ILUNI FHUI: Jokowi Gadaikan Jabatan Hukum untuk Balas Budi
Berita

ILUNI FHUI: Jokowi Gadaikan Jabatan Hukum untuk Balas Budi

proses penunjukan para pejabat di bidang hukum menimbulkan kesan ada “balas budi” dari Jokowi atas dukungan politik yang diterimanya ketika pemilu presiden.

RED
Bacaan 2 Menit
Ketua Umum ILUNI FHUI, Melli Darsa saat menyampaikan keterangan pers tentang Evaluasi 100 Hari Pertama Pemerintahan Jokowi-JK Di Bidang Hukum. Foto: AMR
Ketua Umum ILUNI FHUI, Melli Darsa saat menyampaikan keterangan pers tentang Evaluasi 100 Hari Pertama Pemerintahan Jokowi-JK Di Bidang Hukum. Foto: AMR
Perseteruan yang kembali terjadi antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut mengundang keprihatinan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI). Bersamaan dengan momen 100 hari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), ILUNI FHUI melontarkan sejumlah kritik dan catatan terkait agenda pemberantasan korupsi.

“Presiden Joko Widodo nampak telah menggadaikan jabatan-jabatan strategis di bidang hukum dalam rangka transaksi politik dan balas budi, sedangkan pemberantasan mafia hukum serta korupsi, kolusi dan nepotisme sama sekali belum diprioritaskan,” papar Melli Darsa, Ketua Umum ILUNI FHUI, dalam siaran pers.

Tidak hanya jabatan, agenda hukum pun, menurut Melli, telah digadaikan oleh pemerintahan Jokowi. Melli menyebut, hingga kini belum ada suatu program pembangunan hukum nasional yang jelas serta nyata implementasinya. Khususnya yang terkait dengan pembenahan penegakan hukum dan reformasi institusi Kepolisian dan Kejaksaan, serta pemberantasan korupsi.

Dijelaskan Melli, ada dua indikator utama yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan Jokowi-JK di bidang hukum. Pertama adalah program kebijakan hukum nasional yang disusun. Kedua, pelaksanaan hak prerogatif presiden terkait penunjukan/pencalonan calon-calon pejabat negara cabang eksekutif di bidang hukum.

Menilik figur-figur yang menduduki jabatan di bidang hukum seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, termasuk calon Kapolri yang kemudian menuai kontroversi, Melli menilai tidak satu pun yang memiliki kompetensi dan kontribusi memadai.

“Masih banyak orang lain yang lebih layak (fit) dan pantas (proper) untuk diangkat. Semua penunjukan kental ditentukan oleh elit parpol. Dalam hal Budi Gunawan, yang bersangkutan sudah jelas punya rapor merah namun tetap dipaksakan sebagai calon tunggal Kapolri,” ujarnya.

Menurut Melli, proses penunjukan para pejabat di bidang hukum menimbulkan kesan ada “balas budi” dari Jokowi atas dukungan politik yang diterimanya ketika pemilu presiden. Terlebih, Jokowi menunjukkan inkonsistensi ketika pemilihan pejabat di bidang hukum, karena tidak melibatkan KPK dan PPATK sebagaimana dia lakukan saat seleksi anggota kabinet.

“Saat memilih Jaksa Agung dan Kapolri, ia (Jokowi) bertindak seolah-olah partisipasi dan masukan KPK dan PPATK tidak relevan yang menimbulkan kecurigaan bahwa proses pencalonan memang sarat KKN dan politik balas budi.”

Sekretaris Umum ILUNI FHUI, Mohamad Kadri mengatakan proses pencalonan Kapolri beberapa waktu lalu hanya membuat rakyat bingung karena kandidat yang diusulkan Jokowi telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, tetapi tetap di-Fit and Proper Test oleh Komisi III DPR.

“Jokowi masih terkesan belum mampu mensiasati distraksi politik dari parlemen yang berisi kubu KMP (Koalisi Merah Putih) dan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) yang kepentingannya, sejauh ini, justru bertentangan dengan kehendak rakyat,” papar Kadri.

Khusus terkait penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, ILUNI FHUI menilai banyak kejanggalan yang terjadi. Mulai dari penangkapan tersebut tanpa didahului pemanggilan terhadap Bambang Widjojanto hingga keterangan pers yang
berbeda-beda antara pimpinan Polri.

Melli Darsa menyebut penangkapan Bambang Widjojanto oleh puluhan aparat polisi itu sarat dengan pelanggaran HAM. Padahal, kata Melli, Indonesia sudah memiliki UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Kovenan Hak Sipil dan Politik dan diratifikasi lewat UU Nomor 12 Tahun 2005. Di Internal Polri pun ada Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi HAM yang melarang penangkapan sewenang-wenang.

“Belum lagi menyoal perlindungan profesi advokat, dan kualifikasi delik yang dituduhkan. Yang lebih miris lagi, Presiden Jokowi justru tidak mengambil sikap tegas, misalnya dengan menghentikan pencalonan Budi Gunawan, memerintahkan SP3 atas pemeriksaan Bambang Widjojanto yang sarat dengan pelanggaran prosedur formil,” papar Melli.
Tags:

Berita Terkait