Aparat Pemerintah Harus Berhati-Hati Bertindak
Utama

Aparat Pemerintah Harus Berhati-Hati Bertindak

Dua putusan PTUN Jakarta menunjukkan perkembangan pemahaman terhadap tindakan faktual pemerintahan.

Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit

Sejumlah pihak merasa dirugikan oleh tindakan Pemerintah. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) mengajukan upaya hukum berupa gugatan ke PTUN Jakarta. Pihak yang digugat adalah Menteri Komunikasi dan Informatika, dan Presiden. Tindakan tergugat dianggap bukan hanya pembatasan (restriction)hak atas internet, tetapi juga pengurangan (derogation) hak atas internet yang berimplikasi pada pada hak-hak lainnya.

Di dalam persidangan, Tergugat beralasan tindakan itu dibuat dalam keadaan bahaya. Tergugat menghadirkan ahli, Yos Yohan Utama, untuk menguatkan pandangan bahwa tindakan pemerintah dalam keadaan bahaya atau darurat tidak dapat digugat ke PTUN. Keadaan bahaya tidak harus selalu seperti keadaan darurat sebagaimana diatur dalam UU No. 23/Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Menurut majelis, belum pernah ada keputusan Tergugat II (Presiden Republik Indonesia) yang menyatakan Papua dan Papua Barat dalam keadaan bahaya. Alhasil, dalil mengenai keadaan bahaya sebagai dasar melakukan tindakan pembatasan internet di dua provinsi itu dikesampingkan hakim.

Dalam putusannya pada Mei 2020, majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan para penggugat, dan menyatakan tindakan pemerintah membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat pada tempus yang disebut dalam gugatan adalah perbuatan melanggar hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan.

Pada kasus lain, dua orang warga negara telah menggugat Jaksa Agung ke PTUN Jakarta. Pangkal persoalan adalah pernyataan Jaksa Agung. S. Burhanudin, bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

Penggugat menilai ucapan Jaksa Agung membawa implikasi hukum, misalnya mendeligitmasi penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM, sehingga tidak akan dilakukan penyidikan. Pernyataan itu menimbulkan ketidakpastian hukum mengingat ada tidaknya pelanggaran HAM berat ditentukan pendapat DPR. Pendapat DPR itu bernuansa politis sehingga berpotensi diintervensi secara politis pula.

Dalam putusannya, majelis hakim PTUN Jakarta menyatakan tindakan Pemerintah mengeluarkan pernyataan itu adalah perbuatan melanggar hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan. Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.

Kejaksaan Agung langsung bereaksi atas putusan PTUN Jakarta. Jaksa Agung Perdata dan Tata Usaha Negara, Feri Wibisono, menyatakan putusan itu kurang tepat. Kejaksaan tetap menganggap bahwa ucapan Jaksa Agung mengenai peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan suatu tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

 

Tags:

Berita Terkait