HGB dan HPL masih Jadi Objek Silang Pendapat
Kasus Korupsi Hotel Hilton

HGB dan HPL masih Jadi Objek Silang Pendapat

Tiga mantan pejabat teras BPN menjadi saksi dalam kasus korupsi Hotel Hilton. Satu di antaranya dinilai telah memberikan kesaksian palsu.

CRH
Bacaan 2 Menit
HGB dan HPL masih Jadi Objek Silang Pendapat
Hukumonline

 

Dengan diterbitkannya HPL tersebut, kata Harjono, status tanah dikuasai langsung oleh negara. Karenanya, hak asasi pemegang HGB tidak diperkosa. Dengan adanya HPL, tambahnya, bukan HGB yang berubah, melainkan tanah negara.

 

Amir Syamsuddin, salah seorang kuasa hukum Pontjo Sutowo, mempermasalahkan SK BPN No. 169/HPL/BPN/89 yang tidak mencatumkan PT Indobuild Co sebagai pihak yang mendapat tembusan. Berarti ini menyalahi azas publisitas, tandasnya.

 

Ada delapan pihak yang menerima tembusan SK tersebut, yaitu Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Kepala Biro Keuangan BPN, Kakanwil BPN DKI Jakarta, Wali Kota Jakarta Pusat, Kepala Kantor Petanahan Jakarta Pusat, Kepala Kantor Perbendaharaan Negara, dan Kepala Kantor Kas Negara. Menurut Harjono, HPL tidak harus diberitahukan kepada PT Indobuild Co.

 

Saksi lain, Desrizal Kagindow, menyatakan bahwa penerbitan HPL harus diberitahukan kepada para pihak terkait. Dia sendiri tak tahu apakah pemberitahuan itu telah dilakukan atau tidak. Alasannya, saat perkara ini muncul, dia belum menjabat Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat

 

Sementara itu, ditemui saat rehat persidangan, OC Kaligis menjabarkan bahwa  sampai saat ini pemegang HPL belum membayar aset bangunan Hotel Hilton. Belum menyelesaikan dengan pihak para penjamin (Bangkok Bank dan BRI—red). Karena itu, HPL catat hukum, ujarnya.

 

Kaligis mendasarkan statemennya pada diktum keenam dan ketujuh SK BPN No. 169/HPL/BPN/89. Pada diktum ketujuh dinyatakan bahwa bidang-bidang tanah yang pada saat ini (tahun 1989—red) masih digarap oleh penduduk ataupun belum diselesaikan ganti ruginya dan termasuk di dalam lokasi yang dimohon Hak Pengelolaan, menjadi kewajiban penerima hak untuk menyelesaikan menurut ketentuan yang berlaku tanpa melibatkan badan pertanahan nasional.

 

Sidang dipimpin hakim Andriani Nurdin akan dilanjutkan 09 Januari 2007. Rencananya, mantan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin akan memberikan kesaksian.

 

Sidang lanjutan kasus korupsi Hotel Hilton dengan terdakwa Ali Mazi dan Pontjo Sutowo di PN Jakarta Pusat, Selasa (28/11), diwarnai silang pendapat antara saksi dengan tim kuasa hukum para terdakwa terkait dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) No. 26/ Gelora dan No. 27/Gelora atas nama PT Indobuild Co dan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama Sekretariat Negara RI cq Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Senayan.

 

Ketiga saksi yang dihadirkan JPU dalam persidangan adalah Desrizal Kagindow  dan Ahmad Roni—keduanya mantan Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat—serta Harjono Suhadi, mantan Kepala Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta.

 

Ahmad Roni menceritakan, pada tahun 1999, Ali Mazi menemuinya untuk mengurus perpanjangan HGB No. 26/Gelora dan No. 27/Gelora. Hanya, Roni tidak tahu apakah ketika itu Ali Mazi menjalankan kuasa dari Pontjo Sutowo selaku seorang advokat atau tidak. Yang saya ingat, waktu itu Pak Ali Mazi memakai jas warna hitam, ujarnya, yang langsung disambut tawa pengunjung.

 

Setelah mengetahui maksud kedatangan Ali Mazi ke kantornya untuk mengurus perpanjangan HGB tersebut, Roni mempersilahkan Ali Mazi untuk meminta rekomendasi dari pemegang HPL, yaitu Sekretariat Negara RI cq Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Senayan.

 

Teguh Samudera, salah seorang kuasa hukum Ali Mazi, lalu mempertanyakan darimana Roni tahu kalau untuk melakukan perpanjangan HGB harus mendapat rekomendasi dari pemegang HPL. Roni  mengaku mengetahuinya dari buku tanah BPN Jakarta Pusat pada tahun 1988. Kontan saja, Teguh Samudera menilai Roni telah memberikan kesaksian palsu karena SK tentang HPL itu baru ditetapkan pada tahun 1989.

 

Sementara itu, saksi Harjono Suhadi menjabarkan bahwa sepanjang pengetahuannya, HPL diterbitkan setelah HGB yang pertama berakhir, yaitu 04 Maret 2003. Meskipun ditetapkan pada tahun 1989, HPL itu berlaku efektif sejak 05 Maret 2003, tegasnya.

Tags: