Implementasi Kode Etik Hakim Timbulkan Persoalan
Rakernas MA 2011:

Implementasi Kode Etik Hakim Timbulkan Persoalan

Seorang mantan hakim agung mengajukan uji materi SKB Kode Etik dan Perilaku Hakim.

ASh
Bacaan 2 Menit
Ketua MA Harifin A Tumpa tegaskan tak bisa tolak perkara yang diajukan terkait kode etik hakim. Foto: SGP
Ketua MA Harifin A Tumpa tegaskan tak bisa tolak perkara yang diajukan terkait kode etik hakim. Foto: SGP

Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa menegaskan pihaknya tak bisa menolak perkara meski perkara yang diajukan terkait kode etik hakim sekalipun. “Karena pengujian uji materi terkait kode etik hakim ini diajukan pihak luar, saya kira MA harus menyelesaikannya,” kata Harifin di sela-sela Rakernas MA di Hotel Mercure, Ancol Jakarta, Senin (19/9).

 

Pernyataan itu menanggapi pengujian SKB Ketua MA dan Ketua KY Tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Poin 8 dan 10 yang diajukan Henry P Pangabaen. Henry, mantan hakim agung yang kini berprofesi advokat, telah melayangkan permohonan uji materi itu ke MA beberapa waktu lalu. 

 

Poin 8 kode etik salah satunya mengatur bahwa distribusi perkara harus dilakukan secara adil oleh ketua pengadilan dan hakim yang ditunjuk, serta menghindari pendistribusian kepada hakim yang memiliki konflik kepentingan. Ini adalah implementasi dari sikap berdisiplin tinggi.

 

Sementara poin kesepuluh mengatur kewajiban hakim untuk bersikap profesional. Salah satu ketentuan dalam poin ini, seperti 10.4 menyatakan bahwa hakim wajib menghindari kekeliruan dalam menjatuhkan putusan atau mengabaikan fakta hukum di persidangan. Hakim tidak boleh dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dengan mengabaikan fakta. Henry berdalih dua poin yang ia persoalkan itu dapat menyebabkan hakim ketakutan dan independensinya dalam menangani perkara akan terganggu.

 

SKB tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim diteken Ketua MA Harifin Tumpa dan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas pada 8 April 2009. Ini menggantikan pedoman sejenis yang dimiliki para hakim sejak 2007. Berdasarkan kode etik ini seorang hakim wajib berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, dan berintegritas tinggi. Juga harus bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan bersikap profesional. Penjatuhan disiplin terhadap para hakim selama ini banyak merujuk pada SKB Tahun 2009 tersebut.

 

Menurut Harifin, sebenarnya rumusan kode etik itu tak bermasalah. Yang menjadi persoalan adalah implementasinya. “Artinya, ini memang akan mengganggu independensi hakim yang merupakan untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan hakim, sehingga itu tak boleh dijadikan alasan untuk menjatuhkan sanksi bagi hakim, jika dilakukan hakim akan takut membuat putusan,” kata Harifin.

 

Sebelumnya, atas pengujian kode etik ini, Komisi Yudisial (KY) telah mengajukan jawaban tertulis sebagai pihak terkait kepada Kepaniteraan MA hari ini. KY menilai pemohon tidak memiliki legal standing (tak ada kerugian bagi pemohon), sehingga MA tidak berwenang mengadili perkara ini.

 

SKB itu merupakan peraturan kebijakan, bukan peraturan peraturan perundang-undangan. Dan majelis hakim pun tidak berwenang mengadili karena ada konflik kepentingan (mengadili yang terkait dirinya sendiri). Terkait dengan bentuk hukumnya, Mahkamah Agung juga pernah mengabulkan pengujian materi sebuah Surat Edaran (SE) meskipun berdasarkan UU No 10 Tahun 2004 –sekarang UU No 12 Tahun 2011– Surat Edaran tidak termasuk peraturan perundang-undangan.

Tags: