Golkar Tolak Keinginan Pemisahan Aset BUMN
Aktual

Golkar Tolak Keinginan Pemisahan Aset BUMN

ANT
Bacaan 2 Menit
Golkar Tolak Keinginan Pemisahan Aset BUMN
Hukumonline

Partai Golkar menegaskan tetap menolak keinginan pemisahan aset BUMN dari kekayaan negara karena aset BUMN adalah aset negara, terutama perusahaan yang seluruh modalnya berasal dari negara melalui mekanisme Penyertaan Modal Negara (PNM).

"Dengan dilakukannya pemisahan aset BUMN dari aset negara akan membuka peluang terjadinya penyimpangan karena pengawasan terhadap perusahaan 'plat merah' tersebut sulit ditemukan," ujar Ketua Komisi VI DPR RI, Airlangga Hartarto di Jakarta Rabu (11/9).

Menurut politisi Partai Golkar itu dasar pemikiran tersebut berdasarkan UU BUMN yang menyatakan kepemilikan BUMN pada modal minimal 51 persen. Dengan demikian BUMN dengan penguasaan 51 persen merupakan kekayaan BUMN.

"Pernyataan modal merupakan kekayaan yang dipisahkan, namun terhadap BUMN sewajarnya juga diaudit oleh BPK," katanya.

Fatwa Mahkamah Agung No WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang Pemisahan Kekayaan BUMN dari Kekayaan Negara sebenarnya sudah baik karena memberikan kejelasan dalam praktik peradilan yang berkaitan dengan kekayaan negara.

Hal itu dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011 yang menyatakan BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara sehingga kewenangan pengurusan kekayaan usaha, termasuk penyelesaian utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas, yakni UU No. 40 Tahun 2007.

Namun pada perjalanannya, ternyata terdapat sanggahan akibat UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa semua pengelolaan kekayaan negara di BUMN harus mengikuti mekanisme pengelolaan keuangan negara.

Pasal 2 huruf g berbunyi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Akibatnya, keuangan BUMN disamakan dengan keuangan negara. Demikian pula dengan kekayaan, aset dan kerugian. Implikasi lebih jauh, merugikan BUMN disamakan dengan korupsi, bukan pidana umum.

"Implikasinya, ada keluhan direktur BUMN ragu-ragu mengambil keputusan dan adanya intervensi sehingga BUMN tidak sigap sebagai sebuah korporasi. Sebenarnya ini bisa disikapi dengan keterbukaan," ujar Airlangga.

Sejak 2007 hingga 2012, pos Bagian Laba BUMN tak memberikan kontribusi signifikan. Dari 141 BUMN yang beroperasi hanya menyumbang kurang lebih Rp27 triliun atau hanya 3 persen dari total pendapatan ekonomi nasional.

Tags: