Ini Dampak Kewajiban Iuran Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan
Berita

Ini Dampak Kewajiban Iuran Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan

Kewajiban pelaku usaha mendaftarkan karyawan ke program jaminan pensiun membuat masyarakat enggan membeli produk dana pensiun swasta.

FAT
Bacaan 2 Menit
Ini Dampak Kewajiban Iuran Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan
Hukumonline
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, kewajiban program jaminan pensiun yang dihembuskan BPJS Ketenagakerjaan dapat berdampak kepada industri dana pensiun yang selama ini telah ada.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Firdaus Djaelani, mengatakan dampak yang akan terasa adalah menurunnya minat masyarakat masuk ke industri dana pensiun. Soalnya, program yang dihembuskan BPJS Ketenagakerjaan mewajibkan seluruh pelaku usaha mendaftarkan karyawan ke program jaminan pensiun.

"Kemungkinan industri dana pensiun (swasta) agak seret ini. Karena orang hanya akan ikut yang wajib saja dari program BPJS Ketenagakerjaan, bisa jadi masalah ini," katanya di Jakarta, Kamis (5/2).

Walau begitu, OJK menyambut baik program tersebut. Menurut Firdaus, OJK tengah menunggu kesepakatan antara pemerintah dan stakeholder yang masih membahas besaran nilai iuran jaminan pensiun dalam program tersebut. OJK berharap pembahasan yang nantinya akan dibalut dalam Peraturan Pemerintah (PP) itu dapat segera selesai.

"Kita berharap ini bisa diputus sebelum 1 Juni 2015," tutur Firdaus.

Menurutnya, berapa pun nilai iuran jaminan pensiun yang akan diputus, OJK akan tetap mendukung terlaksananya program tersebut. Terkait kewajiban program itu dapat berdampak ke industri dana pensiun, OJK berencana akan mengkaji lagi untuk mencari win-win solution seperti yang akan diterapkan antara BPJS Kesehatan dengan perusahaan asuransi swasta melalui program Coordination Of Benefit (COB).

Terpisah, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi mengatakan, rancangan PP mengenai jaminan pensiun masih dalam pembahasan di Kemenkumham. Menurutnya, masih terdapat perbedaan antar stakeholder yang membahas dan menyusun rancangan PP ini.

"Kalau RPP JP (Jaminan Pensiun) pelaksanaan UU SJSN belum selesai karena masih terdapat perbedaan pendapat, mengenai cara penghitungan (persentase) iuran," katanya, Jumat (6/2).

Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR Amelia Anggraini mengusulkan agar iurannya bisa bersifat “luwes” dengan mempertimbangkan kondisi perusahaan masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mencari jalan keluar bagi alotnya pembahasan RPP terkait program JP tersebut.

Ia berharap, kondisi perusahaan besar dan perusahaan kecil bisa menjadi dasar dalam menerapkan iuran. "Kondisi perusahaan harus jadi pertimbangan, perusahaan skala sedang harus beda dengan perusahaan skala kecil. Pemerintah jangan pukul rata ke seluruh pemberi kerja," katanya beberapa waktu lalu.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, berharap pada kuartal I tahun 2015, RPP mengenai program JP sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meskipun masih ada waktu hingga bulan Juni tahun 2015. "Paling lambat itu bulan Juni. Tapi kami berharap kuartal I ini bisa tuntas dan sudah bisa dinaikkan ke presiden," katanya.

Menurutnya, RPP mengenai program JP masih dalam tahap harmonisasi yang melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga di Kementerian Hukum dan HAM. Salah satu substansi yang masih dibahas adalah mengenai angka iuran. Untuk sementara, usulan iuran dalam RPP masih sebesar delapan persen, dengan pembagian lima persen dibayarkan pemberi kerja, dan tiga persen dibayar pekerja.
Tags:

Berita Terkait