Indonesia Tak Mengenal Repugnancy Review
Berita

Indonesia Tak Mengenal Repugnancy Review

Otoritas negara bisa mendasarkan putusan pada aturan-aturan agama.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Mark, yang kurang dari putusan itu adalah penafsiran teks konstitusi. “Mahkamah tidak mengklarifikasi masalah hukum konstitusi yang dikemukakan oleh pemohon, yaitu sejauh mana negara boleh membatasi hak seseorang untuk menjalankan ajaran agama”.

 

Meskipun mempertimbangkan sumber hukum Islam, Mark menilai Mahkamah Konstitusi sedikit ragu menempatkan diri sebagai penafsir utama hukum Islam. Dalam pertimbangan, Mahkamah mengatakan mempertimbangkan hukum Islam ketika membahas syarat poligami hanya karena pemohon mengajukan argumen. Kalau memang argumentasi pemohon tidak benar, kata dia, seharusnya Mahkamah tidak lantas membenarkan argumentasi itu. Lagipula, Mark berkeyakinan akan ada reaksi besar seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan pembatalan syarat poligami. “Coba bayangkan bagaimana reaksi masyarakat kalau Mahkamah Konstitusi menerima argumentasi pemohon tentang ajaran Islam terhadap poligami,” paparnya.

 

Ironisnya, sekalipun hukum Islam dipakai sebagai rujukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai poligami, potret berbeda bisa dilihat dari prosentase orang yang tak mencatatkan talaknya. Berdasarkan penelitian Mark dengan Tim Heaton (1993), sekitar lima puluh persen warga yang tidak mencatatkan perceraiannya ke lembaga resmi negara, dalam hal ini pengadilan agama.

Tags: