Asosiasi Pengajar Tata Negara Kritik Hak Angket KPK
Utama

Asosiasi Pengajar Tata Negara Kritik Hak Angket KPK

Selain tak memenuhi syarat persetujuan seluruh fraksi sesuai UU MD3, KPK juga punya dasar hukum untuk menolak membuka rekaman BAP Miryam yakni Pasal 17 UU KIP.

CR-23
Bacaan 2 Menit
Diskusi publik bertajuk
Diskusi publik bertajuk
Pengambilan keputusan terhadap penggunaan hak angket terkait dibukanya rekaman transkrip pemeriksaan Miryam S Haryani dalam rapat paripurna disetujui oleh DPR pada Jumat (28/7) kemarin. Namun, keputusan ini tidak berjalan mulus, bahkan terkesan 'dipaksakan'. Hujan interupsi pun menghiasi pengambilan keputusan hak angket ini.

Dengan disetujui penggunaan hak angket, maka DPR akan membentuk Pansus usai reses dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak sejumlah anggota Komisi III DPR agar membuka rekaman berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap anggota DPR Miryam S Haryani terkait penanganan kasus korupsi proyek e-KTP. KPK pun bersikukuh tak dapat memenuhi permintaan mitra kerjanya itu.

Anggota Asosiasi Pengajar HTN-HAN Yogyakarta Deny Indrayana mengatakan sejarah hak angket awal muncul dalam sistem parlementer untuk mengontrol eksekutif. “Sebenarnya hak angket masih menggunakan definisi lama, tetapi sedikit diperbarui dalam UU MD3 yang baru,” kata Denny melalui video conference dari University of Melbourne Australia saat diskusi publik yang digelar Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bertajuk "Tepatkah Penggunaan Hak Angket DPR Terhadap KPK?" di Jakarta, Selasa (2/05/2017).

Hak angket ada pada zaman orde baru yang digunakan untuk pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam sistem parlementer. Namun, saat ini Indonesia menganut sistem presidensial. Bukan tidak bisa digunakan dalam sistem presidensial, tetapi jarang sekali digunakan hak angket ini dalam sistem yang dianut sekarang. Terlebih lagi, dia menilai tidak tepat hak angket ini digunakan untuk KPK.

“Ini bukan angket, tetapi ‘angkot’. Angkot yang ‘menabrak’ rambu-rambu penegakkan hukum,” ungkapnya. Baca Juga: Akhirnya, Miryam Haryani Praperadilankan KPK

Dia mengungkapkan kali pertama dalam sejarah hak angket ini digunakan untuk mengontrol lembaga independen. Sebab, UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) jelas menyebutkan hak angket ini diperuntukkan bagi lembaga pemerintah, bukan untuk lembaga independen seperti KPK atau KPU. Dia menerangkan KPK merupakan lembaga independen dijamin Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang bebas dari campur tangan lembaga manapun.  

“Maksud pasal tersebut adalah lembaga lain dalam lingkup kekuasaan kehakiman termasuk pula KPK, Kejaksaan tidak bisa dikontrol dan dicampuri oleh DPR. Karena KPK dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya bekerja dalam lingkup kekuasaan kehakiman,” katanya.

“Hak angket ini tidak lepas dari rekaman BAP Miryam yang bersifat rahasia. Menjadi terbuka pada saat sidang pengadilan. Yang menilai kerja KPK adalah lembaga peradilan. Jika lembaga lain (DPR) yang menilai menjadi kacau.”

Dia melihat hak angket merupakan modus operandi baru terhadap pelemahan KPK yang seolah-olah ini diatur UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). “Sebelumnya ada modus-modus pelemahan KPK melalui judicial review ke MK, kriminalisasi pimpinan KPK termasuk penyerangan fisik. Ini yang harus diluruskan karena tidak tepat,” lanjutnya.

Terlebih, menurutnya hak angket ini dapat dilakukan bila disetujui seluruh fraksi di DPR. Kalau ada yang tidak menyetujui, maka tidak memenuhi syarat dalam UU MD3. Faktanya, hak angket terhadap KPK ini ada beberapa fraksi yang tidak setuju yakni Fraksi Gerindra, PKB, PKS. “Sebaiknya hak angket ini tidak perlu dilakukan. Ini tentu sudah mengganggu kinerja KPK,” tambahnya.

Hilang sendirinya
Senada, Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Prof Mahfud MD menilai penggunaan hak angket ini masih debatable, apakah hak angket ini bisa dilakukan terhadap KPK atau tidak. Namun, baginya, jika ingin mengawasi KPK serahkan ke pihak pengadilan. Sebab, perlu atau tidaknya membuka rekaman BAP Miryam adalah pengadilan.

Dia memperkirakan hak angket ini nantinya akan hilang dengan sendirinya karena dalam pembentukan pansus hak angket harus memuat seluruh unsur fraksi seperti diatur Pasal 171 ayat (2) UU MD3. Sebab, faktanya fraksi yang tidak ikut (menyetujui) dalam sidang paripurna DPR yakni Fraksi PKB, Gerinda, PKS.

“Saya rasa fraksi tinggal jangan mengirim orang-orangnya nanti akan ‘bubar’ sendiri. Fraksi yang tidak setuju harus menyatakan sikap. DPR sudah menyalahgunakan wewenangnya. (sepertinya) ingin menyelesaikan gangguan-ganguan dan menghentikan kasus yang sedang ditangani KPK saat ini,” tegasnya. Baca Juga: Usulan Hak Angket Rekaman Miryam Bentuk Intervensi Penegakkan Hukum

“Seandainya, memaksa dibentuk hak angket, KPK datang saja memenuhi panggilan DPR. Tinggal bilang saja, menurut UU rekaman BAP Miryam tidak bisa dibuka disini, nanti hanya bisa dibuka di pengadilan, tanyakan saja ke pengadilan. Kan KPK tinggal bicara begitu ke DPR,” jelasnya.
Pasal 171 ayat (2) UU MD3

“Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b secara musyawarah untuk mufakat tidak dapat dicapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.”
Menurutnya, selama ini KPK sudah diawasi dalam forum Rapat Dewan Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR. Dalam RDP tersebut, KPK sudah diawasi melalui laporan kinerjanya. “(Misalnya) bagaimana penanganan perkaranya, sudah sampai mana perkaranya. Jadi gelar perkara tidak bisa dilakukan oleh DPR, tetapi harus melalui penegak hukum. Jika ada pelanggaran yang dilakukan KPK laporkan saja ke Kepolisian dan Kejaksaan,” sarannya.

Mantan Ketua MK ini meminta KPK fokus saja melaksanakan tugasnya, biarkan saja proses politik itu berjalan. Toh, sebenarnya hak angket ini tidak akan berakibat apapun terhadap KPK. Sebab, dalam konteks ini hak angket terhadap KPK hanya berujung kesimpulan saja tanpa ada proses impeachment (pemakzulan terhadap presiden), kecuai kalau hak angket ini ditujukan terhadap pemerintah, maka bisa berakibat impeachment.

Sementara Anggota APHTN-HTN dari Sumatera Barat Feri Amsari menambahkan ini peristiwa menarik dalam konteks politik, tetapi buruk dalam proses penegakan hukum. Ironisnya, ada unsur kesengajaan dalam proses persetujuan usulan hak angket ini yang tidak lazim dilakukan DPR. Sebab, proses persetujuan usulan hak angket ini begitu cepat tanpa adanya proses musyawarah mufakat dalam rapat paripurna DPR.  

“Proses hak angket ini masih panjang, jadi KPK tidak perlu khawatir. Sebelum terbentuk pansus pun saya rasa akan hilang dengan sendirinya. Karena tidak memenuhi unsur pembentukan pansus yang harus dihadiri seluruh fraksi dalam sidang paripurna,” katanya.

Apalagi, menurutnya KPK punya dasar hukum untuk menolak membuka rekaman BAP Miryam yakni Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Seperti, kasus gugatan rekening gendut, polisi menggunakan pasal ini untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Pasal 17 UU KIP

Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik  dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat:
1.       menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana;
2.       mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana;
3.       mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;
4.       membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau
5.       membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum.
Tags:

Berita Terkait