Kemampuan Polisi Mendeteksi Kekerasan Massa Dipertanyakan
Berita

Kemampuan Polisi Mendeteksi Kekerasan Massa Dipertanyakan

Sepanjang 2008, Institut Titian Perdamaian mencatat 267 kali insiden kekerasan. Polisi acapkali kecolongan. Tidak mampu mendeteksi atau sengaja membiarkan?

Nov
Bacaan 2 Menit
Kemampuan Polisi Mendeteksi Kekerasan Massa Dipertanyakan
Hukumonline

 

Achmad Michdan, pengacara FPI, menegaskan bahwa apa yang dilakukan massa FPI selama ini lebih karena tidak adanya tanggapan dan iktikad baik aparat penegak hukum, khususnya polisi, menindak pelanggaran. Sebelum melakukan aksi, FPI biasanya sudah melayangkan surat peringatan dan meminta polisi untuk bertindak, misalnya menutup warung remang-remang. Kalau surat peringatan sudah dilayangkan tapi tidak ada tanggapan, kata Michdan, jangan salahkan FPI jika bertindak sendiri.

 

Di mata kriminilog FISIP UI Erlangga Masdiana, terjadinya kekerasan massa tidak serta merta diartikan polisi tak bisa mendeteksi atau tak ada di lapangan. Erlangga tidak sepakat kalau disebut polisi sengaja membiarkan aksi kekerasan terjadi. Bagaimanapun, polisi juga memperhitungkan kemampuan massa dan resiko. Malah, pada massa Orde Baru, kelompok-kelompok massa yang berpotensi melakukan kekerasan menjadi komoditas politik. Lantaran menyangkut banyak kepentingan politis, polisi akhirnya tak bisa atau enggan bertindak.

 

Penegakan hukum

Kepala Divisi Hukum Mabes Polri, Irjen Pol Aryanto Sutadi menegaskan aksi kekerasan seperti yang dilakukan FPI tak dapat dibenarkan. Polisi wajib menindak setiap aksi yang menganggu ketertiban umum. Kalau polisi membiarkan aksi kekerasan karena takut dampaknya lebih besar, kata Aryanto, hal itu bentuk kekeliruan polisi di lapangan. Itu contoh polisi yang nggak benar dan tidak tegas, ujarnya.

 

Sekalipun kelompok penyerang menganggap tempat yang mereka serang adalah tempat maksiat, cara penindakan yang melanggar hukum tidak dapat dibenarkan. Aryanto membantah tudingan kalau polisi membiarkan aksi semacam itu terjadi. Namun ia tidak menafikan kemungkinan kongkalikong antara aparat dan pengelola tempat maksiat. Misalnya lokasi perjudian. Kalau terus berulang meskipun sudah ditindak, bisa jadi polisi sudah dapat setoran. Kalau sudah terjadi pelanggaran berulang-ulang di suatu daerah, pasti sudah ada kolusi antara si pelaku dengan aparat keamanan yang ada di daerah itu, tandas Aryanto.

 

Kalau untuk aksi demo, polisi terus berusaha melakukan pencegahan sedini mungkin. Termasuk bertemu dengan aktor-aktor penggerak atau pelopor demo. Dari pertemuan itu biasanya diminta agar tidak melakukan begini dan begitu. Masalahnya, kata Aryanto, ada yang mau ada yang tidak mau. Apalagi sekarang aksi demo acapkali disisipi kepentingan pihak ketiga yang membiayai agar aksi demo chaos.

 

Menurut Farouk Muhammad, proses penegakan hukum oleh polisi dipengaruhi sejumlah faktor, termasuk dari sifat objeknya sendiri. Sebutlah objek yang ditertibkan organisasi massa seperti FPI, pada umumnya adalah kategori penyakit masyarakat. Penegakan hukum atas kejahatan semacam ini tidak segampang menindak pelaku pencurian, misalnya. Pelaku pencurian umumnya dilakukan satu dua orang.

 

Sebaliknya, di lokasi yang dianggap massa FPI sebagai tempat maksiat, ada keramaian, tenaga kerja atau tempat banyak orang mencari nafkah. Inilah antara lain yang membuat polisi tidak bisa ketat menegakkan hukum. Apalagi kalau ternyata tempat-tempat tersebut menjadi sumber income bagi oknum polisi. Dalam kasus semacam ini, kata Farouk, polisi cenderung menghindar terlibat bentrok dengan massa. Polisi berusaha menghindari kontak langsung.

 

Ada aksi, pasti ada reaksi. Kekerasan massa tidak ujug-ujug terjadi. Demonstrasi menolak kenaikan harga BBM terjadi karena harga BBM naik dan semakin membuat kehidupan rakyat terdesak. Ketika Pemerintah hendak mengeluarkan kebijakan kenaikan BBM, seharusnya polisi sudah bisa mendeteksi bakal ada reaksi dari mereka yang menolak kebijakan itu. Ketika FPI menentang keras kehadiran warung remang-remang, misalnya, polisi kudu memprediksi kemungkinan yang terjadi.

 

Tidak ada kekerasan yang muncul tiba-tiba, pasti ada momentumnya. Apabila suatu masalah tidak diselesaikan, maka tendensi kekerasan akan semakin besar, ujar Ichsan Malik, dalam diskusi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) bertajuk Kekerasan Massa dan Ketidakpedulian Polri, di Jakarta (08/7).

 

Pernyataan Direktur Institut Titian Perdamaian itu agaknya relevan mengingat masih seringnya terjadi aksi kekerasan massa dengan mengatasnamakan kepentingan tertentu. Yang teranyar dan menimbulkan prokontra adalah penyerangan massa Laskar Pembela Islam terhadap massa Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) atau dikenal dengan insiden Monas. Institut Perdamaian mencatat sepanjang 2008 ini telah terjadi 267 kali insiden kekerasan dengan beragam latar belakangnya. Namun Ichsan mempertanyakan kemampuan polisi untuk mendeteksi kekerasan massa yang sering berdampak buruk. Eskalasi itu sebenarnya dapat dideteksi sejak dini. Tapi apakah polisi mampu untuk mendeteksi itu? tanya Ichsan Malik.  

 

Kekerasan massa masih juga sering terjadi dan polisi kecolongan. Ada pikiran lain, jangan-jangan polisi memang sengaja melakukan pembiaran. Seperti pada kasus kekerasan massa FPI. Polisi seringkali tidak berada di tempat, tambah Ichsan.

 

Mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Farouk Muhammad membenarkan bahwa polisi sebenarnya sudah diberikan pelatihan untuk mendeteksi aksi kekerasan massa. Namun dalam sejumlah aksi penyerangan oleh massa FPI, Farouk tidak semata-mata melihatnya sebagai ketidakmampuan mendeteksi potensi kekerasan, tetapi juga karena ketidakmampuan polisi menjalankan fungsi penegakan hukum. Lantaran melihat polisi sebagai aparat penegak hukum tidak mampu menjalankan tugas, masyarakat akhirnya bertindak sendiri. Sehingga fungsinya diambil alih oleh FPI, ujarnya. 

Tags: