IDB Mengusulkan Adanya RUU Jasa Keuangan Syariah
Berita

IDB Mengusulkan Adanya RUU Jasa Keuangan Syariah

‘Pertimbangannya adalah untuk efisiensi dan kepraktisan.'

CR-2
Bacaan 2 Menit
IDB Mengusulkan Adanya RUU Jasa Keuangan Syariah
Hukumonline

 

Saat ini, kata Charmeida, ada tiga versi draf RUU Perbankan Syariah, yaitu dari ICMI, Asbisindo dan BI. Ia berpandangan, ini merupakan masukan yang bagus bagi anggota legislasi karena masing-masing draf usulan punya kelemahan dan kelebihan. Ia menilai ketiga draf ini bisa saja digabung, tapi yang perlu dipikirkan kaitannya adalah sistem keuangan dan sistem ekonomi.

 

Bank hanya sebagian kecil dari sistem ekonomi. Kalau bicara tentang sistem ekonomi, bank saja tidak cukup. Kalau itu disebut semua menjadi jasa keuangan syariah, ini cukup besar, tutur Charmeida.

 

Ia mengakui di Indonesia dan negara lain, bank memegang porsi cukup besar sebagai financial intermediary. Meskipun demikian, ucapnya, perkembangan modal ventural dan leasing cukup pesat dan punya nilai pada perkembangan ekonomi. Ia juga melihat isu double taxation pada produk syariah sebagai sesuatu yang harus diselesaikan di level ekonomi, dan tidak bisa sektoral.

 

Maka momentum ini nanti bisa menjadi bukan hanya RUU Perbankan Syariah saja tapi juga UU Jasa Keuangan Syariah, itu satu langkah yang maju. UU itu bisa mencakup jasa asuransi, pasar modal, leasing dan lembaga gadai. Jadi tidak perlu banyak UU, cukup satu saja, terang Charmeida.

 

Untuk kepastian hukum

Menanggapi usulan RUU Jasa Keuangan Syariah, staf ahli Direksi Bank Syariah Mandiri Iggi H Achsien menyatakan jasa keuangan syariah dapat menggunakan aturan konvensional yang sudah ada. Selain itu, lanjut Iggi, ada pula UU tentang lembaga keuangan nonbank yang diatur di Direktorat Jenderal lembaga Keuangan  Depkeu.

 

Kalau usulan ini akan membuat tambah lama, ya harus dipertimbangkan kembali. Lebih baik yang sekarang kan sudah jalan setengah, ya digolkan saja. Bank Syariah perlu legalitas dan legitimasi. Ini untuk investor dan penabung memiliki kepercayaan dan keamanan lebih tinggi, juga ada landasan kepastian hukum, paparnya.

 

Terhadap draf RUU Perbankan Syariah yang sedang disusun DPR, Iggi mengusulkan sebaiknya isinya ringkas, tidak terlalu detail membahas tentang produk jasa, karena dikhawatirkan akan membatasi ruang gerak di masa depan.

 

Tentang Dewan Syariah Nasional (DSN), Iggi menilai usulan BI yang menempatkan Komite Fatwa di bawah BI itu meniru Malaysia. Padahal market share bank syariah di Indonesia sudah dinilai sekitar 38 persen sementara Malaysia baru delapan persen. Oleh karena itu, lanjutnya, kalau Indonesia bisa lebih bagus, sebaiknya tidak perlu mencontoh Malaysia, sehingga Komite Fatwa tetap di bawah DSN.

 

Dari tiga draf yang sudah ada, kita tidak bisa bilang suka salah satu. Kalau kita lihat masing-masing saling menyempurnakan dan melengkapi. BI juga punya pertimbangan sendiri kenapa buat seperti itu, ujar Iggi.

 

Mengenai apakah RUU Perbankan Syariah ini akan mempercepat pertumbuhan perbankan syariah, Iggi menilai hal ini masih harus dilihat kembali. Namun, lanjut ia, setidaknya RUU ini dapat menjadi momentum.

 

Tergantung apakah ini bisa dimanfaatkan atau tidak. Tergantung yang nanti disahkan, dari sisi produk seperti apa, pengaturan produk dan pengawasan seperti apa.

 

Beberapa hal dalam RUU tersebut dinilai Iggi tidak terkait dengan bisnis bank syariah. Ia mencontohkan tentang apakah harus ada deputi gubernur syariah tersendiri. Demikian pula dengan perdebatan apakah fit and proper test dilakukan DSN-BI atau BI saja. Namun mengenai bentuk hukum PT, Iggi melihat hal ini akan jelas mempengaruhi, karena lebih fleksibel dan bisa melakukan penetrasi.

Perwakilan Islamic Development Bank (IDB) untuk Indonesia Charmeida Tjokrosuwarno menyatakan bahwa jika Indonesia hanya mempunyai RUU Perbankan Syariah, maka di kemudian hari akan perlu dibentuk UU Leasing Syariah, UU Asuransi Syariah, UU SUN Syariah, dan UU Pasar Modal Syariah. Secara politis, lanjut ia, itu akan membuat biaya transaksi tinggi dan tidak efisien.

 

Selain itu, kata Charmeida, di IFSB (Islamic Finance Service Board) terdapat UU Jasa Keuangan Syariah yang tidak hanya untuk bank syariah saja. Ia menjelaskan bahwa pertimbangannya adalah untuk efisiensi dan kepraktisan karena biaya transaksi terkait efisiensi.

 

Namun saya menyadari di Indonesia itu tidak mudah, karena terkait institusional di baliknya. Framework sebuah UU kan terkait dengan institusi apa, di Indonesia ada BI, Depkeu dan lembaga terkait, kata Charmeida seusai seminar sehari bertema Urgensi dan Peranan Bank Syariah Dalam Perekonomian Nasional (telaah atas RUU Perbankan Syariah) di Hotel Hilton, Jakarta, Rabu (28/12).

 

Masalahnya, kata dia, penentuan institusional juga tidak mudah. Ia mencontohkan asuransi dan jasa keuangan nonbank yang berada di bawah Depkeu. Sementara kalau bicara financial system, ada yang di bawah BI. Akibatnya, lanjut ia, hal ini tidak sustainable dan tidak efisien.

 

Tapi kalau itu satu, itu sangat efisien. Kalau tujuannya untuk masyarakat, ini akan menguntungkan masyarakat, efisien dan transaction cost juga efisien, tandasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: