Amandemen UUD 1945 dalam Ancaman
Berita

Amandemen UUD 1945 dalam Ancaman

Jakarta Hukumonline. Pembahasan materi amandemen Undang-undang Dasar (Undang-Undang Dasar) 1945 tidak terarah. Fraksi lebih mementingkan partainya daripada kepentingan rakyat.

Rfl/APr
Bacaan 2 Menit
Amandemen  UUD 1945 dalam Ancaman
Hukumonline

Jerih payah Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR menyiapkan rancangan kedua perubahan UUD '45 tampak bakal sia-sia. Pasalnya, pembahasan tentang materi amandemen berlangsung tak terarah. Bahkan, masih ada saja anggota MPR mempertanyakan keabsahan PAH I dalam menyiapkan draf perubahan kedua UUD '45.

Pemandangan itu tampak pada pembahasan materi amandemen UUD '45 oleh Komisi A MPR, pagi hingga sore hari Sabtu (12/8). Sebelumnya, dalam forum lobi pimpinan komisi, telah disepakati untuk mengelompokkan materi pembahasan perubahan kedua UUD '45 ke dalam empat kelompok.

Pertama, kelompok A, membahas bab Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan; bab Warga Negara dan Penduduk; bab Pertahanan dan Keamanan Negara.

Kedua, kelompok B, membahas bab tentang DPR; bab Pemerintahan Daerah; bab Wilayah Negara.

Ketiga, kelompok C, membahas bab tentang Hak Asasi Manusia; bab Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum; bab Dewan Perwakilan Daerah; bab Pemilihan Umum; bab Hal Keuangan; bab BPK.

Keempat, kelompok D, membahas bab tentang Bentuk (Dasar) dan Kedaulatan; bab Kekuasaan Pemerintahan Negara; bab MPR, bab Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial; bab Pendidikan dan Kebudayaan; bab Agama; bab Perubahan UUD; bab DPA.

Pengelompokan itu sesuai dengan penjelasan Slamet Effendi Yusuf, Wakil Ketua Komisi A dari Fraksi Partai Golkar, bahwa Komisi A akan memulai pembahasan materi amandemen dari pasal-pasal yang 'bersih' terlebih dulu. Setelah itu, barulah dibahas pasal-pasal yang masih menyediakan alternatif.

Kendati begitu, jalannya pembahasan masih terseok-seok. Komisi A memang sudah sampai pembahasan bab Wilayah Negara (Kelompok B). Tapi, pasal yang sudah disepakati baru satu saja, yaitu Pasal 36 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Pasal-pasal lainnya masih mengundang polemik.

Pembelotan F-PDIP

Dalam pembahasan tentang wilayah negara, muncul suara dari seorang anggota MPR yang mempertanyakan keabsahan PAH I dalam mempersiapkan draf perubahan kedua UUD '45.

"Perubahan pertama baru saja dilakukan beberapa bulan lalu. Mengapa sekarang harus diubah lagi. Kenapa kita tidak tunggu dulu bagaimana pelaksanaan perubahan pertama," ujar anggota MPR itu.

Terhadap keberatan itu, Slamet Effendi Yusuf, sebagai pemimpin sidang, menyatakan bahwa PAH I ditugaskan oleh MPR melalui ketetapan dalam SU MPR tahun lalu. Jadi, tak perlu diragukan lagi legitimasinya.

Dalam rapat itu juga, Patrialis Akbar, anggota MPR dari Fraksi Reformasi, terpaksa menginterupsi koleganya dari PAH I, M. Ali (dari F-PDIP). Patrialis menyayangkan sikap M Ali yang ikut 'urun rembug' untuk membongkar hasil-hasil dari PAH I. "Seharusnya anggota PAH I bertindak sebagai narasumber, tidak ikut dalam perdebatan," ujar Patrialis.

Keberatan Patrialis dipicu 'pembelotan' M. Ali mengenai perubahan Pasal 18 UUD '45 tentang pemerintahan daerah. M Ali menyarankan sebaiknya Komisi A kembali saja kepada pasal yang lama. Tak diadakan perubahan terhadap Pasal 18 UUD '45.

Patrialis berkeberatan dengan sikap M Ali itu. Sebab, menurutnya, anggota PAH I seharusnya mempertahankan apa yang telah disepakati sebelumnya. "Saya tidak tahu apa maksudnya mereka mempertanyakan hasil PAH I lagi," ujar Patrialis kepada hukumonline.

Patrialis setuju, bila cara pembahasan tetap seperti sekarang, Komisi A tak akan bisa menuntaskan tugasnya. Sangat mungkin pasal-pasal yang disetujui tak secara langsung berdampak pada pengembalian kedaulatan rakyat, seperti tentang pemilihan presiden secara langsung.

Nah, rakyat yang ingin menunggu perubahan fundamental dari Komisi A bersiaplah kecewa. Kepentingan politis, agaknya, lebih mewarnai sikap fraksi ketimbang ingin memperjuangkan keinginan rakyat. 

 

 

 

Tags: