Beragam Keluhan PBH Atas Pemangkasan Anggaran Bantuan Hukum
Berita

Beragam Keluhan PBH Atas Pemangkasan Anggaran Bantuan Hukum

“Dengan dana yang diberikan sekarang saja belum cukup, kalau seandainya dipangkas, akan ada (masyarakat) yang tidak mendapatkan bantuan hukum itu.”

CR22
Bacaan 2 Menit
Pos Bantuan Hukum di salah satu pengadilan. Foto: SGP
Pos Bantuan Hukum di salah satu pengadilan. Foto: SGP
Anggaran bantuan hukum pada tahun 2017 telah dipatok sebesar Rp18 miliar. Angka ini turun drastis jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai Rp50 miliar per tahun. Ironisnya, turunnya dana yang dipakai untuk membantu warga miskin yang tersangkut perkara itu serapannya selalu tinggi tiap tahun.

Jelas persoalan menurunnya angggaran bantuan hukum ini menuai keluhan dari sang pengguna, seperti organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH). Misalnya saja Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Ismail Hasan. Menurutnya, tantangan penerapan bantuan hukum di daerah erat kaitannya dengan pasokan anggaran yang cukup dalam proses bantuan hukum terhadap masyarakat kecil.

Menurut Ismail, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, LBH Medan hanya mengandalkan sumber pendanaan dari dana bantuan hukum Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang alokasinya Rp5 juta per kasus. Jumlah ini untuk penanganan perkara litigasi sejak pendaftaran sampai perkara berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

“Angka ini (Rp5 juta) untuk pendaftaran sampai inkracht, kalau misalnya di pengadilan negeri kemudian dia banding, harus mencakup itu semua,” ujar Ismail kepada Hukumonline, Rabu (14/12). (Baca Juga: Meski Serapannya Tinggi, Anggaran Bantuan Hukum Turus Drastis)

Belum lagi, lanjut Ismail, tantangan pada proses pencairan dana penanganan suatu kasus. Dengan angka Rp5 juta per kasus itu, proses pencairannya juga tak sebentar. Bahkan, lantaran ada syarat pencairan dengan sistem reimburse, maka harus menunggu salinan putusan dari pengadilan setempat yang juga memakan waktu lama.

Ismail menghawatirkan dengan adanya pemangkasan anggaran bantuan hukum, akan berdampak pada terkendalanya penanganan kasus-kasus di lapangan. “Dengan dana yang diberikan sekarang saja belum cukup, kalau seandainya dipangkas, akan ada (masyarakat) yang tidak mendapatkan bantuan hukum itu,” katanya.

Ia menambahkan, sebelum adanya dana bantuan hukum dari Kemenkumham, LBH Medan sering mengandalkan dana bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun hal itu tidak lagi terjadi karena sudah adanya dana bantuan hukum Kemenkumham dan tidak boleh adanya dua sumber pendanaan dalam penanganan suatu kasus.

Terkait double payment ini, Kepala Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Audy Murfi, menegaskan hanya ada satu sumber pendanaan dalam suatu kasus penanganan batuan hukum dalam penanganan perkara yang sama. Namun, jika untuk perkara berbeda, ia mempersilahkan PBH untuk mencari sumber pendanaan lain.

“Kalau dalam kasus yang sama, tidak boleh mengakses dana bantuan hukum di Kementrian Hukum dan HAM juga mengakses dana bantuan hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Tapi (jika) kasusnya berbeda, silahkan. Apa lagi untuk daerah-daerah tertentu yang anggaran APBD-nya cukup besar sehingga menyediakan anggaran bantuan hukum,” tuturnya. (Baca Juga: Cerita Esti dan Potret Bantuan Hukum di Tapal Batas Negara)

Masih terkait pemangkasan dana bantuan hukum, Wakil Sekertaris LBH FH Universitas Andalas, Benni Kharisma berpendapat bahwa kebijakan ini merupakan bentuk kemunduran pemerintah dalam memberikan hak-hak masyarakat kecil terkait bantuan hukum secara cuma-cuma. Menurutnya, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak masyarakat  tidak mampu belum mendapatkan akses bantuan hukum secara cuma-cuma.

“Jangan sampai nantinya mereka tidak mendapatkan keadilan hanya karena ketidakmampuan mereka untuk meminta bantuan seorang pengacara mendampingi perkara hukum yang mereka hadapi,” ujar pengacara yang juga menjadi tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Apalagi, lanjut Benni, pemangkasan anggaran yang jumlahnya mencapai 2/3 juga akan berdampak pada berkurangnya kesempatan masyarakat kecil memperoleh akses hukum. Ia menjelaskan, bahwa alokasi dana bantuan hukum yang selama ini diberikan pemerintah masih jauh dari cukup.

Hal ini semakin terlihat ketika dikaitkan dengan faktor geografis daerah sehingga biaya transportasi dan akomodasi yang dikeluarkan cukup besar. Di daerah, tak jarang jarak pemohon bantuan cukup jauh ke pengadilan tempat disidangkannya perkara. “Harusnya ini menjadi pertimbangan ulang oleh pemerintah, belum lagi sedikit rumitnya soal pelaporan di kemudian karena bantuan hukum ini menggunakan konsep reimburse,” katanya. (Baca Juga: Law Firm Korporasi Buka Pintu Layanan Pro Bono)

Terkait strategi ke depan apabila pemangkasan dana bantuan hukum benar-benar terjadi, Benni memaparkan, perlu mengakses bantuan dana dari daerah masing-masing. “Semisal dana-dana bantuan sosial atau dana bantuan untuk organisasi, selanjutnya PBH dapat melakukan kerja sama dengan lembaga pemerintah atau non pemerintah lainnya yang sekiranya dapat memberikan dana bantuan hukum dan nantinya dapat dipergunakan untuk membantu masyarakat”, pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait