Judicial Corruption Belum Tersentuh KPK
Berita

Judicial Corruption Belum Tersentuh KPK

Maraknya mafia peradilan, selain lemahnya sistem pengawasan MA, juga disebabkan oleh belum optimalnya peran KY dan KPK. Pimpinan KPK berdalih, sejauh ini belum ada laporan terkait judicial corruption.

ASh/Fat
Bacaan 2 Menit
<i>Judicial Corruption</i> Belum Tersentuh KPK
Hukumonline

 

Emerson menilai pengawasan internal di MA masih lemah. Ia menceritakan pengalaman ketika melaporkan suatu kasus dugaan suap di MA. Alih-alih ditindaklanjuti, pihak MA justru mempersoalkan kelengkapan bukti-bukti. Setelah kita melapor di bagian pengawasan MA, kita diminta untuk mencari bukti-bukti lain karena dianggap kurang kuat. Ini artinya, untuk mencari bukti-bukti lanjutan dia (MA, red) sangat mengandalkan bukti dari luar, jadi inisiatif mencari dan menginvestigasi itu tak kelihatan, jelasnya.      

 

Seperti flu babi

Dalam forum yang sama, Laica Marzuki mengatakan secara teoritis keberadaan internal control di MA merupakan hal bagus dan berguna sekali. Karena ia yang lebih mengetahui semua tikus, ada di gudang ini, ada di dapur ini, ujarnya. Tetapi pengawasan internal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masak sih jeruk makan jeruk, ujar, pria yang juga mantan hakim agung dan hakim konstitusi itu mengilustrasikan.

 

Meski saat ini telah ada Komisi Yudisial (KY). Namun lembaga itu, masih belum optimal menjalangkan fungsinya. Sebab, KY seringkali dalam mengawasi hakim melalui putusan pengadilan. Padahal kewenangannya menggelar seleksi calon hakim agung dan mengawasi perilaku hakim. Seringkali KY menanyakan kepada hakim terperiksa kenapa putusan bebas, kecuali jika ada bukti dua hari sebelum putusan dijatuhkan hakim yang bersangkutan bertemu di suatu tempat dengan pihak yang diuntungkan, jelasnya.          

 

Menurut Laica, untuk memberantas judicial corruption di peradilan tak hanya dimulai dari MA, tetapi KPK juga harus berperan mengupayakan hal ini. KPK harus masuk di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan MA. Ini kan strukturnya, sarannya. KPK harus memiliki whistle blower (pelapor korupsi) yang nantinya harus dilindungi secara hukum.

 

Sebagai seorang mantan hakim agung, Laica Marzuki tak membantah segala ‘borok' yang diungkapkan ICW. Namun, ia tak sepakat jika praktek judicial corruption dinamakan praktek mafia peradilan. Sebab, praktek peradilan bukan suatu tatanan terorganisir dari suatu kelembagaan mafia. Jadi judicial corruption itu adalah bagian suatu masyarakat yang sakit dan belum sempat dirawat. Itu hanya kumpulan hakim-hakim nakal, tetapi mereka tak terorganisir. Mereka (hakim-hakim nakal, red) seperti hal mengidap flu babi, selorohnya.

 

Di tempat terpisah Wakil Ketua KPK Haryono Umar membantah jika dikatakan KPK tak memprioritaskan penanganan judicial corruption di lembaga peradilan. Persoalannya, hingga kini belum ada laporan dan bukti-bukti yang masuk terkait soal itu, kalaupun ada laporan soal itu bisa saja ditindaklanjuti, ujar Haryono, ditemui di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Kamis (7/5). 

 

Menurut Haryono, sebenarnya KPK tidak pernah memilah-milah apakah sebuah kasus korupsi berasal dari lembaga eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Sebab, menurut UU KPK (UU No. 30 Tahun 2002, red) sepanjang dia penyelenggara negara atau penegak hukum, semua itu tetap bisa dilakukan KPK. Jadi sebenarnya tak ada masalah, imbuhnya.

Hampir tujuh tahun berkiprah, KPK sudah merambah kemana-mana. Parlemen yang sebelumnya tak tersentuh, kini menjadi langganan diperiksa oleh penyidik KPK. ‘Kegarangan' KPK sayangnya belum begitu terasa di ranah yudisial. KPK memang pernah mengusut kasus suap pegawai Mahkamah Agung (MA) yang dilakukan oleh advokat yang juga mantan hakim Harini Wijoso. Namun, kasus yang juga menyebut keterlibatan pengusaha Probosutedjo ini, hanya berhenti di level pegawai. Petinggi MA yang santer diduga ikut terlibat, luput dari jerat KPK.

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai langgengnya mafia peradilan, selain disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan internal yang dijalankan oleh MA dan belum optimalnya peran Komisi Yudisial (KY), juga ada kontribusi KPK. Komisi yang tengah dirudung masalah ini, terkesan ‘alergi' memasuki ranah peradilan. Kondisi ini bertolakbelakang dengan temuan KPK. Survei integritas KPK tahun 2008 menempatkan MA sebagai lembaga dengan skor integritas terendah.

 

Peran dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam soal ini kita dipertanyakan, ujar Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho dalam acara diskusi Praktek Korupsi dan Mafia Peradilan di Mahkamah Agung, Pencegahan dan Solusinya, Rabu lalu (6/5). 

 

Menurut Emerson, berdasarkan pemetaan awal ICW, ada beberapa aktor yang biasanya ‘bermain' dalam penanganan perkara di MA yakni hakim agung, pimpinan MA, asisten hakim agung, pegawai MA, dan advokat. Modusnya ada dua, yakni suap karena diperas atau atas inisiatif si pencari keadilan. Kadang si pencari keadilan bisa kita persalahkan karena umumnya tipikal masyarakat kita inginnya menang dengan menggunakan segala cara, tambahnya.

 

Ia menyebut terdapat lima pola korupsi di pengadilan, yakni pengaturan majelis hakim yang menguntungkan, penggunaan jasa advokat atau calo tertentu, pengaburan perkara, surat sakti MA, dan pemalsuan vonis. Kalau lawyer-nya x sudah pasti majelis hakimnya abc, ada kecenderungan asisten hakim agung mengaburkan perkara karena bacaan yang dibaca hakim agung adalah 'resume' yang dibuat asisten hakim, ada surat sakti dari Wakil Ketua MA bisa membatalkan putusan yang berkekuatan hukum, pemalsuan putusan sering terjadi dalam kasus narkoba yaitu putusan yang dibacakan berbeda dengan yang diterima, ujarnya mencontohkan masing-masing pola.                                     

 

Akar permasalahannya, selain proses rekrutmen hakim agung yang terkadang mengandung unsur tawar-menawar dengan DPR, lanjut Emerson, juga tak ada komitmen pimpinan MA sendiri untuk membenahi masalah ini. Kalau pimpinan MA mau serius selain memperkuat fungsi-fungsi pengawasan internal dan seharusnya MA bisa bekerja sama dengan KPK. Tetapi yang kita lihat tak seperti itu. Kalaupun dianggap punya komitmen itu di awal-awal masa jabatan saja, setelah itu kita pertanyakan, jelasnya.              

Tags: