Agar Pendataan PBI Tidak Kacau, Ini Saran MediaLink
Berita

Agar Pendataan PBI Tidak Kacau, Ini Saran MediaLink

Ada peserta yang sudah meninggal masih menerima PBI.

ADY
Bacaan 2 Menit
Agar Pendataan PBI Tidak Kacau, Ini Saran MediaLink
Hukumonline
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkritik proses pendataan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan yang dinilai tidak transparan.

Direktur Eksekutif Medialink, Mutjaba Hamdi, mencatat beberapa isu penting soal PBI yakni pendataan dan pelayanan. PP No. 101 Tahun 2012 tentang PBI sudah mengatur tentang pendataan itu secara komprehensif. Misalnya, proses verifikasi dan validasi dilakukan berkala. Sayangnya, implementasi yang ada selama ini tidak sesuai harapan. Akibatnya, banyak masyarakat miskin dan tidak mampu belum tercakup PBI.

"Masih ada peserta yang sudah meninggal tapi masih menerima PBI. Ada juga masyarakat miskin tapi tidak mendapat PBI. Ini menunjukkan pendataan yang dilakukan masih kacau," kata Hamdi dalam diskusi yang diselenggarakan Medialink di Jakarta, Kamis (28/1).

Untuk membenahi pendataan PBI Hamdi menyarankan agar pemerintah melibatkan partisipasi masyarakat. Nama-nama masyarakat penerima PBI harusnya dipublikasikan. Sehingga masyarakat bisa aktif memberi masukan. Cara itu diyakini dapat mendorong agar PBI tepat sasaran.

MediaLink menyayangkan data masyarakat penerima PBI tidak pernah dipublikasi. Sehingga masyarakat kesulitan memberi masukan kepada pemerintah. Hamdi mengusulkan agar verifikasi dan validasi data PBI dilakukan secara transparan dan partisipatif. "Ketika mau melakukan verifikasi dan validasi data PBI mestinya ada penguman nasional tentang kegiatan itu. Kemudian meminta masyarakat untuk aktif memberi masukan," ujar Hamdi.

Hamdi melihat masih ada kendala pelayanan. Peserta PBI mengalami diskriminasi dalam memperoleh pelayanan. Misalnya, jadwal dokter untuk melayani peserta tidak teratur. Ironisnya, mekanisme komplain yang tersedia bagi peserta untuk melapor tergolong minim. BPJS Kesehatan hanya menyediakan saluran telepon pengaduan (hotline).

Hamdi mengusulkan agar pos pengaduan untuk peserta PBI BPJS Kesehatan dibentuk diberbagai tempat terutama di fasilitas kesehatan (faskes) provider BPJS. Dengan begitu warga bisa menyampaikan laporannya secara langsung dan mengetahui bagaimana responnya. Keterbukaan informasi seputar pelayanan juga perlu diterima peserta BPJS Kesehatan. Sehingga bisa mengetahui berapa jumlah kamar yang tersedia di faskes, obat dan alat-alat kesehatan. "Minimnya informasi itu berdampak pada ketidakpastian terhadap pelayanan yang diterima peserta," tukasnya.

Peneliti Indonesia Budget Center (IBC), Darwanto, mengatakan proses verifikasi dan validasi data PBI itu bersinggungan dengan anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membayar iuran PBI sebesar Rp19.225 per orang per bulan. Jumlah PBI tahun 2015 sebanyak 86,4 juta orang dengan besaran iuran Rp19,6 triliun. Tahun 2016 pemerintah berencana meningkatkan peserta PBI menjadi 92,4 juta orang dengan jumlah iuran Rp52,5 triliun.

Darwanto mengusulkan agar pengelolaan anggaran untuk PBI dievaluasi apakah tetap sasaran atau tidak. Ia melihat sampai saat ini BPK belum melakukan audit khusus terhadap pengelolaan dana PBI. "Kenapa audit ini penting karena BPJS Kesehatan selalu mengklaim kekurangan dana untuk membayar klaim faskes. Ini akan berpengaruh pada pelayanan yang diterima peserta PBI yang sampai sekarang belum maksimal," ujarnya.

Selain itu skema pembiayaan terkait tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin masyarakat miskin yang tidak tercakup dalam PBI harus dipertegas. Darwanto menjelaskan Perpres No. 12 Tahun 2013 yang direvisi dengan Perpres No. 111 Tahun 2013 menyebut pemerintah daerah (pemda) dapat mendaftarkan masyarakat miskin yang tidak terdaftar dalam PBI yang dianggarkan dari APBN.

Pemda bisa menggunakan dana APBD untuk membayar iuran warganya yang belum masuk PBI. Menurutnya itu wajib dilakukan Pemda guna mendukung tercapainya Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia pada 2019.
Tags: