Ini Sikap Enam Fakultas Hukum terhadap RUU Advokat
Berita

Ini Sikap Enam Fakultas Hukum terhadap RUU Advokat

Menolak sistem multi bar dan keberadaan dewan advokat nasional.

ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: www.ugm.ac.id
Foto: www.ugm.ac.id
Pembahasan RUU Advokat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah rupanya “menarik minat” sejumlah fakultas hukum untuk bersuara. Para dekan di sejumlah fakultas hukum pun menerbitkan surat, baik secara aktif maupun memang diminta oleh Pansus RUU Advokat, untuk mengemukakan pandangannya seputar RUU Advokat.

Berikut adalah sikap enam fakultas hukum di Indonesia melalui surat-surat mereka kepada DPR, sebagaimana yang diperoleh hukumonline dari Ketua Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Rivai Kusumanegara:

FH Universitas Gadjah Mada
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Paripurna, dalam surat tertanggal 2 Juli 2014, berpandangan bahwa sistem single bar (wadah tunggal) untuk para advokat akan lebih efektif dan efisien. “Sehingga, semua terintegrasi dalam satu wadah, agar lebih memudahkan dalam melakukan pengaturan terhadap profesi advokat,” tulisnya dalam surat dalam rangka memenuhi permintaan DPR untuk memberikan masukan terhadap RUU Advokat.

Lebih lanjut, Paripurna menyatakan dengan sistem single bar itu, maka kode etik advokat harus satu dan berlaku bagi seluruh advokat. Pengawasan kode etik advokat ini diusulkan cukup melibatkan dua unsur, yakni unsur profesi advokat dan unsur akademisi hukum.

Sedangkan, mengenai keberadaan Dewan Advokat Nasional (DAN) dalam RUU Advokat, Paripurna menyatakan ketidaksetujuannya. “Keberadaan Dewan Advokat Nasional sebenarnya tidak perlu ada karena justru akan mengurangi independensi wadah profesi advokat itu sendiri,” tambahnya.

FH Universitas Airlangga
Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Muchammad Zaidun secara aktif menyurati Ketua DPR untuk menyampaikan pandangannya seputar RUU Advokat. Dalam surat tertanggal 8 September 2014 ini, Zaidun mengkritik konsep Dewan Advokat Nasional (DAN) serta sistem multi bar (banyak organisasi advokat) dalam RUU ini.

“Kelembagaan DAN bertentangan dengan prinsip independensi advokat mengingat keanggotaan kelembagaan ini dipilih oleh DPR berdasarkan calon yang diusulkan Presiden. Dengan demikian telah jelas adanya campur tangan pemerintah dan partai politik terhadap advokat,” jelasnya.

Selain itu, Zaidun menilai sistem multi bar akan membuat standar berbeda di kalangan advokat. Bahkan, sistem ini bisa menimbulkan “kutu loncat”, yakni advokat yang dihukum bersalah oleh sebuah organisasi advokat, maka dia bisa pindah ke organisasi advokat yang lain.

Zaidun juga mengkritik RUU Advokat yang tidak disusun berdasarkan ratio legis. Misalnya, di dalam naskah akademik, disebutkan bahwa UU Advokat yang berlaku sekarang (UU No.18 Tahun 2003) telah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak sembilan kali. Padahal, lanjutnya, permohonan uji materi tersebut ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK.

Lebih lanjut, Zaidun bahkan menyatakan dukungannya kepada PERADI. “Atas dasar uraian di atas maka, Fakultas Hukum Universitas Airlangga mendukung sepenuhnya terhadap sikap DPP PERADI untuk menyatakan bahwa proses pembahasan RUU Advokat ini di DPR RI harus dihentikan,” pungkasnya.

FH Universitas HKBP Nomensen
Dekan FH Universitas HKBP Nomensen, Medan, Marthin Simangunsong juga ikut menyurati Ketua DPR. Ia juga menembuskan surat tersebut ke seluruh ketua fraksi di DPR.

Marthin mengatakan bahwa suratnya ini merujuk kepada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh FH Universitas Sumatera Utara pada 16 Agustus lalu, seputar kajian akademisi tentang RUU Advokat. Merujuk ke hasil seminar itu, Marthin menegaskan bahwa institusi pendidikan yang dipimpinnya menolak RUU Advokat.

“Bersama ini, kami Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen Medan menyampaikan pendapat bahwa UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat masih relevan untuk dipertahankan dan belum perlu diamandemen,” sebutnya dalam surat tertanggal 5 September 2014 itu.

Lebih lanjut, Marthin menilai bahwa RUU Advokat yang saat ini dalam pembahasan Panitia Khusus (Pansus) RUU Advokat DPR RI tidak perlu dilanjutkan karena kualitas RUU tersebut lebih buruk dibandingan dengan UU No.18 Tahun 2003.

“Kalau pun RUU tersebut tetap ingin dibahas, maka tidak diperlukan adanya Dewan Advokat Nasional dan organisasi advokat tetap berbentuk single bar agar terwujudnya standarisasi profesi advokat yang baik, dengan demikian tidak lahir advokat-advokat yang buruk yang merugikan masyarakat pencari keadilan,” jelasnya.

Marthin pun mengaku siap diundang Pansus RUU Advokat DPR untuk menyampaikan argumentasi kajian akademis kampusnya.

FH Universitas Islam Indonesia
Dekan FH UII, Aunur Rahim Faqih menugaskan seorang dosen FH UII, Arif Setiawan untuk mengkaji secara mendalam seputar RUU Advokat dan menjawab sejumlah pertanyaan pansus. Inti dari surat tertanggal 15 September itu, FH UII menegaskan bahwa sistem single bar dalam UU No.18 Tahun 2003 telah berjalan dengan baik.

“Bahwa menurut kami, model single bar yang sudah dipraktekan berdasarkan UU Advokat No.18 Tahun 2003 sudah berjalan sangat baik, dimana PERADI menjadi wadah tunggal profesi advokat sebagai satu-satunya organisasi advokat,” jelas Arif yang diamini oleh Dekan FH UII Aunur.

Menurutnya, kewenangan PERADI mencakup pelaksanaan PKPA, ujian calon advokat, mengangkat advokat, membuat kode etik, membentuk dewan kehormatan, membentuk komisi pengawas, melakukan pengawasan dan memberhentikan advokat sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.014/PUU-IV/2006 dan No.66/PUU-VIII/2010.

FH UII juga menolak keberadaan DAN dalam RUU ini, meski sebenarnya dimauksudkan untuk memperkuat peran advokat dalam penegakan hukum. “Gagasan tentang Dewan Advokat Nasional yang diusung dalam RUU Advokat adalah gagasan yang justru akan melemahkan kemandirian advokat karena anggota DAN dipilih oleh lembaga yang bukan berasal dari advokat, dalam hal ini adalah DPR,” sebutnya.

FH Universitas Sebelas Maret
Surat Dekan FH UNS Prof. Hartiwiningsih juga senada dengan dekan-dekan yang lain seputar sistem organisasi advokat dalam RUU ini. Ia menolak sistem multi bar. Apalagi, lanjutnya, RUU Advokat ini menyatakan hanya cukup 35 advokat sudah bisa membentuk organisasi advokat. “Sistem multy-bar akan menimbulkan distorsi dan berdampak pada penurunan kualitas profesi advokat itu sendiri,” jelasnya.

Selain itu, Hartiwiningsih juga menilai keberadaan DAN bisa mengurangi independensi advokat karena ada pengaruh pemerintah dalam pembentukannya.

Hartiwiningsih juga menyoroti adanya konflik internal di organisasi advokat saat ini. Menurutnya, upaya penyatuan perpecahaan ini bukan dilakukan dengan cara mengubah UU Advokat. Ia mengatakan bahwa advokat sudah memiliki satu rumah yang menjadi tempat naungan bersama, yakni PERADI.

“Banyaknya kepentingan di antara para advokat dapat diselesaikan dengan menyediakan kamar-kamar yang mengakomodir seluruh kepentingan anggota organisasi profesi advokat,” tegasnya.

FH Universitas Wijaya Putra (Surabaya)
Dekan FH Universitas Wijaya Putra (Surabaya) Tri Wahyu Handayani juga menolak sistem multi bar dan keberadaan DAN dalam RUU Advokat ini. Alasannya sama dengan alasan penolakan dekan-dekan yang lain, yakni kemandirian advokat yang harus terbebas dari pengaruh pemerintah.

Lebih lanjut, Tri juga menambahkan bahwa ada pertentangan dalam istilah (contradiction in terminis) dalam pembahasan revisi UU Advokat ini. Ia menjelaskan RUU Advokat ini dimaksudkan sebagai perbaikan atau revisi UU Advokat yang ada, tetapi ternyata secara substansial mengubah secara mendasar nilai-nilai dan prinsip yang terkandung dalam UU Advokat yang ada.

Tri juga tegas mendukung sikap PERADI yang menolak RUU ini. “Bahwa kami mendukung sepenuhnya upaya-upaya yang dilakukan oleh Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) untuk menolak keras rencana DPR RI bersama pemerintah yang akan melakukan revisi UU Advokat dimaksud,” pungkasnya melalui surat tertanggal 8 September 2014 itu.

Selain surat dari para dekan ini, sejumlah fakultas hukum lain juga telah menggelar diskusi untuk membahas RUU Advokat ini. Di antaranya, adalah FH Universitas Indonesia, FH Universitas Hasanuddin, FH Universitas Trisakti, dan FH Universitas Warmadewa (Bali).
Tags:

Berita Terkait