Isran Noor Yakin Pencabutan KP Ridlatama Sudah Tepat
Berita

Isran Noor Yakin Pencabutan KP Ridlatama Sudah Tepat

Hotman Paris surati SBY untuk menambah lawyer berbobot internasional.

Oleh:
YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Ketua APKASI Isran Noor (kemeja putih). Foto: http://isrannoor-otoda.com
Ketua APKASI Isran Noor (kemeja putih). Foto: http://isrannoor-otoda.com
Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Isran Noor mengatakan, tindakan mencabut kuasa pertambangan dari perusahaan di bawah Ridlatama Group merupakan langkah tepat karena perusahaan ini terbukti melanggar hukum sehingga negara dirugikan.

"Kami mencabut karena PT-PT di bawah Ridlatama Group terbukti telah melakukan dua pelangaran hukum yakni mengalihkan saham kepada investor asing dan melaksanakan kegiatan pertambangan di kawasan hutan," kata Isran yang juga Bupati Kutai Timur di Jakarta, Rabu (5/3).

Kedua kegiatan yang dilakukan Ridlatama Group tersebut tidak mengantongi izin, termasuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan seharusnya mengantongi izin pinjam pakai dari Kementerian Kehutanan.

Isran mengatakan, tindakan mencabut kuasa pertambangan ini telah diuji secara hukum yakni melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda, PTUN Jakarta, dan Mahkamah Agung yang menyatakan sah secara hukum baik aspek kewenangan maupun prosedural.

Ridlatama Group telah mengalihkan saham secara tidak berhak dan tanpa izin Pemerintah Indonesia kepada Churchill Mining PLC dan Planet Mining PTY LTD. Kemudian, kedua perusahaan mengajukan keberatan kepada Tribunal International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) untuk nantinya dipakai sebagai dasar melakukan gugatan arbitrase.

Dalam perkembangannya ICSID mengeluarkan putusan sela tentang yurisdiksi pada tanggal 24 Februari 2014 yang menyatakan lembaga ini memiliki kewenangan untuk memeriksa gugatan Churchil Mining dan Planet Mining. Isran menyatakan keyakinannya akan memenangkan gugatan yang diajukan kedua perusahaan asing karena aspek legalnya sudah terpenuhi seluruhnya.

Menurut dia, putusan sela hanya memeriksa aspek formal saja, seperti status hukum para pihak yang berperkara, termasuk apakah investasi yang dilakukan telah diberikan penerimaan (granted admission), serta ada tidaknya persetujuan atau consent para pihak untuk berarbitrase, serta apakah ICSID memiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara gugatan. ICSID hanya memeriksa dan meneliti ketentuan-ketentuan bilateral investment treat (BIT) Indonesia-Inggris dan Indonesia-Australia, yang dipakai Churchill dan Planet untuk mengajukan gugatan arbitrase.

Isran mengatakan, BIT merupakan produk kewenangan pemerintah pusat, BIT yang ada saat ini cenderung merugikan posisi pemerintah Indonesia, selain ditandatangani puluhan tahun lalu, serta dilakukan saat Indonesia saat itu membutuhkan investasi asing.

Isran mengingatkan munculnya kasus Rafat Ali Rizvi, pemegang saham Century yang juga menggugat Pemerintah RI di forum ICSID. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia melakukan negosiasi BIT, bahkan kalau perlu BIT tersebut dihapuskan. Alasannya, banyak negara-negara di Amerika Latin yang meninggalkan karena dianggap merugikan.

Ketentuan BIT di Indonesia menjadi kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), ternyata dalam format baku surat persetujuan penanaman modal asing yang dikeluarkan BKPM terdapat kata-kata, "Pemerintah Indonesia bersedia mengikuti penyelesaian menurut ketentuan konvensi ICSID". Menurut Isran, pernyataan ini merupakan persetujuan Pemerintah Indonesia untuk berarbitrase dengan investor.

Berdasarkan UU Penanaman Modal Asing, seharusnya BKPM berkewajiban mengawasi kegiatan PMA. Ternyata tidak ada kegiatan pengawasan terhadap kegiatan Churcill dan Planet di Indonesia. Churcill dan lain-lain juga telah membeli saham-saham perusahaan pemegang kuasa pertambangan, padahal hukum mengatur kuasa pertambangan hanya dapat dipegang oleh WNI dan atau badan hukum yang 100 persen dimiliki WNI.

UU Penanaman Modal Asing juga mengatur investor asing hanya boleh berusaha di bidang pertambangan melalui kerjasama dengan pemerintah RI dalam bentuk PKP2B atau kontrak karya, ungkap Isran.

Isran meminta untuk mewaspadai upaya-upaya segelintir orang untuk mendorong pemerintah RI melakukan negosiasi dan melakukan penyelesaian damai diantaranya dengan membayar ganti rugi kepada Churchill dan lain-lain, serta menyingkirkan tim hukum yang dipimpin Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin.

"Kita harus dapat menyelamatkan miliar dolar AS milik pemerintah dan rakyat Indonesia yang ingin diraup segelintir orang-orang ini," kata Isran.

Saran
Sebelumnya, advokat Hotman Paris berpendapat ditolaknya keberatan Pemerintah Indonesia dalam arbitrase Internasional (ICSID) terkait sengketa izin tambang dengan Churchill Minings Plc harus menjadi perhatian serius. Menurutnya, ini membuka kemungkinan pemerintah Indonesia kalah dalam pokok perkara yang akan berakibat pemerintah dihukum membayar ganti rugi triliunan rupiah.

“Kami menyarankan pemerintah untuk menambah tim lawyer berbobot Internasional Commercial Litigation Lawyer,” kata Hotman dalam suratnya yang dikirim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (3/3).

Dalam salinan surat yang diterima hukumonline tersebut, Hotman menjelaskan, objection to jurisdiction harusnya dimenangkan pemerintah Indonesia karena alasan gugatan di arbitrase tersebut terkait pencabutan 4 izin usaha pertambangan (IUP) batubara di Indonesia, di mana pemegang IUP bukanlah atas nama Churchill.  Dengan demikian, secara Juridis, Churchill bukanlah pihak yang dirugikan atas pencabutan 4 IUP tersebut.

Hotman menduga Churchill hanya pemain di belakang layar dengan cara memakai “nominee” atau meminjam nama orang lain. Sistem Nominee jelas terlarang menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jadi secara Juridis, Churchill bukan investor. “Karena bukan investor,  maka Churchill bukan pihak yang berhak memakai upaya hukum di Arbitrase berdasarkan ICSID,” ujarnya.

Lebih jauh Hotman mengatakan, hal yang memberatkan pemerintah di ICSID adalah kesaksian ahli, Dr Nono Anwar Makarim, yang diajukan Churchill. Menurut Hotman, dalam tulisannya di The Jakarta Post, 1 Agustus 2012, Nono pernah mengkritik nominee structure sebagai tindakan ilegal. Akan tetapi beberapa bulan kemudian, di persidangan arbitrase ICSID tersebut, Nono memberikan kesaksian yang memihak Churchill dengan cara mendukung nominee structure.

Atas dasar itu, Hotman menyarankan agar pemerintah memperkuat Tim Lawyer yang berbobot Internasional Commersial Litigation Lawyer. Satu nama yang disarankannya adalah Davinder Singh, Partner Law Firm Drew & Napier LLC, Singapura. Hotman mengaku sering bekerja sama dengan Davinder dalam  berbagai kasus bisnis internasional.

“Apabila pemerintah menganggap remeh kasus ini, maka resikonya adalah aset negara di luar negeri dapat disita apabila pihak lawan memenangkan gugatan ganti rugi sebesar Rp20 triliun,” ujar Hotman.

Untuk diketahui, sebagaimana disebutkan dalam siaran persnya, Hotman adalah kuasa hukum dari PT Kaltim Nusantara Coal, PT Nusantara Wahau Coal, dan PT Batubara Nusantara Kaltim yang menjadi pihak dalam perkara sengketa IUP dengan Ridlatama Group (Churchil Group). Pihak Hotman mengklaim telah memenangkan perkara ini hingga tingkat peninjauan kembali.
Tags:

Berita Terkait