Bawaslu: Menghalangi Kampanye Adalah Tindak Pidana
Berita

Bawaslu: Menghalangi Kampanye Adalah Tindak Pidana

Ada ancaman penjara antara 1 sampai 6 tahun dan/atau dendaRp600 ribu sampai Rp6 juta.

ADY
Bacaan 2 Menit
Bawaslu: Menghalangi Kampanye Adalah Tindak Pidana
Hukumonline
Penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) di sejumlah daerah sudah berjalan. Salah satunya DKI Jakarta. Ada tiga pasangan calon yang bertarung di Pilkada DKI Jakarta yaitu pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni (nomor urut 1), Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat (nomor urut 2) dan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno (nomor urut 3).

Pilkada DKI Jakarta masuk tahap kampanye mulai dari 28 Oktober 2016 sampai 11 Februari 2017. Ketua Bawaslu RI, Muhammad, mengatakan sampai sekarang secara umum tidak ada pelanggaran pemilu yang serius di 101 daerah yang melaksanakan Pilkada. Tapi, pelanggaran yang menarik perhatian publik terjadi dalam Pilkada di DKI Jakarta yakni penghalangan kampanye oleh warga terhadap pasangan calon. (Baca juga: Bolehkah Kampanye Dilakukan di Tempat Ibadah?).

Muhammad mengakui Bawaslu tidak memprediksi peristiwa penolakan seperti yang terjadi di Jakarta. Menurutnya, siapapun tidak dibenarkan melakukan penghalangan terhadap kampanye yang sah. Kampanye merupakan wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab. Jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan KPU dengan memperhatikan usul dari pasangan calon.

Guna mengatasi hal tersebut Muhammad mengatakan sudah berkoordinasi dengan Polri. Jika kampanye yang dilakukan itu berpotensi terjadi masalah keamanan, diharapkan aparat segera melakukan pencegahan dan penindakan. “Ingat, UU No. 10 Tahun 2016 secara tegas mengamanatkan ada ancaman pidana dan/atau denda bagi setiap orang yang menghalangi jalannya kampanye. Siapapun yang menghalangi akan diproses hukum” katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (11/11).

Muhammad menjelaskan, kampanye dapat dilakukan lewat berbagai cara diantaranya pertemuan terbatas, debat publik, pertemuan tatap muka dan dialog. Dalam kampanye terbuka, dapat diketahui siapa saja individu yang melakukan penghalangan atau penolakan terhadap pasangan calon atau tim suksesnya (timses) yang berkampanye. Jika dalam peristiwa tersebut ada panitia pengawas pemilu (panwaslu), temuan itu bisa segera ditindaklanjuti. (Baca juga: Kontrol Maksimal Dana Kampanye, Cegah Potensi Korupsi Kepala Daerah).

Namun, jika dalam kampanye itu terjadi penolakan dan penghalangan tapi tidak ada panwaslu, masyarakat atau timses yang bersangkutan bisa melapor ke panwaslu agar ditindaklanjuti. Pelapor diharapkan membawa informasi dan data pendukung guna menjelaskan terjadinya peristiwa itu seperti foto atau video. “Laporan yang disertai bukti itu sudah cukup untuk dilakukan proses pidana (pemilu). Semua proses hukum melalui laporan dari panwaslu terlebih dulu, kemudian diproses ke pihak kepolisian,” papar Muhammad.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menjelaskan ancaman pidana bagi setiap orang yang menghalangi kampanye itu tercantum dalam pasal 187 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

“Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta,” kata Titi mengutip pasal 187 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2016.
Tags:

Berita Terkait