AMMI Dukung Larangan Ekspor Mineral
Berita

AMMI Dukung Larangan Ekspor Mineral

Pengusaha minta waktu untuk mempersiapkan pelaksanaan.

KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)
Mulai 12 Januari 2014, larangan ekspor mineral mentah akan efektif berlaku. Kebijakan tersebut sekaligus mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan atau pemurnian bijih mineral di dalam negeri. Asosiasi Metalurgi dan Mineral Indonesia (AMMI) mendorong pemerintah untuk teguh melaksanakan keputusan itu.

Ketua AMMI Ryad Chairil menilai, larangan ekspor mineral mentah mempunyai spektrum yang lebih luas dan penting bagi Indonesia. Ia melihat kebijakan itu bisa membangun pondasi industri berbasis mineral yang kuat. Hal ini dikarenakan industri mineral akan menjadi tulang punggung bagi industri manufaktur lainnya, seperti industri besi baja dan aluminium.

“Ini merupakan sebuah amanah konstitusi yang tidak bisa ditunda lagi untuk kepentingan bangsa dan negara. Kebijakan pembatasan dan atau pelarangan ekspor bijih mineral, bukan semata bertujuan untuk menghentikan kegiatan pengusahaan pertambangan,” tutur Ryad di Jakarta, Selasa (7/1).

Dia menuturkan, saat ini hampir 80% industri besi dan baja Indonesia masih mengandalkan scrap impor. Padahal, konsumsi besi baja Indonesia tahun 2013 sudah mencapai sekitar 10 juta ton. Begitu juga tembaga. Berdasakan data Asosiasi Pabrik Kabel Listrik Indonesia (Apkabel), kebutuhan bahan baku untuk kabel yaitu copper cathode 2013 mencapai 350 ribu ton. Sayangnya, penghasil copper hanya memproduksi 300 ribu ton per tahun.

Ryad mengingatkan pengolahan bauksit menjadi alumina juga akan memperkuat industri hilir aluminium. Inalum satu-satunya pembuat aluminium ingot, memerlukan sekitar 500 ribu ton alumina yang masih diimpor dari Australia. Sementara itu, Indonesia memiliki cadangan bauksit yang besar dan kebutuhan aluminium tahun 2013 sudah mencapai 800 ribuan ton.

Tak hanya itu, Ryad membeberkan, pengolahan dan pemurnian bijih nikel sangat diperlukan. Menurutnya, saat ini Indonesia menjadi negara penghasil bijih nikel terbesar ketiga di dunia. Ironisnya, karena pabrik pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri belum optimal maka setengah produksi bijih nikel tersebut diekspor ke China.

"Indonesia penghasil bijih nikel nomor tiga di dunia, namun hampir 50% kebutuhan bijih nikel untuk industri di China. Kalau saja kita bisa mengekspor produk biji nikel yang sudah diolah dan dimurnikan, ini bisa meningkatkan nilai tambah hingga 38 kali lipat,” tandasnya.

Di sisi lain, Ryad menyadari, ada kemungkinan negara akan kehilangan potensi pendapatan negara dari ekspor bijih mineral. Namun, ia memandang hal itu hanya akan berlangsung sementara. Selain itu, potensi kerugian juga dapat dimitigasi dengan potensi nilai tambah yang muncul dari pengembangan industri berbasis mineral.

Selain itu, ia mengingatkan agar pemerintah mengantisipasi kehilangan tenaga kerja akibat penerapan kebijakan tersebut. Namun menurutnya, kebijakan itu juga akan memunculkan efek domino terciptanya kesempatan penyerapan tenaga kerja baru.

“Kesempatan kerja baru itu tidak saja di industri pengolah mineral mentah, tetapi juga penyerapan tenaga kerja di industri hilirnya. Sehingga kekhawatiran untuk kehilangan kesempatan tenaga kerja pun bisa diminimalisasi,” tambahnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Raja Okto Sapta Oktohari, menilai pelaksanaan UU Minerba No. 4 Tahun 2009 terlalu terburu-buru. Okto khawatir, sebagai implikasi pelaksanaan kebijakan itu akan banyak pengusaha HIPMI di daerah yang terancam gulung tikar. Sebab, banyak pengusaha di daerah yang kesulitan menjual hasil galian tambangnya yang kebanyakan masih berupa hasil mineral mentah.

“Penerapan kebijakan ini seharusnya dilakukan secara bertahap dan simultan antara pemerintah dan swasta. Perlu ada kesepakatan antara pemerintah dan swasta tentang pemberlakuan pelarangan ekspor mineral mentah,” ujarnya.

Meski demikian, Okto setuju kebijakan hilirasi hasil tambang dan mineral sangat positif bagi perkembangan industri pertambangan di Indonesia. Kebijakan itu akan menambah nilai jual hasil tambang, yang implikasinya peningkatan kesejahteraan.

Oleh karena itu, Okto mengharapkan pemerintah untuk memberikan waktu bagi pengusaha-pengusaha tambang untuk pelaksanaan kebijakan tersebut. "Beri kami waktu untuk mempersiapkan pelaksanaan,” pintanya.
Tags:

Berita Terkait