Diminta Cabut Aturan Izin Ambil Foto-Rekam Persidangan, Ini Kata MA
Utama

Diminta Cabut Aturan Izin Ambil Foto-Rekam Persidangan, Ini Kata MA

Karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Permintaan izin yang dimaksud dalam hal ini, jangan ditafsirkan secara kaku memahaminya. Jangan menafsirkan sendiri tanpa membaca konsiderans Perma ini.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan MA No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan pada 4 Desember 2020. Salah satu isinya mengharuskan pengambilan foto, rekaman audio atau rekaman audio visual seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim sebelum persidangan. Pelanggaran aturan ini dianggap sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (6) jo Pasal 7 Perma 5/2020 ini. Aturan ini menimbulkan protes dari sejumlah kalangan.    

Salah satunya dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) yang menilai kebijakan MA ini akan menghambat fungsi dan peran Pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik. Sebab, kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan. Hal ini diatur UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pers telah menjamin kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

“Semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui Perma ini,” ujar Ketua Umum PFI Reno Esnir dalam keterangannya, Selasa (22/12/2020). (Baca Juga: Melihat Pedoman Protokol dan Pengamanan Persidangan)

Reno mengatakan MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan. Justru, peran dan fungsi jurnalis dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim memutus perkara. Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses keadilan.

“Dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis,” kata dia.

Menurutnya, pembatasan mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual hanya boleh pada kasus kesusilaan atau terdakwanya anak. Apalagi, prinsipnya persidangan terbuka untuk umum sebagaimana diatur Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga pengambilan foto, merekam audio dan/atau rekaman audio visual merupakan bagian dari prinsip keterbukaan informasi publik tidak relevan harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim.

Dia mengingatkan aturan ini bukanlah yang pertama. Sebab, Pada 7 Februari 2020 lalu, MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, yang isinya tak jauh berbeda. Salah satunya mengatur ketentuan “Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan”. Walaupun pada akhirnya surat edaran ini dicabut karena banyaknya penolakan dari berbagai kalangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait