Kampanye Legalisasi Aborsi Hendaknya Dilakukan secara Proporsional
Berita

Kampanye Legalisasi Aborsi Hendaknya Dilakukan secara Proporsional

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta, mengimbau agar kampanye legalisasi aborsi yang dilakukan kaum feminis tetap dilakukan secara proporsional. Pasalnya, kata Marius, masih banyak perempuan yang memperjuangkan kesetaraan jender namun menolak legalisasi aborsi.

Bacaan 2 Menit

 

Sementara itu, Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) --Ninuk Widyantoro-- mengemukakan sejumlah hak reproduksi perempuan sudah diatur dalam dokumen CPD 1994. Yaitu antara lain hak akan penghormatan atas keamanan pribadi/integritas fisik dari tubuhnya, serta hak untuk menikmati standar paling tinggi dari kesehatan seksual dan reproduksi.

 

Bukan liberalisasi

Dalam kesempatan yang sama, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Kartono Mohammad, mengatakan bahwa legalisasi aborsi tidak sama dengan liberalisme aborsi. Sehingga menurut dia, perlu ada regulasi yang mengatur masalah aborsi. Sebut saja dalam program bayi tabung, Kartono menilai bahwa pada proses itu sudah otomatis dilakukan tindakan aborsi.

 

Wakil Ketua Komisi VII DPR dr. Surya Chandra Surapaty berkata bahwa untuk menyelesaikan masalah aborsi  perlu undang-undang khusus. "Kalau perlu dibuatkan UU mengenai kesehatan reproduksi, mengingat UU Kesehatan yang ada sekarang tidak jelas pengaturannya," paparnya.

 

Menurut Surya, UU tentang Kesehatan (UU No.23 Tahun 1992) yang ada sekarang tidak memberikan kejelasan bagaimana menyelesaikan masalah aborsi. Walau Pasal 15 UU itu memberikan pengaturan mengenai aborsi yang dapat dilakukan secara legal, namun tidak ada aturan selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang bisa memperjelas pelaksanaannya.

 

Pasal 15 UU Kesehatan menyebutkan, aborsi dapat dilakukan kalau memenuhi tiga persyaratan. Pertama, dilakukan berdasarkan indikasi medis. Kedua, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang sesuai dengan tanggung jawab profesi dan pertimbangan tim ahli pada sarana kesehatan tertentu. Dan ketiga, dilakukan setelah mendapatkan persetujuan ibu hamil/suami/keluarganya.

 

"Tapi karena tidak ada peraturan pelaksananya-belum ada PP, pelaksanaan dari UU Kesehatan menjadi tidak jelas. Jadi, untuk menyelesaikan persoalan aborsi, lebih baik dibuat UU baru tentang kesehatan reproduksi atau mengamandemen UU Kesehatan," tutur Surya.

 

Tags: