Dekan FH Unpatti Warning Kebijakan Maritim
SPHN2014:

Dekan FH Unpatti Warning Kebijakan Maritim

Istilah maritim cenderung pada aspek keamanan.

MYS
Bacaan 2 Menit
Jantje Tjiptabudy (paling kanan) dalam acara SPHN 2014 di Jakarta, Rabu (03/12). Foto: RES
Jantje Tjiptabudy (paling kanan) dalam acara SPHN 2014 di Jakarta, Rabu (03/12). Foto: RES
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura (FH Unpatti) Ambon, Jantje Tjiptabudy, mengingatkan agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan pendekatan pembangunan di daerah, terutama daerah-daerah kepulauan. Daerah-daerah akuatik teristerial seperti Maluku harus didekati sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik wilayah tersebut.

Warningitu disampaikan Jantje saat menjadi pembicara dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) 2014 di Jakarta, (Rabu 03/12). Acara yang digelar Komisi Hukum Nasional ini mengkaji prospek pembaruan hukum pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla. Salah satu fokus kebijakan pemerintahan Jokowi-JK adalah pembangunan maritim.

Jantje mengatakan pemerintah perlu melihat kenyataan bahwa 7 dari 8 provinsi termiskin adalah provinsi berbasis kepulauan (akuatik teristerial). Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur contohnya. Kebijakan pembangunan selama ini dalam rangka otonomi daerah terlalu berbasis pada daratan. Pembangunan selalu fokus ke wilayah darat. “Terlalu continental oriented,” ujarnya.

Kebijakan berorientasi darat itu juga tercermin pada penganggaran. Insfrastruktur, misalnya, lebih fokus pada pembangunan jalan, seolah melupakan pelabuhan. Padahal wilayah kepulauan jauh lebih membutuhkan pelabuhan atau bandara dibandingkan infrastruktur jalan. Pada tahap tertentu kebijakan pemerintah di wilayah kepulauan akhirnya tidak efektif dan menyulitkan.

Jantje memberi contoh pembangunan puskesmas. Regulasi pemerintah mengharuskan pembangunan pusat kesehatan masyarakat di daerah dibangun di ibukota kecamatan, yang berarti di darat. Padahal di Maluku, misalnya, satu kecamatan bisa terdiri dari puluhan pulau. Masyarakat yang ingin berobat ke puskesmas akan kesulitan karena sarana transportasi dan pelabuhan pendukungnya tidak ada. Menurut Jantje, jika pemerintah jeli melihat kondisi geografis, akan jauh lebih pas membangun puskemas terapung. “Apa warga yang sakit dan mau berobat disuruh berenang ke ibukota kecamatan?”.

Ia mengingatkan bahwa filsafat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika mengatur prinsip keadilan dalam keberagaman. Kebhinnekaan jangan hanya dibaca dari masalah budaya, etnis, dan agama, tetapi juga perbedaan kondisi dan karakteristik wilayah pada masing-masing provinsi. “Ini berarti ada pengakuan prinsip kebhinnekaan berbagai unsur yang terdapat dalam wilayah tersebut, baik potensi maupun kesulitan sarana dan prasarana,” ujarnya.

Maritim, sasaran kebijakan yang ditempuh pemerintah Jokowi-JK, pada hakikatnya merujuk pada aspek keamanan. Jika aspek potensi yang hendak ditonjolkan, maka kebijakan kelautanlah yang seharusnya dipakai. Dalam rangka otonomi, Jantje mengusulkan agar perangkat hukum otonomi daerah didesain untuk mengembangkan desentralisasi asimetris.

Guru Besar FH Universitas Bosowa 45 Makassar, Prof. Abdul Rahman, menyoroti ketimbangan pembagian hasil sumber daya alam dan pajak. Faktanya, objek bagi hasil dari sumber daya alam yang potensial lebih banyak masuk ke pundi-pundi pusat. Kalaupun daerah diberi porsi lebih besar, kata Prof. Abdul Rahman, umumnya dari sektor yang relative tidak potensial seperti PBB, BPHTB, dan PSDH.

“Ke depan direkomendasikan agar jenis dana bagi hasil yang potensial, porsi daerah diberi perhatian lebih banyak dengan perhitungan yang transparan,” paparnya di acara yang sama.

Jantje juga berharap wilayah kepulauan mendapat porsi yang lebih besar dalam kebijakan maritim Jokowi-JK. “Kepulauan harusnya mendapat porsi yang lebih besar,” pungkasnya.
Tags: