Advokat Persoalkan Aturan Sistematika Putusan Pemidanaan
Utama

Advokat Persoalkan Aturan Sistematika Putusan Pemidanaan

Majelis menyarankan agar petitum diperbaiki permohonan diperbaiki.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit


Masukan Majelis
Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Wahiduddin Adams menilai inti permohonan ini lamban diterimanya salinan putusan kasasi/PK oleh para pihak yang memakan waktu sangat lama akibat berlakunya Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Ini yang dirasa Pemohon tidak memperoleh kepastian hukum yang mengakibatkan pelayanan hukum advokat menjadi terhambat pula.

“Tetapi, ini dielaborasi betul agar jangan terjebak pada implementasi norma dalam kasus konkrit. Jangan ditonjolkan penerapan kasus konkritnya, tetapi konstitusionalitasnya. Apalagi, Pasal ini kan sudah berlaku 35 tahun,” ujarnya mengingatkan.

Soal petitum, dia mempertanyakan petitum permohonan apabila dikabulkan sekaligus berlaku untuk putusan perkara perdata, agama, TUN, dan militer. “Ini kan yang diuji KUHAP, tentu untuk perkara pidana. Bagaimana bisa diberlakukan putusan perdata, agama, TUN, militer. Ini coba dipikir kembali? Apa ini tidak terlalu luas?”

Dia juga mengingatkan dalam posita permohonan disinggung keberadaan Pasal 197 ayat (2) KUHAP sebagai konsekwensi ketika tidak memuat hal-hal dalam Pasal 197 ayat (1). Namun, dalam petitum Pasal 197 ayat (2) KUHAP tidak dimuat. “Ini coba dicermati apakah turut menguji Pasal 197 ayat (2) KUHAP atau tidak?”

Anggota Panel lain, Manahan MP Sitompul menilai permohonan belum memasukkan surat edaran MA atau Surat Keputusan Ketua MA terkait jangka waktu penangangan perkara di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan MA. Misalnya, SK KMA No. 214 Tahun 2014 tentang Alur Penanganan Perkara di MA menentukan jangka waktu penanganan perkara maksimal 8 bulan atau 250 hari.Khusus proses minutasi putusan memakan waktu 3 bulan sejak diputuskan.

“Adanya SK KMA itu, apa Pasal 197 ayat (1) KUHAP tetap menjadi ‘biang keroknya’? Ini perlu dielaborasi lagi lebih lanjut, karena Pemohon tidak tegas menunjukkan adanya SK KMA atau SEMA penanganan perkara di PN, PT, dan MA sendiri?”

Suhartoyo menyarankan agar petitum diperbaiki dengan menyatakan Pasal 197 ayat (1) inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai surat putusan pemidanaan pada pengadilan negeri memuat a sampai l. “Jadi, kalau petitum seperti ini, pada putusan banding dan kasasi/PK tidak wajib terikat dengan Pasal 197 ayat (1) KUHAP ini,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait