memenuhi undangan sidang. Wakil Ketua PN Jakarta Selatan yang juga hakim tunggal praperadilan Novanto, Kusno membacakan surat yang dikirimkan KPK. Dalam suratnya, KPK memohon penundaan sidang.

 

Tak tanggung-tanggung, KPK meminta hakim menunda sidang paling sedikit tiga minggu untuk mempersiapkan praperadilan. Sontak, kuasa pemohon keberatan dengan permintaan KPK. Novanto yang diwakili kuasa hukumnya, Ketut Mulya Arsana mengaku sudah memperkirakan jika KPK akan meminta penundaan.

 

Ketut pun telah menyiapkan surat tanggapan. Intinya, kuasa hukum menangkap kesan adanya unsur kesengajaan KPK menunda sidang untuk menghambat proses pemeriksaan praperadilan Novanto. Sebab, sebelumnya, pimpinan KPK di berbagai media sudah menyatakan berniat mempercepat pelimpahan pokok perkara Novanto ke Pengadilan Tipikor.

 

"Hal tersebut jelas bahwa termohon KPK telah melakukan dan menunjukan itikad tidak baik dan telah melakukan unfairness procedure terhadap pemohon," katanya saat membacakan surat tanggapan atas permohonan penundaan KPK di PN Jakarta Selatan, Kamis (30/11).

 

Atas dasar itu, kuasa hukum Novanto meminta hakim tetap menggelar sidang praperadilan sesuai waktu yang ditentukan KUHAP. Kalau pun harus menunda sidang, mereka meminta hakim menunda paling lama tiga hari. Alhasil, hakim sependapat. Sidang praperadilan Novanto digelar kembali pada Kamis, 7 Desember 2017.

 

Sidang praperadilan pun dilanjutkan pada 7 Desember 2017. Kuasa hukum Novanto meminta hakim memadatkan agenda sidang. Masing-masing pihak menghadirkan ahli dan bukti-bukti. Pihak Novanto menghadirkan tiga ahli hukum, Margarito Kamis, Nur Basuki Winarno, dan Mudzakkir. Sementara, KPK menghadirkan Prof Komariah Emong Sapardjaja, Mahmud Mulyadi, dan Zainal Arifin Mochtar. Setelah pemeriksaan ahli dan bukti-bukti dirasa cukup, Kusno mengagendakan pembacaan putusan pada 14 Desember 2017.

 

Seolah berpacu dengan waktu, KPK bergegas merampungkan berkas penyidikan Novanto. KPK juga dengan cepat mengakomodasi permintaan Novanto untuk memeriksa beberapa saksi dan ahli meringankan. Memang, tidak semua ahli dan saksi meringankan diperiksa KPK karena tidak semuanya dapat hadir memenuhi panggilan KPK.

 

Alhasil, penyidik segera merampungkan berkas penyidikan Novanto dan melimpahkan ke penuntut umum. Saat itu pula penuntut umum mulai menyusun dakwaan Novanto. Pasca berkas penyidikan dinyatakan lengkap (P21), selanjutnya penyidik melakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti ke penuntut umum.

 

Namun, pelimpahan tahap dua ini yang sedianya dilakukan pada 5 Desember 2017 terkendala karena tidak ada pengacara yang mendampingi Novanto. Pelimpahan tahap dua baru dilakukan keesokan harinya, 6 Desember 2017. Lagi-lagi, KPK bergerak cepat. Penuntut umum langsung melimpahkan berkas perkara Novanto ke Pengadilan Tipikor Jakarta.

 

Tak disangka, sehari kemudian, 7 Desember 2017, humas PN Tipikor Jakarta, Ibnu Basuki Widodo mengatakan, Ketua PN Jakarta Pusat telah menunjuk susunan majelis hakim yang akan menyidangkan perkara Novanto. Bahkan, ketua majelis hakim yang juga Ketua PN Jakarta Pusat, Yanto sudah mengagendakan sidang pertama Novanto pada 13 Desember 2017.

 

Bila mencermati alur perkara di pengadilan untuk acara pidana biasa, butuh waktu paling lama sekitar 14 hari sejak pelimpahan perkara dari penuntut umum sampai penetapan hari sidang. Tapi ingat, itu waktu paling lama! Bermula, pelimpahan perkara dari penuntut umum ke pengadilan, pemberian nomor register perkara, penyerahan berkas dari Panitera Muda ke Ketua PN, penunjukan susunan majelis, hingga penetapan hari sidang oleh ketua majelis.

 

Perdebatan (belum) selesai

Gugurnya praperadilan Novanto menyisakan sejumlah perdebatan yang belum selesai. Setidaknya ada dua hal. Pertama, mengenai kapan sebenarnya praperadilan dinyatakan gugur. Apakah ketika sidang pertama pokok perkara dibuka atau ketika pembacaan surat dakwaan dimulai? Kedua, kapan waktu penetapan seseorang menjadi tersangka. Apakah di awal penyidikan atau di akhir penyidikan seperti putusan praperadilan hakim Cepi Iskandar?

 

Menjawab pertanyaan pertama, mari memulai dengan putusan praperadilan hakim tunggal praperadilan Novanto yang kedua, Kusno. Dalam pertimbangannya, Kusno menyitir bunyi Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP dan putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015.

 

Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP

Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

Putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015

Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘suatu perkara sudah mulai diperiksa’ tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan’,

 

Menurut Kusno, sesuai bukti-bukti yang diajukan termohon KPK, terbukti benar perkara Novanto telah dilimpahkan dan ditetapkan hari sidang pada 13 Desember 2017. Hal ini dikuatkan dengan bukti rekaman elektronik berupa jalannya persidangan perkara atas nama Setya Novanto yang telah diputar dalam sidang praperadilan. Dari rekaman terlihat jelas hakim ketua majelis perkara pokok telah membuka persidangan dan menyatakan sidang terbuka untuk umum.

 

Walau begitu, kapan gugurnya praperadilan? Terkait hal ini, Kusno menjabarkan bahwa aturan gugurnya praperadilan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP telah diperjelas melalui putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015. Demi kepastian hukum dan keadilan, MK berpendapat perkara praperadilan gugur pada saat setelah digelar sidang pertama pokok perkara terdakwa atau pemohon praperadilan.

 

"Apabila dikaitkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, berarti permintaan praperadilan yang diajukan pemohon belum selesai, padahal pemeriksaan pokok perkara sudah mulai diperiksa oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Dengan demikian, maka permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon Setya Novanto haruslah dinyatakan gugur," ujar Kusno membacakan penetapannya.

 

Namun, Kusno tidak menjelaskan secara rinci, apakah "sidang pertama pokok perkara" itu dimulai ketika hakim membuka sidang atau saat dakwaan dibacakan. Sementara, ada ahli hukum yang berpendapat, gugurnya praperadilan bukan sekadar ketika hakim membuka sidang pertama pokok perkara, melainkan ketika surat dakwaan dibacakan.

 

Ahli dimaksud tak lain Prof Komariah Emong Sapardjaja, ahli yang dihadirkan oleh KPK sendiri. Mantan hakim agung ini berpendapat, sesuai Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, pemeriksaan pokok perkara adalah ketika pembacaan surat dakwaan. Jadi, jika hakim baru membuka sidang, ia menilai, sesungguhnya pemeriksaan perkara belum dimulai.

 

Berbeda dengan Komariah. Mahmud Mulyadi, ahli hukum yang juga dihadirkan KPK, berpendapat praperadilan gugur ketika hakim membuka sidang pertama pokok perkara. Andaikata pembacaan dakwaan ditunda dan baru dibacakan pada sidang berikutnya, tentu namanya bukan lagi "sidang pertama" sebagaimana bunyi putusan MK.

 

Hukumonline mencoba meminta tanggapan ahli hukum pidana lain, Agustinus Pohan. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan ini mengatakan, praperadilan gugur ketika sidang pertama pemeriksaan pokok perkara dimulai, terlepas apakah pada hari itu dakwaan jadi dibacakan atau tidak.

 

"Sangat janggal bila suatu perkara pidana yang telah bersidangan, kemudian dihentikan karena ada putusan praperadilan yang dimenangkan tersangka," katanya.

 

"Perlu diketahui segala persoalan yang diajukan dalam praperadilan dapat dipersoalkan juga dalam peradilan perkara terkait. Bila SN (Setya Novanto) tetap ingin mempersoalkan kecukupan alat bukti, tentunya tetap dapat diajukan. Bila majelis berpendapat alat bukti kurang, sudah barang tentu majelis akan membebaskan," imbuhnya.

 

Dengan berbagai pendapat ini, di kemudian hari, masih terbuka peluang perdebatan mengenai kapan sebenarnya praperadilan gugur. Mungkin bukan Novanto, tetapi tersangka lain. Mungkin bukan KPK, tetapi penegak hukum lain. We'll see. Perdebatan kedua yang masih tersisa adalah mengenai kapan seharusnya penetapan seseorang menjadi tersangka. Apakah di awal atau di akhir penyidikan?

 

Hingga kini, KPK masih "bertahan" dengan pola-pola penetapan tersangka sebelumnya, yaitu menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang langsung disertai penetapan tersangka. Hal ini dapat dilihat ketika KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka untuk kedua kalinya. KPK tetap menetapkan Novanto sebagai tersangka bersamaan dengan Sprindik. Pola tersebut nampaknya tidak sama dengan pola Kepolisian dan Kejaksaan yang kerap menerbitkan Sprindik tanpa nama tersangka. 

 

Akan tetapi, apa yang dilakukan KPK bukan tanpa dasar. Terlebih lagi, pola seperti itu telah dilakukan KPK sejak lama, bukan hanya pada Novanto. Sayang, pola penetapan tersangka di KPK mulai rentan dipermasalahkan sejak putusan praperadilan hakim Cepi yang membatalkan penetapan tersangka Novanto.

 

Sebagaimana diketahui, hakim Cepi membatalkan status tersangka Novanto dengan beberapa alasan. Antara lain, hakim menganggap alat bukti yang dijadikan dasar bagi KPK untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka tidak dapat dibenarkan karena diperoleh dari penyidikan tersangka lain.

 

Selain itu, Cepi berpendapat, UU KPK tidak mengatur jelas mengenai prosedur penetapan tersangka, sehingga KPK harus mengacu pada KUHAP. Sesuai KUHAP, penetapan tersangka tidak dapat dilakukan di awal, melainkan di ujung penyidikan. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP.

 

Pasal 1 angka 2 KUHAP berbunyi, "Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya" .

 

Jadi, menurut Cepi, bukti permulaan cukup untuk menetapkan tersangka tersebut diperoleh dari proses penyidikan, bukan dari proses penyelidikan seperti yang dilakukan KPK. Dalam pertimbangannya, Cepi juga menyitir putusan MK yang mensyaratkan pemeriksaan calon tersangka sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.

 

Nampaknya, ketiga poin itu dapat menjadi "celah" bagi tersangka lain yang ingin mengikuti "jejak" Novanto lepas dari status tersangka di KPK. Berkaitan dengan ini, KPK tidak khawatir jika ada hakim praperadilan lain yang memiliki persepsi sama seperti Cepi.

 

Febri mengatakan, KPK telah membaca dan menganalisis putusan praperadilan Novanto yang diputus hakim Cepi. Pada dasarnya, KPK menghormati pertimbangan hakim Cepi yang menyatakan seharusnya penetapan tersangka di akhir penyidikan. Namun, Pasal 44 UU KPK membuka peluang bagi KPK untuk menemukan "bukti permulaan yang cukup" saat tingkat penyelidikan.

 

"Setelah kami pelajari aspek hukumnya, ketentuan khusus di Pasal 44 UU KPK masih tetap berlaku, bahwa sejak penyelidikan KPK sudah dapat mencari alat bukti. Dan, jika ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka dibahas lebih lanjut dan dapat ditingkatkan ke penyidikan," terangnya kepada hukumonline.

 

Baca Juga: Cerita di Balik Mundurnya Fredrich dan Otto dari Tim Pengacara Setya Novanto

 

Menurut Febri, frasa "bukti permulaan yang cukup" yang dalam UU KPK diartikan sebagai minimal dua alat bukti, sama dengan arti dari bukti permulaan di Pasal 1 angka 14 KUHAP yang mengatur definisi tersangka. "Jadi secara sederhana, ketika KPK sudah punya bukti permulaan yang cukup maka di sana sudah jelas dugaan tindak pidana korupsi dan dugaan pelakunya siapa. Penjelasan yang sama tentang makna bukti permulaan dan bukti permulaan yang cukup itu ditegaskan juga di putusan MK," tuturnya.

 

Pasal 44 UU KPK

Pasal 1 angka 2 KUHAP

Pasal 1 angka 14 KUHAP

(1) Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana

 

Mengenai perdebatan ini, pengajar hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Flora Dianti ternyata memiliki pendapat yang berbeda dengan KPK. Ia justru sepakat dengan pendapat hakim Cepi bahwa seharusnya penetapan tersangka dilakukan di ujung penyidikan dan bukan di awal penyidikan.

 

Flora menerangkan, harus dibedakan antara penyelidikan dan penyidikan. Sesuai ketentuan KUHAP, penyelidikan itu bertujuan untuk mencari tahu apakah ada unsur pidana dalam suatu peristiwa hukum. Sementara, penyidikan bertujuan membuat terang suatu tindak pidana dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk kemudian menetapkan siapa tersangkanya.

 

"Memang tahapannya begitu. Pertama Sprindik dulu. Jadi, di Sprindik seharusnya belum ada nama tersangkanya. Dugaan (calon) tersangka, saksinya, boleh. Sprindik, lalu SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) diserahkan tujuh hari kepada semua pihak. Untuk apa? Supaya calon tersangka bisa tahu ini bukti yang dikumpulkan dan nanti akan dijadikan dasar untuk penetapan tersangka. Memang, penetapan tersangka harusnya terakhir," paparnya.

 

Kendati demikian, Flora tidak menampik jika ada aturan khusus dalam UU KPK yang memberi peluang KPK menemukan bukti permulaan yang cukup di tahap penyelidikan. Tapi, ia menggarisbawahi bahwa frasa yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) UU KPK itu menyebutkan "bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi", bukan "bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan tersangka".

 

"(Jadi) Bukti permulaan itu untuk apa? Bukan untuk menentukan tersangka, (tapi) untuk menentukan ada tidaknya suatu tindak pidana (korupsi), karena definisi penyelidikan itu mencari tahu tindak pidananya ada atau tidak. Kalau ada, baru masuk ke penyidikan dan di penyidikan tujuan terakhirnya apa? Menentukan tersangka. Makanya benar, penentuan tersangkanya harus terakhir," ucapnya.

 

Flora berpendapat, telah terjadi kesalahan dalam praktik penanganan perkara selama ini. Para penegak hukum semestinya tertib administrasi. Meski administrasi hanya permasalahan formalitas, ia menganggap harus tetap diperbaiki agar tercipta due process of law, serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak tersangka.

 

Ia memberikan berharap, agar ke depan ada perubahan dalam proses administrasi penyidikan. Sprindik tidak lagi mencantumkan nama tersangka. Cukup mencantumkan nama saksi atau calon tersangka. Penetapan tersangka, nanti, di ujung penyidikan. Selain itu, sesuai putusan MK, penyidik harus memeriksa calon tersangka sebelum penetapan tersangka.

 

Baca Juga: Dakwaan Setnov Ungkap Beberapa Pertemuan Bahas Proyek e-KTP

 

"Kapan pemeriksaan calon tersangka? Namanya kan ada calon tersangka, berarti sudah harus ada dulu tindak pidananya. Tindak pidananya itu ada dimana? Setelah Sprindik keluar. Setelah Sprindik keluar, namanya bukan tersangka, tapi calon tersangka. Jadi, tulisannya di Sprindik harusnya calon tersangka atau saksi. Selama ini kan tidak ada istilah calon tersangka, adanya saksi, tulis saja saksi (di Sprindik). Nah, sebelum dia ditetapkan jadi tersangka, dia harus diperiksa dulu. Diperiksanya bukan di tahap penyelidikan lho, tapi di tahap penyidikan," tandasnya.

 

Dengan demikian, perdebatan mengenai apakah seharusnya penetapan tersangka di awal atau di ujung penyidikan, masih belum terselesaikan. Terlebih lagi, hakim tunggal praperadilan kedua Novanto, Kusno tidak mempertimbangkan kembali soal materi permohonan praperadilan Novanto karena permohonan praperadilan Novanto telah gugur.

Tags:

Berita Terkait