Jaminan Hari Tua Perlu Dikaji Ulang, Simak Alasannya
Berita

Jaminan Hari Tua Perlu Dikaji Ulang, Simak Alasannya

Manfaat yang diperoleh peserta tidak optimal. Tak sesuai filosofi awal.

ADY
Bacaan 2 Menit
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar. Foto: SGP
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar. Foto: SGP
Program Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan salah satu program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan Pasal 35 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyebut peserta bisa menerima manfaat JHT apabila masuk masa pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia. Manfaat diberikan secara sekaligus (lump sum).

Sebagai aturan teknis, pemerintah telah menerbitkan PP No. 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT. Pasal 22 ayat (4) PP No. 60 Tahun 2015 mengatur peserta yang menyiapkan diri menghadapi pensiun bisa mengambil dana JHT sebagian sampai batas tertentu apabila peserta yang bersangkutan telah memiliki masa kepesertaan 10 tahun.

Sebagian pekerja, kata Timboel, menolak ketentuan itu karena ketika JHT masih dikelola PT Jamsostek peserta yang masa kepesertaannya minimal 5 tahun dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mengambil dana JHT. Sebaliknya, dalam PP No. 60 Tahun 2015 jangka waktu kepesertaan 5 tahun itu tidak berlaku lagi karena diubah menjadi 10 tahun.

Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan Permenaker No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Intinya, peserta yang berhenti bekerja termasuk mengundurkan diri, PHK dan meninggalkan Indonesia untuk selamanya bisa mengambil dana JHT dengan masa tunggu satu bulan.

Menurut Timboel PP No. 60 Tahun 2015 dan Permenaker No. 19 Tahun 2015 itu bertentangan dengan UU SJSN. “PP No. 60 Tahun 2015 dan Permenaker No. 19 Tahun 2015  menabrak pasal 35 ayat (2) UU SJSN,” kata Timboel dalam diskusi yang digelar Elkape dan BPJS Watch di Jakarta, Selasa (22/3).

Pasca terbitnya kedua peraturan teknis itu Timboel melihat banyak peserta yang mencairkan dana JHT walau masa kepesertaan mereka kurang dari satu tahun. Hal itu berdampak pada manfaat yang diterima peserta menjadi tidak optimal. Sebab BPJS Ketenagakerjaan mengalihkan investasinya dari yang sifatnya jangka menengah dan panjang menjadi jangka pendek seperti deposito. Itu dilakukan dalam rangka menjaga likuiditas agar bisa membayar JHT yang diklaim peserta.

Dengan penempatan investasi jangka pendek Timboel menghitung imbal hasil yang diterima BPJS Ketenagakerjaan menjadi lebih kecil. Itu terlihat dari imbal hasil JHT tahun 2014 sekitar 10 persen turun menjadi 6 persen di tahun 2014.

Untuk menjaga agar imbal hasil JHT tinggi maka perlu diterapkan adanya jangka waktu kepesertaan sebagai syarat untuk mengambil dana JHT. Cara itu diyakini bisa mendorong BPJS Ketenagakerjaan untuk berinvestasi ke instrumen jangka menengah dan panjang sehingga imbal hasilnya relatif lebih tinggi. Ia mengusulkan agar syarat minimal kepesertaan untuk mencairkan JHT yakni 5 tahun dengan masa tunggu 1 bulan seperti yang pernah berlaku dimasa JHT dikelola PT Jamsostek. “Itu bisa mengoptimalkan manfaat JHT yang diterima peserta,” ujarnya.

Selain itu Timboel menjelaskan upaya yang bisa dilakukan BPJS Ketenagakerjaan untuk mendorong agar peserta tidak mencairkan dana JHT dalam masa kepesertaan yang singkat yakni membuat program yang memberi manfaat langsung kepada peserta. Misalnya, peserta JHT bisa menggunakan kartu kepesertaannya untuk mendapat diskon ketika berbelanja di tempat perbelanjaan atau membeli tiket.

Ketua Umum Pimpinan Pusat SP KEP SPSI, R Abdullah, mengatakan PP No. 46 Tahun 2015 salah satu peraturan yang ditunggu kalangan pekerja. Sayangnya, regulasi itu dinilai tidak mengakamodasi kepentingan pekerja sehingga dikritik.

Abdullah mengingatkan, serikat pekerja mendorong terbitnya UU BPJS dan berbagai peraturan turunannya agar negara hadir membantu pekerja menghadapi resiko sosial seperti sakit dan hari tua (pensiun). Oleh karenanya manfaat JHT tidak tepat jika dibayar ketika pekerja mengalami PHK bukan karena pensiun.

Mengingat kondisi ketenagakerjaan di Indonesia mengarah pada pasar kerja fleksibel sehingga sistem kerja kontrak marak digunakan, Abdullah mengusulkan agar dibentuk program baru yakni tunjangan PHK. Sebab, model pasar kerja fleksibel memposisikan pekerja rentan mengalami PHK. Mengingat tunjangan PHK saat ini tidak ada maka pekerja terpaksa mengambil manfaat JHT walau belum masuk masa pensiun.

“Kalau JHT itu diambil ketika pekerja belum masuk usia pensiun maka itu namanya bukan tunjangan (jaminan) hari tua, dibentuk saja tunjangan pengangguran,” usul Abdullah.

Kepala divisi pengelolaan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, Sabarudin, mencatat pasca PP No. 60 Tahun 2015 dan Permenaker No. 19 Tahun 2015 diterbitkan kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan kebanjiran peserta yang mau mencairkan dana JHT. Rata-rata kantor cabang melayani lebih dari 200 orang peserta setiap hari. Tercatat pengambilan manfaat JHT tertinggi yakni September 2015, mencapai 15.696 orang peserta dengan total dana yang dicairkan Rp1,9 triliun.

Sabarudin menjelaskan saat ini BPJS Ketenagakerjaan melakukan kajian apakah peserta yang mencairkan JHT itu bekerja kembali setelah menerima dana JHT atau tidak. Selain itu banyak faktor yang mempengaruhi penurunan imbal hasil JHT dari tahun 2014 ke 2015. Namun yang penting imbal hasilnya tidak lebih rendah dari bunga deposito bank pemerintah (masih di atas 6,1 persen).

Sabarudin mengakui salah satu faktor yang mempengaruhi turunnya imbal hasil itu secara tidak langsung yakni banyaknya peserta yang menarik dana JHT. Sehingga BPJS Ketenagakerjaan harus menempatkan investasinya pada instrumen jangka pendek.

“Filosofinya kan JHT itu dibayarkan ketika pekerja mencapai usia pensiun agar siap menghadapi pensiun. JHT diberikan secara lump sum sehingga bisa digunakan pekerja untuk membuka usaha,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait