Hak Asuh Anak Campuran Sebaiknya Ditentukan Prinsip Habitual Residence
Utama

Hak Asuh Anak Campuran Sebaiknya Ditentukan Prinsip Habitual Residence

Salah satu aspek yang mendapat perhatian dalam revisi Undang-Undang Kewarganegaraan adalah hak asuh atas anak hasil perkawinan campuran.

Mys/Tif
Bacaan 2 Menit
Hak Asuh Anak Campuran Sebaiknya Ditentukan Prinsip <i>Habitual Residence</i>
Hukumonline

 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prof. Zulfa selama ini, pemberian hak asuh kepada si ibu bukan sesuatu yang mustahil. Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam misalnya memberikan hak asuh kepada si ibu dalam hal anak-anak belum mumayiz (belum berusia 12 tahun). Tetapi itu pun tergantung pada keputusan hakim.

 

Keputusan Panja RUU Kewarganegaraan mengadopsi sistem kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak hasil perkawinan campuran bisa membawa persoalan pada hak asuh. Jika ini yang terjadi, Prof. Zulfa mengusulkan agar hakim lebih mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi si anak ketimbang kewarganegaraan gandanya (the best interest of the child). Prinsip ini sudah pernah menjadi pertimbangan hakim di pengadilan Indonesia. Misalnya putusan PN Jakarta Pusat No. 371/Pdt.G/II/1986 tertanggal 11 November 1986. Dalam kasus ini si ibu adalah WN Malaysia, sedangkan si anak mengikuti ayahnya (WNI).

 

Jika perceraian pasangan campur disebabkan salah satu meninggal, maka hak asuh jatuh kepada orang tua yang masih hidup. Kecuali, pengadilan menyatakan orang tua tadi tidak cakap untuk mendapatkan hak asuh. Dalam hal ini, kata Prof. Zulfa, pengadilan akan menunjuk wali berdasarkan habitual residence.

Bila terjadi perceraian antara pasangan perempuan Indonesia dengan pria asing, acapkali bermuara pada rebutan hak asuh anak. Secara yuridis, suami lebih diuntungkan karena anak tersebut mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Ini merupakan konsekuensi asas ius sanguinis yang dianut Undang-Undang No. 62 Tahun 1958.

 

Dalam perebutan hak asuh anak tersebut, Keluarga Perkawinan Campuran (KPC) Melati, perkumpulan pasangan kawin campur, mengungkapkan bahwa isteri acapkali harus gigit jari. Mereka harus berjuang mendapatkan hak asuh melalui pengadilan. Di pengadilan, hakim sering hanya berpatokan pada asas ius sanguinis. Ini diperkuat  Konvensi Den Haag 1902 (Convention Governing Guardianship of Infants) dimana yang dipakai sebagai ukuran untuk menentukan hak asuh adalah hukum nasional si anak. Nah, bagi perempuan Indonesia yang kawin dengan pria asing, prinsip Konvensi Den Haag ini tentu merugikan karena anak otomatis ikut ayahnya.

 

Prof. Zulfa Djoko Basuki berpendapat para pengambil keputusan, terutama hakim, sebaiknya merujuk pada prinsip habitual residence. Berdasarkan prinsip ini, yang jadi ukuran adalah hukum tempat kediaman sehari-hari si anak atau keberadaannya secara fisik dalam jangka waktu tertentu. "Hukum nasional si anak seringkali tidak mencerminkan keadaan sebenarnya di anak," ujar Guru Besar Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

 

Prinsip habitual residence sudah dianut dunia internasional melalui Konvensi Den Haag 1961 (Convention Concerning the Power of Authorities and the Law Applicable in Respect of the Protection of Minors). Dalam literatur, prinsip ini merujuk antara lain pada kasus Feder v Evans Feder dan Friedrich v Friedrich. Prof. Zulfa menyayangkan karena Indonesia meratifikasi Konvensi ini.

Tags: