Catatan tentang Dua Sidang Pasca G.30.S
Sejarah:

Catatan tentang Dua Sidang Pasca G.30.S

Titik Puspa pernah menjadi saksi dalam sidang perkara ex-Menteri Urusan Bank Sentral.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Gedung Bappenas pernah dijadikan ruang sidang perkara G.30.S. Foto: SGP
Gedung Bappenas pernah dijadikan ruang sidang perkara G.30.S. Foto: SGP

“Apakah Saudara pernah menerima sebuah mobil Fiat 1300 dari Saudara Jusuf Muda Dalam?” Mendapat pertanyaan hakim, perempuan 29 tahun yang duduk di kursi saksi itu menjawab dengan lugas. “Saya membeli dengan harga 40 juta rupiah atau empat pulih ribu rupiah uang baru”.

 

Pembayaran mobil Fiat itu berlangsung di Jalan Hang Tuah, Jakarta Selatan. Saksi mengaku tak tahu keberadaan mobil keluaran 1964 itu. Yang jelas, kata saksi, ia membeli bukan menerima sebagai hadiah. Pembayaran terpaksa dilakukan di rumah penjual karena pembeli langsung dijemput dan dibawa ke lokasi. Mobil yang diperjualbelikan itu ini tak jelas dimana. Maklum, transaksi berlangsung pada Desember 1965.

 

Si penjual adalah Jusuf Muda Dalam (JMD), Menteri Urusan Bank Sentral dalam Kabinet Dwikora. Dan si pembeli, yang menjadi saksi dalam persidangan itu, adalah Titik Puspa. Kala persidangan berlangsung, Titik Puspa tercatat sebagai tenaga kesenian Radio Republik Indonesia.

 

Titik Puspa adalah saksi ke-19 yang dimintai keterangan oleh majelis hakim sidang-sidang pasca peristiwa G.30.S, dalam hal ini atas nama terdakwa  JMD. Berdasarkan bahan-bahan sidang yang dipublikasikan kemudian, tercatat ada 24 saksi dan ahli yang dimintai keterangan. Ahli yang diminta pendapat adalah Radius Prawiro. Radius kemudian menggantikan posisi JMD sebagai Gubernur Bank Sentral (1966-1973).

 

Tidak sembarang orang bisa memasuki ruang sidang. Apalagi sidang-sidang JMD dihadiri sejumlah pejabat negara. Antara lain AH Nasution, Menteri Kehakiman Oemar Senoadjie, Ketua Mahkamah Agung Soerjadi, Jaksa Agung Sugih Arto, dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Kapolri) Soetjipto Joedihardjo.

 

Untuk menghadapi sidang yang digelar Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta itu, Kejaksaan Agung membentuk Komando Penyelenggara Peradilan Subversi, disingkat Korasi. Tim penuntut umum dipimpin Anas Jacob, Kepala Bagian Penyelesaian Perkara Kejaksaan Agung. Ia dibantu jaksa R. Soegeng Sumartopo Marsigit

 

Penuntut umum Anas Jacob, dalam sidang 5 September 1966, menuduh JMD memberikan izin impor dengan deferred payment khusus kepada seumlah pengusaha. JMD juga dituduh memberikan kredit tanpa jaminan ke sejumlah perusahaan, serta kepemilikan senjata api tanpa izin. Tuduhan lain yang tak kalah menariknya adalah JMD melangsungkan perkawinan dengan lebih dari empat orang perempuan.

 

Majelis hakim beranggotakan Made Labde, E.D Johannes, dan Soetarno Soedja sependapat dengan jaksa. Terdakwa dianyatakan bersalah melakukan tindak pidana subversi, menyimpan senjata api tanpa izin, dan menggelapkan uang dalam jabatan. Juga terbukti bersalah melangsungkan perkawinan sedangkan ia mengetahui ada halangan untuk perkawinan  tersebut. Sejumlah kendaraan dan 8 unit rumah dan sebidang tanah di Cililitan disita untuk negara. Atas semua kesalahannya, JMD divonis hukuman mati.

 

Pembelaan

Bagaimana dengan pembelaan? Dalam persidangan, JMD sempat meminta agar disediakan sebuah tim pembela berhubung karena dua hal. Pertama, tuduhan yang disampaikan cukup berat. Kedua, terdakwa tak memiliki cukup bahan pembelaan terutama data karena sedang dalam status tahanan. Majelis menyatakan tim pembela yang diminta terdakwa tidak bersedia, sehingga pengadilan menjalankan kewajibannya menunjuk pengacara. Yang ditunjuk adalah Sukardjo.

 

Dalam bahan-bahan persidangan yang kemudian dibukukan “Proses Jusuf Muda Dalam Ex Menteri Urusan Bank Sentral Kabinet 100 Menteri” (diterbitkan Kejaksaan Agung, 1967) tercatat, Sukardjo pernah telat mengikuti sidang selama 20 menit. Keterlambatan pembela terdakwa tercatat dalam bahan persidangan.

 

Biaya pembelaan terdakwa ditanggung oleh pengadilan. Itu tercatat dalam perkara Nyono bin Sastrodiredjo. Melalui Surat Keputusan No. Kep-006/MBI/A/1966, Mahkamah Militer Luar Biasa menunjuk pengacara untuk Nyono karena pengacara yang diminta terdakwa tidak bersedia. Mahkamah Militer Luar Biasa lantas menunjuk Ny. T. Sunito-Heyligers, seorang pengacara yang berkantor di Jalan Serang No. 1 Jakarta. Ali Said, Ketua Mahkamah Militer Luar Biasa, menulis dalam surat itu “segala biaya pembelaan akan dibebankan kepada Mahmilub”.

 

Bukan hanya menunjuk pengacara, Mahmilub juga mengeluarkan keputusan menunjuk dua orang asisten atau pembantu untuk pengacara. Pembantu yang ditunjuk adalah dua orang perwira militer, yakni Mayor (CHK) Suwarno dan Mayor (CHK) Zainuddin Yunus.

 

Sidang siang malam

Sidang atas perkara para terdakwa pasca G.30.S berlangsung cepat. Sidang perkara JMD dimulai pada 30 Agustus 1966 dan putusan diucapkan pada Jum’at malam, 9 September 1966. Praktis, sidang perkara subversi itu memakan waktu tak sampai dua minggu. Sidang berlangsung di gedung Bappenas Jalan Suropati Jakarta Pusat.

 

Sidang perkara Nyono juga relatif cepat. Dakwaan dibacakan Oditur Militer pada 4 Februari 1966. Pada 21 Februari vonis hukuman mati sudah dibacakan majelis hakim beranggotakan Letkol Ali Said, Letkol Mukarto, AKBP Taslan Karnadi, Mayor P. Gani Djemat, dan seorang sipil yang diberi pangkat tituler Mayor Raffly Rasad. Paniteranya tercatat atas nama W.H. Frederik, seorang perwira militer berpangkat kapten.

 

Bayangkan, pda hari yang sama dengan pembacaan putusan, Letjen Soeharto –selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menerbitkan surat Kep-18/2/1966. Surat ini memberi lampu hijau pelaksanaan eksekusi terhadap Nyono alias Tugimin alias Rukma. “Memberikan persetujuan pelaksanaan (fiat executie) terhadap keputusan Mahkamah Militer Luar Biasa No. PTS-009/MBI/A/196 tanggal 21 Februari 1966 di dalam perkara tersebut di atas,” tulis Soeharto dalam suratnya.

 

Sebuah proses hukum yang relatif cepat. Begitulah tergambar dari buku G.30 S di Hadapan Mahmilub ”Nyono” yang diterbitkan Pusat Pendidikan Kehakiman Angkatan Darat (1966).

Tags: