Hakim MK Beri Saran untuk Pengujian Aturan SIM/STNK
Berita

Hakim MK Beri Saran untuk Pengujian Aturan SIM/STNK

Majelis mengingatkan agar perumusan dalil permohonan dilakukan secara hati-hati karena menyangkut kewenangan lembaga lain.

ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim MK Beri Saran untuk Pengujian Aturan SIM/STNK
Hukumonline
Sejumlah warga negara dan lembaga yang tergabung dalam Koalisi untuk Reformasi Polri (Koreksi) mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) terkait kewenangan Polri menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan(STNK).

Tercatat sebagai pemohon yakni Alissa Q. Munawaroh Rahman, Hari Kurniawan, Malang Corruption Watch (MCM), YLBHI), PP Pemuda Muhammadiyah. Mereka mensasar Pasal 15 ayat (2) huruf b, c UU Polri dan Pasal 64 ayat (4), (6); Pasal 67 ayat (3); Pasal 68 ayat (6); Pasal 69 ayat (2), (3); Pasal 72 ayat (1), (3); Pasal 75, Pasal 85 ayat (5); Pasal 87 ayat (2); dan Pasal 88 UU LLAJ.

Mereka berdalih tugas menerbitkan SIM bukanlah tugas dan fungsi Polri yang sesungguhnya. Karenanya, para pemohon meminta pasal-pasal yang menyangkut frasa “Polri” dan “Peraturan Kapolri” dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “Kementerian Perhubungan” dan “Peraturan Menteri Perhubungan” karena bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

“Menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf b, c UU Polri bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 64 ayat (4), (6) UU LLAJ khususnya frasa ‘Kepolisian Negara Republik Indonesia’ bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Kementerian Perhubungan Republik Indonesia’..,” ujar kuasa hukum pemohon, Erwin Natosmal Oemar dalam sidang perdana yang diketuai Manahan MP Sitompul di gedung MK, Kamis (6/8).

Kuasa hukum lainnya, Julius Ibrani beralasan sesuai Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 sudah diatur jelas tugas dan fungsi Polri yang ditempatkan dalam Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara. Beleid itu menyebutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

“Jadi, menerbitkan SIM/STNK bukan bagian dari tugas Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Dampak kewenangan ini masyarakat tidak terlayani, penegakan hukum disalahgunakan, dan cenderung korupsi,” ungkap Julius.

Menurutnya, pembagian tugas administrasi pemerintahan yang baik, wewenang mengeluarkan peraturan, menjalankan, dan menindak seharusnya tidak berada pada instansi yang sama. Sebab, dalam penerbitan SIM selama ini, Polisi memegang kewenangan mulai menjalankan hingga menindak bahkan membuat pengaturan secara terbatas.

Apalagi secara historis, lanjutnya, wewenang Polri yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1965tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya tidak memberi kewenangan menerbitkan SIM kepada Polri. Setelah itu, wewenang penerbitan SIM diberikan kepada Polri sejak berlakunya UU No. 28 Tahun 1997tentang Kepolisian. Untuk itu, penerbitan SIM dan penyelenggaraan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor seharusnya menjadi wewenang Kementerian Perhubungan.

“Sejarah wewenang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor merupakan wewenang pemerintah daerah, dan di beberapa negara wewenang ini diberikan kepada departemen transportasi dan angkutan darat. Karena itu, tugas penerbitan SIM/STNK oleh Polri tidak relevan dan bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945,” tegasnya.

Menanggapi permohonan, anggota majelis, Suhartoyo, mengatakan belum melihat kerugian hak konstitusional yang dialami para pemohon. “Kalau ada kasus konkrit bisa lebih mudah melihat kerugian konstitusionalnya. Mungkin karena pemohon mewakili kepentingan umum dan pembayar pajak. Ini harus dipertajam sehingga memperkuat legal standing para pemohon, sehingga substansinya bisa dipertimbangkan MK,” kata Suhartoyo.

Anggota majelis lainnya, Patrialis Akbar mengingatkan agar perumusan dalil permohonan dilakukan secara hati-hati karena menyangkut kewenangan lembaga lain. Sebab, dalam posita permohonan diuraikan dampak kewenangan ini masyarakat tidak terlayani, penegakan hukum disalahgunakan, dan cenderung korupsi. “Kalau ini fakta buktikan, jadi bukan bersifat asumsi. Ini juga untuk menghindari agar lembaga lain tidak tersinggung,” katanya.

Majelis juga meminta agar argumentasi dari sisi ketatanegaraan diperkuat, seperti sempat disinggung tugas pengurusan SIM/STNK tidak diatur dalam konstitusi. Namun, pemaknaan tugas pengurusan SIM/STNK dialihkan ke lembaga lain harus dielaborasi lagi dari sisi penyelenggaraan pemerintahan negara. “Karena tugas Kementerian Perhubungan juga tidak diatur dalam konstitusi. Ini agar equal membandingkan ini dan lebih wise (bijaksana),” ujarnya mengingatkan.
Tags:

Berita Terkait