Hak Eksekutorial Kreditor Separatis: Kapan Dapat Dilaksanakan?
Oleh: Yulius Setiarto, SH *)

Hak Eksekutorial Kreditor Separatis: Kapan Dapat Dilaksanakan?

Selama debitor pailit belum dinyatakan dalam keadaan insolvensi, maka peluang tercapainya perdamaian selalu terbuka.

Bacaan 2 Menit
Hak Eksekutorial Kreditor Separatis: Kapan Dapat Dilaksanakan?
Hukumonline

Tulisan ini secara khusus akan membahas hak eksekutorial kreditor separatis ditinjau dari peraturan perundang-undangan kepailitan.

 

I.       Pendahuluan

Dalam praktek kepailitan yang terjadi di Indonesia, jarang sekali ditemui kreditor separatis yang melaksanakan sendiri hak eksekutorial terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Walaupun UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK) memberikan peluang untuk itu, namun kenyataannya tidak mudah diterapkan. Salah satu kendalanya adalah karena jangka waktu pelaksanaan hak eksekutorial tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan.

 

Sebagian praktisi hukum kepailitan berpendirian bahwa hak eksekusi kreditor separatis dimulai sejak debitor pailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi[1] hingga paling lambat 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Artinya, kesempatan kreditor separatis melaksanakan hak eksekutorialnya hanya 2 bulan[2]. Limitasi jangka waktu ini, didasarkan pada penafsiran yang keliru, atau setidaknya pemahaman yang sepotong, terhadap pasal 59 ayat (1) UUK.

 

Selama debitor pailit belum dinyatakan dalam keadaan insolvensi, maka peluang tercapai perdamaian selalu terbuka. Dalam situasi yang demikian, rencana perdamaian yang diajukan debitor pailit atau investor baru, menjadi tidak ada artinya apabila kreditor separatis melaksanakan eksekusi terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya. Apalagi jika benda yang dieksekusi merupakan modal vital si debitor pailit untuk melaksanakan rencana perdamaian[3]. Oleh karenanya, guna memperbesar peluang terjadinya perdamaian dan untuk menghindari adanya kreditor separatis yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya[4], maka hak eksekutorial kreditor separatis terhadap jaminan kebendaan yang dimilikinya baru dapat dilaksanakan setelah perdamaian tidak dimungkinkan lagi. Sepintas logika hukum di atas dapat diterima. Namun, apakah benar demikian? Penulis memiliki pandangan yang berbeda dengan pendapat tersebut di atas.

 

II.    Hukum kepailitan vs hukum jaminan

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Dalam konteks kepailitan, kita mengenal prinsip Paritas Creditorum dan prinsip Pari Passu Prorata Parte[5]. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor dilakukan tidak sekedar sama rata, melainkan juga disesuaikan dengan proporsinya. Singkatnya, kreditor yang memiliki tagihan lebih besar akan mendapatkan porsi pembayaran yang lebih besar dari pada kreditor yang tagihannya lebih kecil. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte menemukan relevansinya dalam kondisi harta debitor yang akan dibagi lebih kecil dibanding dengan jumlah utang-utang debitor.

 

Persoalannya, bagaimana dengan kreditor pemegang jaminan kebendaan? Dasar hukum jaminan adalah perjanjian pemberian jaminan kebendaan antara debitor dan kreditor dengan tujuan menjamin pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang debitor kepada kreditor. betapa tidak adilnya seorang kreditor yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan seorang kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan. Bukankah maksud adanya lembaga jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan tersebut? Jika pada akhirnya disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor pemegang jaminan kebendaan dan unsecured creditor, maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi. Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang diberikan keistimewaan dalam pelunasan piutangnya. Jika kedudukannya disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang-undang, maka untuk apa undang-undang melakukan pengaturan tersebut?[6] Bila tidak ada cara untuk mempertemukan kepentingan masing-masing, maka dipastikan akan terjadi benturan kepentingan antara hukum kepailitan dan hukum jaminan.

 

Prinsip Paritas Creditorum dan prinsip Pari Passu Prorata Parte dalam praktek kepailitan belum lengkap dan adil, jika tidak disandingkan dengan prinsip Structured Creditors. Dikatakan belum lengkap dan adil karena kedua prinsip ini baru mengatur tentang aturan dasar pembagian harta kekayaan debitor terhadap para kreditor dalam kelas yang sama. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dan kreditor yang memiliki hak istimewa[7] belum terproteksi. Penerapan prinsip Structured Creditors dalam praktek kepailitan, menjadi solusi dari benturan antara prinsip hukum kepailitan dengan prinsip hukum jaminan dan hukum lain yang memberikan keistimewaan tertentu pada kreditor sebagaimana dimaksud di atas.  Ada 2 Implikasi dari penerapan Prinsip Structured Creditors. Pertama, pengaturan tentang pengelompokan kreditor berdasarkan kelas masing-masing kreditor. UUK mengklasifikasikan kreditor  dalam 3 kelas, yaitu: a) Kreditor separatis atau secured creditors; b) Kreditor preferen atau preferred creditors; c) Kreditor konkuren atau unsecured creditors. Kedua, pengaturan tentang tata cara dan prioritas penyelesaiannya.

 

Berdasarkan pasal 55 ayat (1) UUK, kreditor separatis tidak perlu khawatir bilamana debitornya dinyatakan pailit oleh suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Frasa seolah-olah tidak terjadi kepailitan, tidak berarti bahwa benda yang diikat dengan jaminan kebendaan tertentu menjadi kebal dari kepailitan (Bankrupcty Proof). Benda tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit[8], namun kewenangan eksekusinya diberikan kepada kreditor pemegang jaminan kebendaan tersebut. Inilah dasar hubungan hukum antara hukum kepailitan dan hukum jaminan.

 

Perlindungan atas hak eksekutorial kreditor separatis telah ada sejak periode Stb. 1905 Nomor 217 jo Stb. 1906 No. 348 tentang Faillissementsverordening (selanjutnya disebut FV), sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) dan (3) FV[9]. Pengaturan tersebut masih tetap diikuti dalam Perpu nomor 1 tahun 1998[10], UU No. 4 tahun 1998[11], maupun UU No. 37 tahun 2004[12]. Dari sini nampak jelas, para pembentuk undang-undang kepailitan memberikan penghormatan yang cukup tinggi terhadap eksistensi hukum jaminan, khususnya hak eksekutorial kreditor separatis.

 

III.       Jangka waktu pelaksanaan eksekusi jaminan kebendaan

Hak eksekutorial kreditor separatis untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang agunan milik debitor tidak tak berakhir. Menilik dari sejarah hukum kepailitan di Indonesia, keleluasaan kreditor separatis untuk melaksanakan hak eksekutorial terhadap jaminan kebendaannya diberikan hingga jangka waktu 2 bulan sesudah insolvensi dan dapat diperpanjang berdasarkan penetapan hakim pengawas[13]. Berbeda dengan penulis, H. Man S. Sastrawidjaja, dalam bukunya Hukum kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, hal. 36, mengartikan anak kalimat  pasal 56 ayat (1) FV, yaitu: sesudah keadaan tak mampu membayar bermulai, sebagai sebelum putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan.

 

Menurut hemat penulis, pendapat tersebut tidak tepat. Menurut rezim kepailitan yang berlaku pada masa FV-dan masih dianut oleh hukum kepailitan Indonesia-, putusan pernyataan pailit tidak selalu berarti debitor pailit tidak mampu membayar utang, tetapi bisa jadi karena debitor pailit tidak mau membayar utang[14]. Oleh karena itu, keadaan tak mampu membayar sebagaimana dimaksud pasal 56 ayat (1) FV, harus diartikan sebagai keadaan insolvensi.

 

Sejak kapan kreditor separatis boleh melaksanakan hak eksekutorialnya? FV tidak memberikan pedoman yang jelas. Oleh karena itu, dalam konteks kepailitan, harus diterjemahkan sejak utang yang dijamin dengan jaminan kebendaan tersebut jatuh tempo dan dapat ditagih, yang tidak lain dan tidak bukan, adalah pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan.  Timeframe-nya dapat dilihat pada Bagan-1 terlampir.

 

Pada masa Perpu No. 1 tahun 1998, diperkenalkan lembaga stay, yaitu penangguhan pelaksanaan hak eksekutorial kreditor separatis selama 90 hari sejak putusan pernyataan pailit diucapkan[15]. Menurut Fred B. G. Tumbuan, maksud diadakannya lembaga penangguhan pelaksanaan hak kreditur separatis adalah untuk memungkinkan kurator mengurus budel pailit secara lebih teratur untuk kepentingan semua pihak yang tersangkut kepailitan[16]. Dalam perkembangannya, lembaga stay tetap dipertahankan sebagaimana termaktub pada pasal  56A UU No. 4 tahun 1998, sedemikian dalam pasal 56 ayat (1) UUK. Hanya saja, tujuan adanya lembaga stay lebih luas sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 56 ayat (1) UUK,  dikutip sebagai berikut:

  1. untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau
  2. untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau
  3. untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.

 

Dengan menggunakan Historical interpretation, maka telah terjadi perubahan dalam hal jangka waktu pelaksanaan hak eksekutorial kreditor separatis. Semula, berdasar FV, dimulai sejak putusan pernyataan pailit diucapkan hingga 2 bulan sesudah insolvensi. Selanjutnya dengan diperkenalkannya lembaga stay oleh Perpu No. 1 tahun 1998, yang diikuti berturut-turut oleh UU No. 4 tahun 1998 serta UUK, dimulai pada hari ke-91, yaitu setelah jangka waktu penundaan menurut pasal 56 ayat (1) UUK hingga 2 bulan sesudah insolvensi[17]. Setelah itu, tentu saja, kreditor separatis boleh melaksanakan hak eksekutorialnya terhadap barang agunan piutangnya, tidak peduli apakah debitor pailit sudah dinyatakan insolvensi atau belum, tidak peduli apakah masih dimungkinkan perdamaian atau tidak.

 

Secara a contrario, kehadiran lembaga stay sebagaimana dimaksud pasal 56 ayat (1) UUK adalah untuk menunda kewenangan kreditor separatis melaksanakan hak eksekutorialnya sejak putusan pernyataan pailit hingga jangka waktu 90 hari. Oleh karena itu, jika pasal 56 ayat (1) UUK tidak hadir, maka logikanya kreditor separatis dapat melakukan eksekusi sendiri sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, karena tidak ada penundaan. Tetapi karena ditunda, maka hak eksekutorialnya baru dapat dilaksanakan setelah penundaan berakhir, yaitu pada hari ke-91 sejak putusan pernyataan pailit. Di sinilah, jangka waktu 90 hari menemukan konteksnya.

 

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pasal 56 ayat (1) UUK dihubungkan dengan pasal 59 ayat (1) UUK, diketahui bahwa jangka waktu kreditor separatis untuk melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri adalah dimulai pada hari ke-91 sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, atau lebih cepat sepanjang ada penetapan hakim pengawas yang mengangkat penangguhan tersebut berdasar pasal 58 ayat (1) UUK, dan berakhir 2 bulan sesudah insolvensi.

 

Berdasarkan uraian di atas, maka time frame-nya dapat dilihat pada Bagan-2 terlampir. Atau, apabila terdapat penetapan hakim pengawas yang mengangkat penangguhan sebelum 90 hari sebagaimana dimaksud pasal 58 ayat (1) UUK, maka time frame-nya dapat dilihat pada Bagan-3 terlampir.

 

Jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas dapat diakhiri lebih cepat, dalam hal: 1) terdapat penetapan hakim pengawas yang menetapkan mengangkat penangguhan tersebut[18] 2) berakhir demi hukum dalam hal kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi[19].

 

IV.  Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang penulis sampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pasal 55 ayat (1) UUK memberi wewenang kepada kreditor separatis untuk melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri berdasarkan titel eksekutorial yang melekat pada setiap benda yang dibebani jaminan kebendaan tertentu. Kewenangan tersebut dimulai pada hari ke-91 sejak putusan pernyataan pailit diucapkan hingga 2 bulan setelah debitor pailit dinyatakan dalam keadaan insolvensi.

 

Mengingat jangka waktu yang diberikan oleh UUK kepada kreditor separatis untuk melaksanakan hak eksekutorialnya terhitung sempit, terlebih apabila keadaan insolvensi dimulai lebih cepat, ada baiknya kreditor separatis segera mempersiapkan kelengkapan administratif yang menjadi syarat eksekusi segera setelah debitor pailit dinyatakan pailit, seperti: 1) permohonan bantuan penjualan barang jaminan melalui lelang pada Kantor Kelayanan Kekayaan Negara dan Lelang atau balai lelang swasta; 2) mengajukan permohonan Surat keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) pada Kantor Pertanahan setempat. Dengan demikian, pada waktu yang diberikan oleh UUK untuk melaksanakan eksekusi dimulai, kreditor separatis tidak lagi membuang waktu untuk mempersiapkan syarat-syarat tersebut dan siap untuk melakukan pelelangan barang agunan.

 

----------

*) Penulis adalah Advokat, Kurator & Pengurus pada Kantor Advokat & Konsultan Hukum Yan Apul & Rekan.

 

DAFTAR BACAAN:

 

I.             Buku

1.                                      Fuady, Munir, (2002), Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung.

2.                                      Lontoh, Rudhy A. (ed.), (2001) Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung.

3.                                      Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, (2003), Hak Tanggungan, Rajawali Pers, Jakarta.

4.                                      Muljadi, kartini dan Gunawan Widjaja, (2003), Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Rajawali Pers, Jakarta.

5.                                      Sastrawidjaja, Man S., (2006), Hukum kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung.

6.                                      Satrio, J., (2007), Hukum Jaminan Hak Jaminan kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

7.                                      Shubhan, M. Hadi, (2008), Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada media Group, Jakarta.

8.                                      Yuhassarie, Emmy (ed.), (2005), Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta.

 

II.          Perundang-undangan:

1.      Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW).

2.      Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) S. 1848-16 jis. S. 1849-63, S. 1929-559/496, S. 1941-44.

3.      Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) S. 1905-217 jo. S. 1906-348.

4.      Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang kepailitan.

5.      Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang kepailitan Menjadi Undang-undang.

6.      Undang-undang No. 37 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

7.      Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.

8.      Undang-undang No. 16 tahun 2000  sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan

9.      Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Ketenagakerjaan

 

 

 

[4] Dalam penjelasan UUK, bagian Umum, alinea 12, dijelaskan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, antara lain sbb:

a.     untuk menghindari perebutan harta debitor antara para kreditor;

b.     menghindari adanya kreditor separatis yang melaksanakan hak eksekutorial tanpa memperhatikan kepentingan debitor maupun kreditor lain;

c.     menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.

[5] Peraturan kepailitan merupakan pelaksanaan dari pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata

[6] M. Hadi Shubhan (2008), Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada media Group, Jakarta, Hal. 31.

[7] Pasal 60 UUK menjelaskan yang dimaksud kreditor yang diistimewakan adalah kreditor  pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 1139 dan pasal 1149 KUH Perdata

[8] Pasal 21 UUK jo pasal 56 ayat (3) berikut penjelasannya

[9] Pasal 56 ayat (1) dan (3) FV, mengatur demikian:

(1) Setiap berpiutang hipotik, yang telah membuat janji sebagai tersebut dalam pasal 1178 Kitab Undang-undang Hukum perdata, begitu pula setiap pemegang gadai, dibolehkan melaksanakan hak-hak mereka, seolah-olah tiada kepailitan.

(3) Begitupun setiap pemegang ikatan-panenan dibolehkan melaksanakan haknya, seolah-olah tiada kepailitan.

[10] Pasal 56 Perpu No. 1 Tahun 1998

[11] Pasal 56 UU No. 4 Tahun 1998

[12] pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004

[13] Pasal 57 ayat (1) FV, dikutip sbb:

Si berpiutang hipotik dan si pemegang gadai, termaksud dalam pasal yang lalu, diharuskan melaksanakan hak mereka sebelum lewat waktu dua bulan, sesudah keadaan tak mampu membayar bermulai, dengan tak mengurangi kekuasaan Hakim pengawas, untuk memperpanjang jangka waktu tersebut

[14] Pasal 1 ayat (1) FV menyebutkan salah satu syarat dinyatakan pailit adalah debitor dalam keadaan telah berhenti membayar utang. Pengertian telah berhenti membayar utang, bisa jadi 2,yaitu: 1) tidak mampu membayar; atau 2) tidak mau membayar.

[15] Pasal 56A Perpu No. 1 tahun 1998

[16] Fred B. G. Tumbuan (2001), Pokok-pokok Undang-undang Tentang Kepailitan Sebagaimana diubah oleh PERPU No. 1/1998, dalam Rudhy A. Lontoh (ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, Hal. 128.

 

[17] Pasal 59 ayat (1) UUK, dikutip sbb:

Dengan tetap memperhatikan ketentuanpasal 56, pasal 57 dan pasal 58, kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolven sebagaimana dimaksud dalam pasal 178 ayat (1)

[18] Lihat pasal 58 ayat (1) UUK

[19] Lihat pasal 57 ayat (1) UUK



[1] Insolvensi dapat terjadi karena hal-hal sbb:

a.        Berdasarkan pasal 178 (1), insolvensi terjadi karena: 1) dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian; 2) rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima; 3) pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;

b.        Berdasarkan pasal 175 (1) dan (2), insolvensi terjadi karena adanya pembatalan perdamaian sebagaimana dimaksud pasal 172 (1);

c.        Berdasarkan pasal 292 berikut penjelasannya, diatur bahwa suatu putusan pernyataan pailit yang diputuskan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 285, pasal 286 dan 291 mengakibatkan harta pailit debitor langsung berada dalam keadaan insolvensi.

Namun demikian, belum jelas apakah suatu putusan pernyataan pailit yang diputuskan berdasarkan ketentuan pasal 230 (1) dan pasal 255 (6) UUK juga menyebabkan harta pailit debitor langsung berada dalam keadaan insolvensi. Mengenai hal tersebut akan dibahas dengan tulisan tersendiri.

[2] Pendapat yang demikian penulis jumpai dalam beberapa diskusi, baik formal maupun informal, antara beberapa Kurator dan Pengurus. Selain itu, dapat dilihat dari pendapat Imam Nasima & Eryanto Nugroho (2008), Pembayaran upah Buruh dalam Proses Kepailitan, rubrik Kolom, Hukum Online, edisi Selasa, 26 Agustus 2008.

[3] Dalam praktek, sering dijumpai modal kerja utama debitor pailit, semisal: tanah dan bangunan pabrik, tanah dan bangunan kantor atau mesin-mesin telah dibebani dengan hak-hak jaminan kebendaan seperti hak tanggungan atau fidusia.

Tags: