Hanna Azkiya: Jangan Minder Duluan Melihat Lawyer Asing
Terbaru

Hanna Azkiya: Jangan Minder Duluan Melihat Lawyer Asing

Sudah lama hukum Indonesia dicap negatif. Tetapi siapa sangka, di tengah pandangan negatif itu salah seorang mahasiswa hukum Indonesia mengukir prestasi internasional. Namanya Hanna Azkiya.

M-3
Bacaan 2 Menit
Hanna Azkiya: Jangan Minder Duluan Melihat Lawyer Asing
Hukumonline

 

Kemenangan Anda sampai juga ke Menteri Hukum dan HAM, dan Anda dijanjikan untuk dipertemukan dengan Presiden. Perasaan Anda?

Saya amazed. Alhamdulillah banget Beliau mau mengatakan seperti itu. Tapi, saya sendiri belum dihubungi (untuk pertemuan dengan Presiden). Jadi saya tidak tahu apakah akan terjadi atau nggak.

 

Anda berharap bisa bertemu?

Nggak juga. Tapi keren juga sih ketemu presiden. Tapi berharap banget sih nggak.

 

Bagaimana perasaan Anda terpilih jadi The Best Oralist in the World dalam kompetisi bidang hukum?

Sistem penilaiannya kan dinilai dari style, pengetahuan, dari how you argue your case, sepersuasif apa anda dan macam-macam. Memang  pas rondenya, saya selalu mendapat respon baik dari judges di setiap evaluasi saat berakhirnya ronde. Ketika itu para juri akan memberi tahu peserta bagian mana yang harus dikoreksi atau ditambahi. Oralist yang bagus nilainya harus 91-100. Ketika malam pengumuman, saya tidak berharap apa-apa karena kita sudah tidak masuk 30 besar. Saya tidak berani berharap. Tapi ketika mereka mulai mengumumkan  top ten best oralist, saya tanpa sadar dalam hati mulai bernadzar kalau masuk nomor sepuluh saja saya mau puasa tujuh hari. Waktu diumumkan oralist urutan sepuluh, sembilan, delapan harapan saya udah runtuh. Waktu pembawa acara mengumumkan nomor satunya, From Indonesia, saya ama Fedra (anggota tim dari Indonesia—red) saling pandang. …Team 868, begitu diumumkan. Saya sampai lupa kalau itu nomor UI. Sampai akhirnya nama saya dipanggil, saya bengong, terus baru maju. Nggak pernah saya bayangkan akan menang.

 

Anda menenggelamkan nama anak-anak yang lain di dalam tim Indonesia?

Menurut saya itu salah karena saya datang ke Jessup dalam sebuah tim. Jadi salah jika ada yang datang minta info hanya datang ke saya, karena lebih bagus kalau misalnya dapat pendapat tim saya yang lain karena tanpa mereka saya tidak mungkin mendapatkan penghargaan itu. Kami kan kerja bareng, capeknya bareng, senangnya bareng. Jadi ini juga buat mereka, bukan cuma buat saya pribadi.

 

Anda merasa gelar internasional itu jadi beban?  

Berat sih. Kalau di kampus saya kan tidak terlalu aktif. Orang juga tidak banyak tahu saya siapa. Tapi terus nama saya tiba-tiba disebut-sebut. Yang saya takutkan orang terlalu menaruh banyak harapan sedangkan saya tidak mampu memenuhi harapan tersebut.

 

Bagaimana reaksi peserta lain ketika tahu orang Indonesia menang?

Menurut saya mereka kaget dan merasa aneh. Apalagi karena saya pake jilbab. Mungkin orang pikir saya langsung disamperin (diselamati), padahal baru kemudian beberapa orang memberikan selamat. Menurut saya mereka tidak menyangka kalau tim Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara yang lain.

 

Sebenarnya dalam kompetisi itu, apa tema yang diangkat?

Tahun ini tentang organisasi internasional. Tentang hak dan kewajiban negara anggota organisasi tersebut kepada negara yang bukan anggota. Mirip-mirip kasus Turki dan Uni Eropa. Kasusnya ada negara berkembang yang mengambil resiko negaranya terpuruk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk dapat masuk. Tapi setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, dia tetap tidak boleh masuk. Selain itu, diuji apakah organisasi internasional dapat maju ke International Court of Justice padahal dia bukan negara. Juga ada masalah nasionalisasi. Memang tidak semenarik tahun lalu tentang isu perpecahan negara. Menurut saya terlalu ekonomi. Padahal kasus Jessup itu biasanya ada sisi humanitariannya. Tapi masalah capital flight ini juga cukup menarik karena baru-baru ini di Bolivia juga terjadi. Kasus yang saya pakai adalah NAFTA Tribunal. Memang banyak kasus lain, semuanya menarik. Sebab kita bisa melihat bahwa ternyata tidak semua keputusan mengacu pada putusan sebelumnya meskipun mereka punya peraturan mereka harus mengikuti.

 

Anda sempat minder?

Pastinya minder, karena saya secara pribadi memang orangnya gugupan, panik paranoid dan saya takut ketika pertama kali tiba di sana. Dalam briefing, saya melihat kayaknya nih para peserta lain pintar-pintar banget, mampu tidak ya kami mempertahankan kasus yang akan kami angkat. Cuma setelah itu saya pikir ya sudahlah. Saya juga tidak guna berpikir sampai ke situ. Lebih baik saya focus, dan do my best.

 

Menurut siapa lawan paling sulit dalam Moot Court kali ini?

Wakil Pensylvania dan Xiang Men. Pensylvania dari segi hukum mungkin tidak terlalu bagus tapi dari style-nya bagus, mereka kelihatan nyaman dan mampu menarik perhatian juri. Kalau Xiang Men, style tidak terlalu bagus, tapi hukumnya bagus banget. Bahkan ketika Indonesia sudah memberikan jawaban balik dia masih bisa membalas walau tidak benar sekali.

 

Apa pelajaran dari kemenangan Anda di kompetisi internasional itu?

Kalau kamu udah punya keinginan kamu harus siap untuk go for the long mile. Saya benar-benar harus mengorbankan banyak hal seperti kuliah. Tetapi karena saya berprinsip kalau saya mau hal ini, saya harus all out, tidak boleh setengah-setengah. Kalau saya setengah-setengah nanti kuliah saya kacau, ini juga kacau, ga bisa dong. Saya dari awal memang udah berdoa kalau misalnya ini baik untuk saya tolong mudahkan jalannya. Pelajaran yang lain adalah kalau kita yakin pada diri sendiri tidak ada yang tidak mungkin. Orang Indonesia kan mikirnya ketika melawan foreign lawyer atau foreign student sudah minder duluan. Sebenarnya tidak perlu begitu karena mereka juga banyak kekurangan dari segi hukum. Kita kan dari negara berkembang, akses hukumnya tidak terlalu banyak seperti mereka. Jadi mereka mungkin sudah lebih percaya diri. Tapi kita harus lebih terpacu, lebih semangat mencari kemana saja. Tahun ini untungnya tim kami dibantu oleh ILSA (International Law Student Association, penyelenggara Moot Court --red) sendiri. Kami diberi akses ke Lexis, West Law dan Hign Online. Di kampus UI kami hanya dapat West Law, padahal Hign Online juga tidak kalah penting karena di situ ada compendium Jessup dari tahun 1969 sampai sekarang. Itu berguna bagi kami karena dapat memperkirakan apa yang ada di Bench Memo (daftar pertanyaan Juri-red).

 

(Kemenangan Hanna cukup mengagetkan karena bisa mengalahkan peserta yang sehari-hari berbicara bahasa Inggris. Ketika kabar keberhasilannya sebagai best oralist sampai ke Indonesia, ada yang mengira kemampuan Hanna berbahasa Inggris lebih karena ia anak seorang diplomat. Hanna membantahnya. Bokap saya pegawai bank, nyokap ibu rumah tangga, ujarnya).

 

Ada perbedaan dengan mahasiswa lain?

English as their first language. Ini sedikit banyak pasti berpengaruh. Kalau tidak terbiasa kan mikir-mikir. Kebanyakan orang Indonesia terlalu terpaku pada grammar sehingga apa yang mereka ingin sampaikan tidak keluar-keluar. Kalau orang bule kan tidak perlu berpikir tinggal hukumnya saja. Kita jadi dua kali kerja. Beda sistem pendidikan Indonesia dan luar negeri menurut saya juga kelihatan di sana. Mereka kan punya kelas mooting sendiri, masuk SKS (sistem kredit semester). Kalau di luar, ICJ sistemnya Common Law, berdasarkan kasus/jurisprudensi. Jadi mereka lebih gampang untuk menganalisis kasus. Kita di Indonesia kan tidak terbiasa menganalisis kasus. Kita biasanya pakai undang-undang. Sedangkan mereka sudah terlatih baca kasus dan menganalisisnya. Kita kan jarang melakukan hal itu. Mereka juga bisa langsung tanya ke profesornya sebagai tuan rumah.

 

Optimis nggak mahasiswa hukum Indonesia bisa seperti itu?

Saya sih optimis. Sekarang sudah banyak kemajuan. Profesor Hikmahanto Juwana (dekan FH UI—red.) sudah menyediakan ruang khusus untuk latihan mooting.

 

Setelah lulus Anda mau jadi apa?  

Sebenarnya saya masih bingung. Saya tertarik untuk jadi arbitrator. Soalnya saya concern pada gender isu. Kalau jadi lawyer terlalu aktif buat saya, saya tidak yakin bisa. Tapi waktu masih fresh graduate sih tidak apa-apa, nanti kalau sudah lama saya bakal jadi konsultan hukum saja.

 

Bagaimana penilaian Anda tentang situasi hukum Indonesia?

It's a big thing. Tidak bisa cuma saya sendiri. It requires a bigger movement. Jadi saya mungkin belum bakal ke situ.

 

Penghargaan ini sudah cukup?

Saya tidak mengharapkan penghargaan sama sekali karena (kemenangan) ini totally unexpected. Alasan saya melakukan ini juga sebenarnya buat nanti saya S2 biar mudah karena IPK saya kecil dan saya tidak aktif di kampus. Sedangkan untuk dapat beasiswa IPK minimal tiga jadi saya cari apa yang memudahkan saya untuk dapat beasiswa? Makanya saya ikut mooting.

 

Tidak khawatir kuliah Anda kedodoran?

Itu hal pertama yang saya khawatirkan ketika mau gabung dengan ILMS. Kalau mau ikut kompetisi sudah deh jangan harap bisa. Memang ada beberapa orang yang bisa tapi itu memerlukan kerja keras. But, I don't think that I can do that. Jadi saya udah bilang ke ayah dari awal waktu minta izin, Pa, boleh nggak Hanna ikut kompetisi ini dengan konsekuensi kalau ikut, tidak lulus tepat waktu. Trus ayah saya bilang, Asal that's good for you ya sudah, do it!

 

Benarkah kemampuan Anda berbahasa Inggris lantaran Anda anak seorang diplomat?

Itu yang saya juga suka keselin. Banyak orang menyangka saya anak diplomat, dan kebetulan saya juga pernah tinggal di luar. Tapi, menurut saya bukan itu yang bikin saya bisa mengerti bahasa Inggris dengan baik. Memang di rumah ayah membiasakan pakai bahasa Inggris. Ibu juga selalu kasih video bahasa Inggris acara anak kecil, seperti Sesame Street dan Barneys. Terus saya juga dibiasakan baca buku bahasa Inggris, jadi nambah dari situ. Jadi kalau sekarang ada yang nanya ke saya Han. Ini grammarnya benar ga? saya juga ga bisa ngejelasin, tapi saya tahu Oh ini kayak begini karena saya biasa baca buku. Jadi tidak perlu ke luar negeri.

 

Anda merasa lebih mudah dapat kerja setelah jadi best oralist?

Ada sih yang sudah nawarin. Tapi saya sendiri tidak berharap diperlakukan spesial. Karena saya rasa pengetahuan hukum Indonesia saya kurang bagus.

 

Hanna, begitu ia disapa, tidak menunjukkan perubahan sikap ketika ditemui hukumonline beberapa waktu lalu. Seperti mahasiswa lain, ia sibuk mengikuti mata kuliah di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok. Padahal, Hanna baru saja memenangkan pertandingan internasional Philip C. Jessup Moot Court Competition. Ia terpilih sebagai the best oralist, mengalahkan lebih dari 200-an mahasiswa hukum dari berbagai negara dan kampus hukum ternama.

 

Gelar Best Oralist memang bukan sembarangan. Dalam kompetisi Jessup, oralist adalah peran pengacara yang menyampaikan argumentasi dan pertanyaan simultan yang dilontarkan oleh hakim. Argumentasi dan pertanyaannya juga lain dari pada yang lain karena pada dasarnya kompetisi ini adalah simulasi International Court of Justice yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Jauh berbeda dibanding pada acara peradilan Indonesia.

 

Berita kemenangan Hanna bukan hanya tertulis pada spanduk yang membentang di kampus UI Depok. Kabar itu juga sampai ke telinga Menteri Hukum dan HAM (sebelum diganti) Hamid Awaluddin. Sang menteri menjanjikan akan mempertemukan Hanna dengan Presiden. Bagaimanapun Hanna telah mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional dalam bidang hukum, suatu prestasi yang bertolak belakang dengan gambaran kebanyakan orang tentang hukum di Indonesia.

 

Berikut petikan perbincangan hukumonline dengan mahasiswa berjilbab ini di suatu siang, awal Mei lalu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: