Amicus Curiae Kasus PK Bibit-Chandra Diserahkan ke MA
Berita

Amicus Curiae Kasus PK Bibit-Chandra Diserahkan ke MA

Di beberapa negara termasuk Belanda, amicus curiae bisa menjadi pertimbangan bagi hakim meski yang mengajukan tak memiliki kepentingan langsung terhadap suatu kasus.

ASh
Bacaan 2 Menit
Amicus Curiae kasus PK Bibit-Chandra diserahkan ke MA, Foto: Sgp
Amicus Curiae kasus PK Bibit-Chandra diserahkan ke MA, Foto: Sgp

Salah satu perwakilan dari akademisi lima Universitas Negeri, akhirnya memenuhi janjinya untuk menjadi amicus curiae (sahabat pengadilan) atas peninjauan kembali (PK) praperadilan atas SKPP Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah ke Mahkamah Agung (MA).

 

“Kami akan serahkan ke panitera dulu untuk memasukkan atau mendaftarkan pendapat amicus curiae ini sebagai sahabat pengadilan,” tutur akademisi hukum dari Universitas Hasanuddin, Laode Muhammad Syarif, kepada sejumlah wartawan di lobi Gedung MA, Kamis (7/10).

 

Amicus curiae setebal 27 halaman itu mengatasnamakan lima akademisi hukum yakni Hamid Chalid dan Topo Santoso dari Universitas Indonesia, Laode M Syarif dari Universitas Hasanuddin, Prof Ningrum N Sirait dari Universitas Sumatera Utara, Edward O.S Hiariej dari Universitas Gajah Mada.

 

Dalam kesimpulannya, perkara pidana Bibit-Chandra sebenarnya hasil rekayasa dan sesuatu yang diada-adakan. Karenanya, sudah selayaknya kedua perkara itu dihentikan dengan cara membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI tanggal 3 Juni 2010 dalam putusan PK MA.

 

Alasan PN Negeri Jakarta Selatan PT DKI mengabulkan praperadilan Anggodo Widjojo yang mempersoalkan keabsahan SKPP Bibit-Chandra dinilai tidak tepat. Sebab, kepastian tak adanya rekaman pembicaraan antara Ari Muladi dan Ade Rahardja baik dalam bentuk rekaman maupun call data record (CDR) seharusnya dapat menjadi dasar untuk menghentikan penuntutan lantaran dianggap tak cukup bukti sesuai Pasal 140 ayat (2) hurud a KUHAP.         

 

Selain itu, tuduhan penyalahgunaan wewenang saat menerbitkan surat cekal dan pencabutan cekal yang hanya ditandatangani dua pimpinan KPK itu dinilai bukanlah tindak pidana, melainkan ranah hukum administrasi/tata usaha negara. Sebab, hal ini hanya menyangkut penafsiran Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang menyatakan pimpinan KPK bekerja secara kolektif.   

 

Karena itu, Laode berharap pendapat itu dapat dijadikan pertimbangan oleh majelis PK Bibit-Chandra. "Kami meminta majelis hakim PK MA agar memutus permohonan PK di atas tidak terlepas dari konteks suasana kebatinan pemberantasan penyalahgunaan kekuasaan, pemberantasan korupsi, dan melawan serangan balik koruptor,” jelasnya.

 

Ia menjelaskan amicus curiae diterapkan di Amerika, Inggris, Argentina yang menyangkut hukum publik. Bahkan di Belanda – yang merupakan kiblat sistem hukum di Indonesia, civil law system – kini sudah mengadopsi istilah amicus curiae ini, khususnya yang berhubungan perkara antimonopoli. Sebab, perkara antimonopoli berhubungan dengan kemaslahatan masyarakat umum (HAM).     

 

“Di beberapa negara termasuk Belanda sendiri, amicus curiae bisa menjadi pertimbangan bagi hakim meski yang mengajukan tak memiliki kepentingan langsung terhadap suatu kasus,” jelasnya.     

 

Meski demikian pengajuan menjadi sahabat pengadilan ini bukan bentuk intervensi kepada pihak pengadilan, melainkan sebatas memberikan pandangan hukum atas suatu kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik. “Ini bukan bentuk intervensi pengadilan, tetapi kalau mau dikatakan ini bisa juga disebut intervensi positif,” katanya.     

 

Ketika dimintai tanggapannya, Rabu (6/10) kemarin, salah satu anggota majelis perkara PK Bibit-Chandra, Komariah Emong Sapardjaja, enggan berkomentar. “Saya tak boleh mengomentari itu (amicus curiae, red) karena itu sudah masuk pokok perkara,” katanya kepada hukumonline, lewat gagang telepon. 

Tags: