Hukum Kepailitan Dinilai Reduksi Hukum Jaminan Kebendaan
Berita

Hukum Kepailitan Dinilai Reduksi Hukum Jaminan Kebendaan

Kurator meminta agar hak kreditor separatis tidak direduksi.

HRS
Bacaan 2 Menit
Hukum Kepailitan Dinilai Reduksi Hukum Jaminan Kebendaan
Hukumonline
Kurator asal Surabaya Yulianto mengatakan kreditor pemegang jaminan kebendaan seringkali dirugikan dengan tindakan hukum kepailitan. Prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan telah menghilangkan prinsip-prinsip hukum jaminan kebendaan.

“Hal ini terlihat dari dua hal, yaitu inkonsistensi di norma hukum kepailitan itu sendiri dan norma yang berkaitan dengan pemberesan terhadap harta pailit yang diberikan jaminan kebendaan,” tutur Yulianto kepada hukumonline usai seminar nasional “Strategi Mengatasi Ancaman Kepailitan terhadap Perusahaan Solven” di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Senin (10/3).

Yulianto pun membeberkan beberapa pasal yang inkonsistensi di tubuh hukum kepailitan tersebut. Ada banyak pasal yang saling bertentangan, seperti Pasal 55 ayat (1) dengan Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan telah mengatur bahwa kreditor separatis mempunyai hak untuk mengeksekusi sendiri jaminannya seolah-olah tidak terjadi pailit. Namun, kewenangan ini direduksi dengan Pasal 56 UU Kepailitan, yaitu penjualan harus ditangguhkan selama 90 hari.

Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan juga dianggap tidak berfungsi karena ada Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan. Pasal 59 ayat (1) tersebut mengatur bahwa batas waktu untuk melakukan penjualan sendiri adalah selama dua bulan sejak debitor dinyatakan dalam keadaan insolven. Jika lewat dari dua bulan, seluruh agunan harus diserahkan kepada kurator. Ketentuan ini menurut Yulianto tak masuk akal. Sebab, menjual benda-benda jaminan dalam waktu dua bulan tidaklah mudah.

Selain pasal-pasal tersebut, inkonsistensi juga terlihat dari Pasal 21 dengan Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan tentang penyerahan jaminan pihak ketiga. Pasal 55 ayat (1) dengan Pasal 34 UU Kepailitan tentang tidak berlakunya kuasa pembebanan jaminan; Pasal 55 ayat (1) dengan Pasal 60 ayat (2) UU kepailitan tentang ada kreditor-kreditor lain di atas kreditor separatis, dan ketentuan Pasal 55 ayat (1) yang direduksi dengan Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan tentang upah buruh yang dikategorikan sebagai utang harta pailit sehingga kedudukannya di atas kreditor separatis.

“Ini masalah sikap. Dalam praktik saya bela kreditor separatis. Makanya, banyak gugatan-gugatan kepada saya. Anehnya lagi, putusan Mahkamah Agung itu juga mendua. Ada yang membela hukum jaminan kebendaan, tapi 80 persen itu membela kepailitan,” lanjutnya.

Sikap Yulianto yang lebih membela separatis karena ia merujuk kepada konsep dari kreditor separatis itu sendiri. Artinya, kreditor separatis tersebut terpisah dari kreditor-kreditor lain. “Kita harus ingat mengapa kreditor separatis dinamakan itu. Artinya, dia memisahkan diri, kan,” urainya.  

Ketika ditanya tentang prinsiplex specialist derogat lex generalis, Yulianto membenarkan jika hukum kepailitan bersifat khusus terhadap hukum jaminan kebendaan. Akan tetapi, kekhususannya hanya terdapat dalam proses-prosesnya saja, seperti prosesnya yang sederhana, cepat, tidak ada banding. Sedangkan tentang prinsip proporsional, keadilan, dan hak separatis, hal-hal tersebut tidak boleh direduksi. Pasalnya, jika hak separatis tereduksi, perbankan akan berpikir dua kali untuk mengucurkan kredit. Sebab, perbankan baru mau memberikan kredit jika debitor memberikan jaminan sebagai tanda akan melunasi utang-utangnya. Jika perbankan sudah “malas”, perekonomian suatu negara akan melambat.

“Hak separatis itu tidak boleh direduksi. Kalau direduksi, hukum jaminan kebendaan itu tidak berarti.  Jika ini terus terjadi, akhirnya runtuh perekenomian,” pungkasnya.

Jika Yulianto memilih sikap pro hukum jaminan kebendaan, tidak demikian halnya dengan Pengajar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga M Hadi Subhan.

Hadi Subhan mengatakan jika terjadi pertentangan prinsip kepailitan dengan prinsip hukum jaminan kebendaan, yang diutamakan adalah prinsip hukum kepailitan. Lex specialist derogat lex generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum). Inilah alasan utamanya.

Menurutnya, kepailitan ini adalah mekanisme penagihan utang yang tak wajar. Hukum Kepailitan diibaratkan seperti undang-undang darurat. Karena dipersamakan dengan keadaan darurat, norma-norma kepailitan akan mengecualikan hukum-hukum yang “normal”. “Dia (hukum kepailitan, red) akan mengecualikan hukum yang normal, termasuk hukum jaminan, hukum perusahaan, dan hukum perburuhan. Kalau hukum-hukum itu ditegakkan sepenuhnya, maka ga akan terjadi kepailitan,” tuturnya.

Terkait dengan berkurangnya “jatah” yang diterima kreditor separatis lantaran harus berbagi dengan kreditor lainnya, Hadi mengatakan untuk tidak serakah. Kepailitan itu hartanya memang harus dibagi bersama dengan kreditor lain, sesuai dengan prinsip pari passo pro rata parte. Lebih lagi, Hadi mengatakan debitor perbankan yang mengalami kepailitan juga tak lebih dari 1 persen sehingga perbankan tidak akan merugi banyak.

“Anggap aja itu risiko yang harus diikhlaskan saja karena 99 persen perusahaan yang jadi debitor perbankan kan tidak pailit,” tandasnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, sejumlah pasal yang mengatur kedudukan kreditor separatis pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yakni, Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan yang dianggap oleh para buruh menabrak asas kepastian hukum dalam UUD 1945. Namun, MK memutuskan permohonan itu dinyatakan tidak dapat diterima, dengan berargumen bahwa aturan dalam pasal-pasal itu sudah jelas.
Tags:

Berita Terkait