Jangan Buka Peluang Menyimpangi Asas Legalitas
Berita

Jangan Buka Peluang Menyimpangi Asas Legalitas

Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat, asas legalitas harus dipegang secara utuh. Living law tak perlu diatur dalam KUHP.

Mys
Bacaan 2 Menit
Jangan Buka Peluang Menyimpangi Asas Legalitas
Hukumonline

Pemikiran itu disampaikan Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) belum lama di Jakarta. Donny Ardyanto, Direktur Hak-Hak Sipil dan Politik, mengatakan bahwa asas legalitas harus diatur dan diterapkan secara murni. "Jangan membuka peluang adanya kontradiksi terhadap pasal tersebut," ujarnya.

 

Donny melihat bahwa draft RUU KUHP 2005 yang sudah diserahkan ke Presiden masih membuka peluang menyimpangi asas legalitas. Penyimpangan itu tercantum dalam pasal 1 ayat (3). Berdasarkan pasal ini, penerapan asas legalitas "tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat", yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatannya tidak diatur dalam perundang-undangan.

 

Penyimpangan itu dinilai Donny berbahaya jika dipraktekkan. Pertama, hal itu akan mengkriminalisasi perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam perundang-undangan. Kedua, akan menimbulkan masalah penafsiran karena living law banyak yang tidak tertulis dan unsur-unsur pidananya tidak rinci. Ketiga, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Keempat, pengakuan terhadap living law justeru akan menghidupkan kembali analogi. Padahal pasal 1 ayat (2) sudah tegas melarang penggunaan analogi.

 

Oleh karena itu, YLBHI meminta agar pasal mengenai living law tidak dimasukkan ke dalam RUU KUHP. "Hukum dan nilai-nilai yang ada di masyarakat lebih baik dibiarkan berkembang sesuai perkembangan masyarakat, tidak perlu diatur dalam RUU KUHP," ujar Donny.

 

Pakar hukum pidana Prof. Andi Hamzah mengatakan bahwa banyak negara yang mengatur secara tegas asas legalitas dalam KUHP-nya, bahkan ada yang memuat di dalam Konstitusi seperti Belanda. Namun menurut Andi Hamzah, pencantuman asas legalitas tidak dengan sendirinya menjamin negara tersebut demokratis, atau yang tidak mencantumkan otoriter. Italia pada masa Fasisme menganut asas legalitas dan melarang penggunaan analogi dalam KUHP 1930.

 

Agar tempat bagi hukum adat disediakan dalam sistem hukum pidana, Andi Hamzah mengusulkan meniru ketentuan pasal 80 KUHP RRC yang memungkinkan diatur dalam peraturan lokal asalkan mendapat persetujuan dari DPR. Pasal ini menyebutkan "In situation where the autonomous areas inhabited by ethnic group cannot completely apply the stipulation of this Law, the organ of state power of the autonomous regions or of the provinces may formulate alternative or supplementary provisions of the local ethnic groups and the basic principles of the stipulation of this Law, and these provisions shall go into effect after they have been submitted to and approved by the Standing Committee of the National People's Congress".

Tags: