Keberanian Presiden Eksekusi Mati Tahap II Dipertanyakan
Berita

Keberanian Presiden Eksekusi Mati Tahap II Dipertanyakan

Penundaan eksekusi tak saja menurunkan semangat aparat penegak hukum, tetapi membuat masyarakat kerap bertanya-tanya dengan sikap pemerintah yang melunak.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Keberanian Presiden Eksekusi Mati Tahap II Dipertanyakan
Hukumonline
Belum dilaksanakannya eksekusi mati tahap dua terhadap sejumlah terpidana mati kasus narkoba menunjukkan keberanian Presiden Joko Widodo melunak. Penundaan eksekusi semestinya tidak dilakukan pemerintah. Pasalnya, eksekusi mati dilakukan setelah memiliki putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

“Pertanyaan, kita tidak punya keberanian menindak ini. Harusnya presiden tidak menunda eksekusi ini. Jadi seperti kerupuk, kena air langsung lembek lagi,” ujar anggota Komisi III Nasir Djamil dalam sebuah diskusi di Gedung MPR, Senin (20/4).

Menurutnya, penundaan eksekusi tak saja menurunkan semangat aparat penegak hukum, tetapi membuat masyarakat kerap bertanya-tanya dengan sikap pemerintah yang melunak. Dua dari sekian terpidana mati tahap dua merupakan warga negara Australia. Belakangan terakhir memang perdana menteri Australia menggunakan berbagai cara untuk meminta penundaan eksekusi.

Lebih jauh,politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berpandangan jika alasan penundaan eksekusi menunggu perhelatan akbar Konferensi Asia Afrika (KKA), seolah mengulur waktu. Ia khawatir pemerintah kembali mengulur waktu setelah perhelatan KAA. “Sepertinya presiden dalam posisi lemah dalam tekanan Australia. Apakah ini kepentingan Tony Abott,” katanya.

Menurut Nasir, presiden tak boleh menutup mata dan telinga terkait dengan banyaknya korban akibat ulah gembong narkoba. Menurutnya, pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba mesti segera dilakukan setelah mendapatkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

“Kita harus memberikan dukungan moral kepada presiden yang awalnya tegas kemudian kembali ke gaya awalnya,” imbuhnya.

Dikatakan Nasir, keberanian pemerintah belakangan berubah. Padahal masyarakat amatlah prihatin dengan pelaku pengedar narkoba yang kian merajalela. Tak saja di tempat terbuka, di tempat tertutup seperti Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) pun bandar narkoba dapat beroperasi.

Jika saja pemerintah berubah sikapnya dengan menunda pelaksanaan eksekusi mati, masyarakat bakal pesimis dengan janji Presiden Jokowi dalam kampanye Pilpres 2014 lalu yang akan memberantas narkoba. “Kita berharap presiden tidak menunda-nunda eksekusi mati, sehingga masyarakat pesimis apa benar negara serius berantas narkoba,” ujarnya.

Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Universitas Indonesia, Mustafa Fakhiri, mengatakan negara tak saja dalam keadaan darurat korupsi dan terorisme, tetapi juga narkoba. Namun begitu, belum diperlukan pembentukan UU Darurat terhadap situasi tersebut. Menurutnya, masyarakat membutuhkan pemerintah yang serius melakukan pemberantasan narkoba.

Meski memiliki Badan Narkotika Nasional (BNN), tugas pemberantasan narkoba menjadi kewajiban bersama. Ancaman pidana berupa hukuman maksimal terhadap pengedar narkoba sudah tegas dalam UU Pemberantasan Narkotika. “Tinggal bagaimana law enforcement. Sayangnya, oknum aparat penegak hukum masih ada  yang melakukan korupsi,” imbuhnya.

Mustafa berpandangan hukuman mati tahap dua terhadap gembong narkoba amatlah ditunggu publik. Keberanian pemerintah menjadi harapan masyarakat. Menurutnya, jika masih terdapat penundaan eksekusi hukuman mati, DPR dapat mempertanyakan kepada pemerintah.

“DPR bisa mempertanyakan kebijakan presiden yang menunda hukuman mati,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait